Mohon tunggu...
Sunan Amiruddin D Falah
Sunan Amiruddin D Falah Mohon Tunggu... Staf Administrasi

NEOLOGISME

Selanjutnya

Tutup

New World Pilihan

Membangun Aktivisme Gen Z pada Fase Kesadaran Kritis Tingkat Tinggi

29 September 2025   13:13 Diperbarui: 29 September 2025   13:13 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto SHARON PATRICIA/Kompas.id

Tepat pada masa dan setelah pandemi Covid-19 ketika berbagai platform digital dan platform media sosial menjadi kebutuhan yang tak terelakan bagi seluruh umat manusia di dunia, pertumbuhan aktivisme Gen Z terindikasi mengalami disrupsi tingkat kesadaran.

Jika sebelumnya pada tiap interaksi sosial pada banyak platform digital dan media sosial, kecenderungan warganet lebih didominasi oleh tingkat kesadaran magis, seiring kebutuhan interaksi sosial digital yang telah menjadi kebutuhan primer, tingkat kesadaran warganet perlahan mulai tumbuh ke fase kesadaran naif.

Di Indonesia, fase kesadaran naif mulai tumbuh dengan banyaknya aktivitas Gen Z yang mengembangkan konten-konten usaha mandiri dan edukasi berbasis logika di ruang-ruang digital. 

Sejumlah di antaranya bahkan menyerang orang-orang yang sebagian besar masih berada di fase kesadaran magis melalui daya nalar kritis, agar mereka juga mau mengubah fase kesadarannya ke tingkat yang lebih tinggi. 

Aktivitas itu kemudian membuat ruang-ruang digital menjadi bising oleh derasnya dialektika digital berlatar belakang data, hasil uji, kelimuan, bukti ilmiah, rasionalitas dan algoritma logis. 

Hingga pada puncaknya sekarang, tingkat kesadaran itu tampak memasuki fase kesadaran kritis saat aktivisme Gen Z di berbagai daerah di tanah air bahkan di sejumlah belahan dunia menunjukan taringnya. 

Fase kesadaran kritis Gen Z terutama dibangunkan ketika daya nalar kritis yang ada dalam pikiran, gagasan, argumentasi logis yang mereka ungkapkan berbenturan dengan perilaku, perbuatan dan beragam realitas sosial digital yang tidak bisa diterima oleh akal sehat.

Mirisnya, benturan-benturan terhadap akal sehat logis yang tersaji di ruang-ruang digital terutama mengarah pada akibat-akibat oikosnomosida terhadap rakyat--yang dilakukan oleh elite politik, pejabat publik, eksekutif hingga ke ranah hukum yang direpresentasi oleh pakar-pakar hukum melalui perilaku, perbuatan dan gaya hidup yang bertentangan dengan moral, etika, norma, agama atau nilai-nilai positif lainnya.

Akibat-akibat dari public speaking pejabat yang asal bicara, gaya hidup pamer, keberpihakan ugal-ugalan pada satu kelompok, upaya pembuktian hukum sebatas narasi-narasi untuk menciptakan post truth, kebijakan yang tidak berkeadilan dan beraneka realitas sosial digital lainnya yang menabrak logika dan abai pada keluhan rakyat-- mendorong generasi muda yang lebih dominan terwakili oleh Gen Z melakukan satu aksi untuk merealisasi sebuah kata pamungkas dalam puisi Wiji Thukul, 'Maka hanya ada satu kata: Lawan!'.

Namun gerak perlawanan Gen Z mempunyai pola yang berbeda dari generasi sebelumnya, mereka tidak langsung turun ke jalan dengan menggerakan massa di bawah komando kepemimpinan. Aktivisme Gen Z dimulai di ruang-ruang publik digital melalui cara-cara yang mulanya sederhana dan masuk akal. 

Lewat konten-konten kreatif yang dikreasi dengan penuh daya, keberanian, cepat menyebar, cair, dan tidak mudah ditebak. Sesekali mereka menggunakan simbol-simbol menarik, meme,orasi dan video-video satire. 

Hebatnya, pergerakan mereka cenderung diawali oleh aktivitas-aktivitas personal yang kemudian berkumpul di jalur yang selintas dan pada akhirnya mampu memecah tembok kuasa yang selama ini tidak hanya kedap suara tetapi juga rasa. Sehingga menghasilkan ledakan yang membangunkan kesadaran naif dari tidur panjangnya. 

Pecahan dan ledakan dari energi aktivisme Gen Z di tanah air dalam konteks isu yang sama bahkan menular ke berbagai negara. 

Nepal meledak, Timor Leste pecah, Australia meletus, Perancis chaos dan Filipina ricuh. Sementara beberapa negara lainnya kini tengah di landa protes Gen Z terkait sikap pemerintah terhadap kedamaian dunia di Jalur Gaza. Apa yang menyebabkan Aktivisme Gen Z dalam hal apa pun kini tampak sangat reaktif? 

Seorang tokoh pendidikan dari Brazil sekaligus teoritikus pendidikan yang berpengaruh di dunia, yaitu Palulo Freire. Dalam gagasannya mengenai teori kesadaran manusia yang dibagi menjadi tiga (3) jenis tingkat kesadaran, yaitu kesadaran magis, naif dan kritis--hendak menyampaikan bahwa faktor pendidikan sangat memengaruhi di tingkat mana kesadaran masyarakat jejaring dapat mengambil peran serta aktif untuk kemajuan sebuah negara.   

Dunia pada masa-masa awal pertumbuhan dan perkembangan teknologi informasi melalui beragam platform digital dan platform media sosial, yang masih cenderung diisi oleh warganet dengan sebagian besar berangkat dari masyarakat yang awalnya berpikir magis (fase kesadaran magis) kini mulai beranjak naik.   

Meningkatnya kesadaran masyarakat jejaring secara perlahan tidak terlepas dari pendidikan yang direalisasi dalam aktivisme Gen Z di ruang-ruang digital melalui pembekalan informasi, pengetahuan, edukasi dan literasi. 

Hingga pada akhirnya menggulirkan dan menumbuhkan kesadaran naif memasuki fase kesadaran kritis, yaitu tingkatan tertinggi dari proses kesadaran masyarakat. 

Maka di fase kesadaran kritis itulah akumulasi ketidaklogisan atas semua yang terjadi dalam kehidupan sosial politik dalam bernegara diledakan oleh aktivisme Gen Z, tetapi apakah fakta ini menjadi penanda bahwa masyarakat jejaring telah berada di fase kesadaran kritis tertingginya?   

Membangun masyarakat jejaring ke fase kesadaran kritis dari fase kesadaran magis tidaklah mudah. 

Ketika dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat lebih percaya pada kekuatan takdir dan intervensi Tuhan terhadap apa yang dialaminya (kesadaran magis), yang menggambarkan ketidakmampuan masyarakat jejaring melihat adanya kaitan antara satu faktor dengan faktor lainnya lalu beranggapan bahwa perubahan yang terjadi di mana pun merupakan rencana dan kehendak Tuhan--di titik ini kerja keras Gen Z melalui beraneka aktivitas edukasi dan literasi digital secara perlahan bisa mengubahnya.     

Tapi peningkatan dari kesadaran magis ke kesadaran naif meskipun tentu saja belum menyeluruh, telah menampakan hasilnya.

Sekarang, masyarakat jejaring dalam menanggapi berbagai persoalan sosial digital yang juga berangkat dari soalan dunia nyata, sudah lebih mengetahui dari mana persoalan tersebut terjadi walaupun masih belum mampu menyelesaikan persoalan yang terjadi. 

Sederhananya, kesadaran naif masih sebatas tahu atau paham tetapi belum tahu bagaimana caranya untuk keluar atau mencari pemecahan dan menemukan pintu penyelesaiannya. Termasuk pula belum mengerti daya pertahanan apa yang harus diaktivasi saat pengetahuan atau pemahaman pemikiran mereka diinfiltrasi. 

Sehingga ketika banyak influencer atau buzzer, terlebih yang didukung oleh teknologi aplikasi berbasis AI (Artificial Intelligence) dikerahkan untuk mengecoh pengetahuan atau pemahaman berbasis logika yang sudah ada di benak, mereka bisa kembali terpengaruh, ragu, berbalik arah dan tingkat kesadarannya malah menurun. 

Di fase kesadaran naif itulah masyarakat jejaring harus terus dibangun tingkat kesadarannya ke kesadaran kritis. 

Walaupun masih jauh dari harapan,  masyarakat jejaring setidaknya telah menampakan upaya untuk naik ke kesadaran kritis. Suatu kesadaran tertinggi dengan kemampuan melihat dari mana persoalan terjadi dan bisa merumuskan solusinya. 

Konsepsi berpikir kesadaran kritis tentu melihat persoalan bukan karena takdir tuhan, melainkan karena beberapa aspek sosial termasuk faktor pendidikan, edukasi dan literasi termasuk upaya mencari penyelesaian (solusi atau pemecahan) tanpa henti yang berbabis logika berpikir.

Oleh karena itu, membangun aktivisme Gen Z pada fase kesadaran kritis tidak cukup hanya pada tahu atau paham (kesadaran naif) dan lalu memiliki kemampuan berpikir kritis (masuk ke fase kesadaran kritis) tanpa adanya upaya untuk terus mengasah kemampuan logika berpikir (belajar) agar setiap menghadapi persoalan selalu mampu bertindak atau memberikan pemecahan (solusi) dengan cara cerdas dan beretika.

Maka untuk membangun aktivisme Gen Z pada fase kesadaran kritis tertinggi, selain berupaya terus meningkatkan kesadaran untuk dirinya, Gen Z juga harus  memiliki kemampuan meliterasi dan memberdayakan seluruh masyarakat jejaring ke dalam fase kesadaran kritis, sehingga dibutuhkan kerja keras untuk membangun aktivisme Gen Z pada fase kesadaran kritis tingkat tinggi, yaitu dengan langkah berikut ini : 

1. Memperkuat cara berproses dalam mengolah otak dengan selalu melakukan analisa mendalam, selalu berusaha untuk berpikir panjang yang logis sehingga tidak mudah terjebak pada daya magis apa pun yang disajikan dalam interaksi sosial dunia digital. Selalu bertumbuh dan berkembang.

2. Terus belajar untuk menggali potensi, membekali diri dengan berbagai ilmu pengetahuan, kreasi dan inovasi dalam tataran ilmiah berbasis logika.

3. Tidak berhenti melakukan serangan dengan senjata edukasi dan literasi berbasis keilmuan serta daya nalar kepada masyarakat jejaring yang masih berada di fase kesadaran magis agar segera menaikan levelnya. Terutama serangan untuk masyarakat jejaring elite yang masuk ke ruang-ruang digital dengan membawa pesan-pesan tak masuk akal melalui perilaku dan perbuatan digital di luar nalar.  

4. Berdiri tegak dan berani dengan bekal kemampuannya untuk menjadi penangkal utama bagi mereka yang coba memengaruhi akal sehat dan menginfiltrasi cara kerja otak setiap individu masyarakat jejaring dan sebagian besar lainnya, yang sesunguhnya sudah berada di tingkat kesadaran terbaiknya. 

5. Selalu menjaga kewarasan dan tetap mengawasi apa pun, terutama pergerakan elite pejabat melalui media digital jika dinilai telah melanggar apa pun bentuk kesepakatan, terlebih seusai tuntutan demo 17 + 8 digulirkan.

6. Tetap tegar pendirian dalam nilai-nilai kejujuran sehingga tidak tergoda atau luluh oleh bujuk rayu dalam bentuk apa pun yang bisa meluruhkan semangat perjuangan dan menurunkan tingkat kesadaran kritis.

7. Menjaga persatuan dan keutuhan maksud dan tujuan aktivisme Gen Zen yang telah susah payah dibangun, dengan saling menjaga kesadaran agar selalu mampu mengantipasi pengaruh influencer, buzzer dan konten-konten manipulasi AI, yang berupaya memecah belah atau menjungkir balikan cara berpikir kritis yang mulai tumbuh pada sebagian besar masyarakat jejaring. 

8. Senantiasa menunggu informasi valid dengan melakukan pengecekan dan verifikasi berulang atas informasi atau apa pun yang dinilai tidak logis sebelum ikut menyebarluaskannya.               

Referensi    

https://kumparan.com/yogik-chanel/tingkat-kesadaran-masyarakat-dalam-menanggapi-fenomena-sosial-1zWsGPgCSDL/full

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten New World Selengkapnya
Lihat New World Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun