Mohon tunggu...
Supli Rahim
Supli Rahim Mohon Tunggu... Dosen - Pemerhati humaniora dan lingkungan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengenang Kehidupan Orangtua Kami di Pedesaan Sepi

25 Maret 2021   20:07 Diperbarui: 26 Maret 2021   05:58 529
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bismillah,

Kebanyakan kami warga perantauan asal desa terpencil termasuk penulis berasal dari kehidupan yang cukup prihatin. Prihatin karena harua bermalam jauh di tengah hutan. 

Prihatin karena masa-masa itu banyak orang yang jadi ingatan kami kini telah tiada. Prihatin karena kami belum sempat membalas kebaikan mereka yang berkorban untuk kemajuan hidup kami. Tulisan ini mengingat dan mengenang kehidupan orangtua kami termasuk ayah dan bunda serta kakek nenek kami.

Foto kiriman 

Ada foto kiriman seorang dosen, pengacar dan mantan hakim pengadilan agama di Bandung. Beliau adalah Roni Baid, SH, MH.  Beliau posting di grup Whatts up Lubuk Langkap Air Nipisn Bengkulu Selatan. 

Dalam keterangan gambar itu Roni mengungkapkan kalimat yang menggugah hati penulis. "Membayangkan keadaan kehidupan kami kala itu di tahun 1950-an. Melihat tulisan dan gambar itu penulis langsung berurai air mata karena kondisi itu juga yang penulis alami ketika masih berumur belasan tahun hingga tamat kuliah. 

Penulis mengalami kehidupan yang pahit tetapi punya makna yang takkan pernah dilupakan. Pertama, penulis merasakan sendiri pahit dan getirnya kehidupan orangtua dalam hal ini kakek nenek yang bernama Merinsan dan Muntianan yang hidup jauh dari keramaian karena ingin anak cucunya sekolah di kota.

Kakek nenek hanya pulang ke kampung dari kebun yang berjarak 10 km dari Lubuk Langkap pada saat lebaran, pada saat dapat daging rusa hasil berburu atau karena sakit. Kebun itu dikenal dengan nama Datar Kepahyang. 

Kedua, walau di tempat terpencil penulis menikmati canda tawa dan kisah orang-orang saleh dari kakek Merinsan. Beliau merupakan "buku" pertama penulis yang membuka jendela dunia sehingga wawasan penulis sangat luas dan beragam.

Ketiga, penulis tidak tertinggal informasi dari seluruh dunia berkah adanya radio transistor yang dibawa ke mana saja di dalam kebun sambil bekerja mencabut rumput atau memetik buah kopi. 

Keempat, penulis merasakan kasih sayang yang tulus dari kakek dan nenek berkah sering bermalam di kebun kopi. Pada saat itu juga penulis bercita-cita ingin membawa mereka pindah ke kota bila suatu saat telah memungkinkan.

Memori tentang gambar

Ketika melihat gambar pondok itu penulis ingat sejumlah hal. Pertama, pondok itu berada di tengah hutan belantara, jauh dari pusat keramaian. Ada beberapa pondok lain di sebelah hulu atau hilir. 

Bila berjalan malam hari tegak bulu roma karena sepi dan menyeramkan karena binatang buas masih ada. Kedua, di sekitar pondok ada banyak tanaman sayur seperti timun, ubikayu, terong, kacang panjang, tebu telur, sayur lumai, jamur kayu, labu parang dll.

Pondok itu biasanya tak begitu jauh dengan sungai atau anak sungai. Waktu siang hari digunakan untuk mengaso sambil mencari lauk siang berupa ikan. Nasi sudah terlebih dahulu dimasak dengan kayu api. Dirancang setelah kembali dari sungai tinggal masak ikan lalu makan siang. Makan akan lahap karena nasi panas, pakai sambal, lauk ikan dan lalapan daun atau buah yang dipanaskan ke periuk nasi.

Pindah ke kota

Entah karena ingin suasana baru atau karena sering mabuk jika pulang ke desa, penulis mengajak adik untuk bersekolah di kota. Kebanyakan atau bahkan seluruh adik penulis sangat senang jika diajak pindah ke kota. Kota tempat penulis berkuliah dulu adalah Palembang ibukota Sumatera Selatan. 

Sejak tamat kuliah tahun 1980-an, penulis membayangkan kepada ayah, ibu, kakek dan adik-adik agar bersiap pindah ke kota. Awalnya mereka tidak tertarik karena penulis belum cukup "pijakan" jika memindahkan seluruh keluarga karena penghasilan masih gak seberapa. Tapi anehnya kakek penulis Merinsan sangat "eager" pindah ke kota. Beliau pernah berujar bahwa dia biar gak makan gak apa-apa asal dia diajak ke kota. Karena dia ingin mati di kota. 

Setelah beberapa lama kehidupan keluarga ayah bunda jadi cukup mapan karena anak-anak ayah sudah terdidik dengan memadai dan zuriyat merema sudah ada yang bertugas di Sudan sebagai misi keamanan PBB. Anak penulis juga sudah ada yang di luar negeri, menikah dan hidup di sana.  

Bersyukur sekali rasanya kepada Allah karena masa-masa itu hanya tinggal kenangan. Masih banyak orang yang hidupnya sampai tua hanya tinggal di pondok di tengah hutan. Keluar dari kemiskinan itu mesti diperjuangan melalui pendidikan. Pendidikan hanya ada di kota. Krena itu kepindahan keluarga ayah ke kota   adalahanugerah terbesar dari Allah. Lima tahu  sebelum meninggal ayah sempatbersama ibumelakukan umroh ramadhan. Terima kasih ayah, ibu, kakek, nenek, kalian adalah pejuang keluarga yang akan dikenang abadi di hati sanubari ini. Sampai jumpa di surganya Allah swt.

Semoga jayalah kita semua.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun