Mohon tunggu...
Supli Rahim
Supli Rahim Mohon Tunggu... Dosen - Pemerhati humaniora dan lingkungan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengenang Kehidupan Orangtua Kami di Pedesaan Sepi

25 Maret 2021   20:07 Diperbarui: 26 Maret 2021   05:58 529
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Memori tentang gambar

Ketika melihat gambar pondok itu penulis ingat sejumlah hal. Pertama, pondok itu berada di tengah hutan belantara, jauh dari pusat keramaian. Ada beberapa pondok lain di sebelah hulu atau hilir. 

Bila berjalan malam hari tegak bulu roma karena sepi dan menyeramkan karena binatang buas masih ada. Kedua, di sekitar pondok ada banyak tanaman sayur seperti timun, ubikayu, terong, kacang panjang, tebu telur, sayur lumai, jamur kayu, labu parang dll.

Pondok itu biasanya tak begitu jauh dengan sungai atau anak sungai. Waktu siang hari digunakan untuk mengaso sambil mencari lauk siang berupa ikan. Nasi sudah terlebih dahulu dimasak dengan kayu api. Dirancang setelah kembali dari sungai tinggal masak ikan lalu makan siang. Makan akan lahap karena nasi panas, pakai sambal, lauk ikan dan lalapan daun atau buah yang dipanaskan ke periuk nasi.

Pindah ke kota

Entah karena ingin suasana baru atau karena sering mabuk jika pulang ke desa, penulis mengajak adik untuk bersekolah di kota. Kebanyakan atau bahkan seluruh adik penulis sangat senang jika diajak pindah ke kota. Kota tempat penulis berkuliah dulu adalah Palembang ibukota Sumatera Selatan. 

Sejak tamat kuliah tahun 1980-an, penulis membayangkan kepada ayah, ibu, kakek dan adik-adik agar bersiap pindah ke kota. Awalnya mereka tidak tertarik karena penulis belum cukup "pijakan" jika memindahkan seluruh keluarga karena penghasilan masih gak seberapa. Tapi anehnya kakek penulis Merinsan sangat "eager" pindah ke kota. Beliau pernah berujar bahwa dia biar gak makan gak apa-apa asal dia diajak ke kota. Karena dia ingin mati di kota. 

Setelah beberapa lama kehidupan keluarga ayah bunda jadi cukup mapan karena anak-anak ayah sudah terdidik dengan memadai dan zuriyat merema sudah ada yang bertugas di Sudan sebagai misi keamanan PBB. Anak penulis juga sudah ada yang di luar negeri, menikah dan hidup di sana.  

Bersyukur sekali rasanya kepada Allah karena masa-masa itu hanya tinggal kenangan. Masih banyak orang yang hidupnya sampai tua hanya tinggal di pondok di tengah hutan. Keluar dari kemiskinan itu mesti diperjuangan melalui pendidikan. Pendidikan hanya ada di kota. Krena itu kepindahan keluarga ayah ke kota   adalahanugerah terbesar dari Allah. Lima tahu  sebelum meninggal ayah sempatbersama ibumelakukan umroh ramadhan. Terima kasih ayah, ibu, kakek, nenek, kalian adalah pejuang keluarga yang akan dikenang abadi di hati sanubari ini. Sampai jumpa di surganya Allah swt.

Semoga jayalah kita semua.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun