Tepat pada masa dan setelah pandemi Covid-19 ketika berbagai platform digital dan platform media sosial menjadi kebutuhan yang tak terelakan bagi seluruh umat manusia di dunia, pertumbuhan aktivisme Gen Z terindikasi mengalami disrupsi tingkat kesadaran.
Jika sebelumnya pada tiap interaksi sosial pada banyak platform digital dan media sosial, kecenderungan warganet lebih didominasi oleh tingkat kesadaran magis, seiring kebutuhan interaksi sosial digital yang telah menjadi kebutuhan primer, tingkat kesadaran warganet perlahan mulai tumbuh ke fase kesadaran naif.
Di Indonesia, fase kesadaran naif mulai tumbuh dengan banyaknya aktivitas Gen Z yang mengembangkan konten-konten usaha mandiri dan edukasi berbasis logika di ruang-ruang digital.Â
Sejumlah di antaranya bahkan menyerang orang-orang yang sebagian besar masih berada di fase kesadaran magis melalui daya nalar kritis, agar mereka juga mau mengubah fase kesadarannya ke tingkat yang lebih tinggi.Â
Aktivitas itu kemudian membuat ruang-ruang digital menjadi bising oleh derasnya dialektika digital berlatar belakang data, hasil uji, kelimuan, bukti ilmiah, rasionalitas dan algoritma logis.Â
Hingga pada puncaknya sekarang, tingkat kesadaran itu tampak memasuki fase kesadaran kritis saat aktivisme Gen Z di berbagai daerah di tanah air bahkan di sejumlah belahan dunia menunjukan taringnya.Â
Fase kesadaran kritis Gen Z terutama dibangunkan ketika daya nalar kritis yang ada dalam pikiran, gagasan, argumentasi logis yang mereka ungkapkan berbenturan dengan perilaku, perbuatan dan beragam realitas sosial digital yang tidak bisa diterima oleh akal sehat.
Mirisnya, benturan-benturan terhadap akal sehat logis yang tersaji di ruang-ruang digital terutama mengarah pada akibat-akibat oikosnomosida terhadap rakyat--yang dilakukan oleh elite politik, pejabat publik, eksekutif hingga ke ranah hukum yang direpresentasi oleh pakar-pakar hukum melalui perilaku, perbuatan dan gaya hidup yang bertentangan dengan moral, etika, norma, agama atau nilai-nilai positif lainnya.
Akibat-akibat dari public speaking pejabat yang asal bicara, gaya hidup pamer, keberpihakan ugal-ugalan pada satu kelompok, upaya pembuktian hukum sebatas narasi-narasi untuk menciptakan post truth, kebijakan yang tidak berkeadilan dan beraneka realitas sosial digital lainnya yang menabrak logika dan abai pada keluhan rakyat-- mendorong generasi muda yang lebih dominan terwakili oleh Gen Z melakukan satu aksi untuk merealisasi sebuah kata pamungkas dalam puisi Wiji Thukul, 'Maka hanya ada satu kata: Lawan!'.
Namun gerak perlawanan Gen Z mempunyai pola yang berbeda dari generasi sebelumnya, mereka tidak langsung turun ke jalan dengan menggerakan massa di bawah komando kepemimpinan. Aktivisme Gen Z dimulai di ruang-ruang publik digital melalui cara-cara yang mulanya sederhana dan masuk akal.Â