Mohon tunggu...
sumi yati
sumi yati Mohon Tunggu... Guru

Sastra Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pengabdian Tak Berujung

19 September 2025   14:00 Diperbarui: 19 September 2025   12:35 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Siang ini seperti biasa aku berjalan menyusuri gang kecil kampung yang biasa kulewati setiap aku mencari jalan pintas pulang ke rumah. Rimbunnya pagar semak-semak sepanjang gang itu, ditambah  rintik-rintik hujan tak membuat badanku jadi kedinginan atau menggigil. Semuanya tidak kurasa dan tidak terasa. Setumpuk beban yang ada di pikiranku menjadikan  segerombolan rintik hujan tak bisa mengalihkan pandanganku dari indahnya rinai hujan. Hari ini aku sudah bertekad untuk menentukan nasibku. Aku akan bilang sama Simbok bahwa aku akan menyelesaikan masalahku. Masalah yang membuat kepalaku pening berhari-hari dan belum sembuh meski aku sudah meminum obat pereda nyeri. Entah sugestiku atau memang obatnya yang tidak mempan aku tidak tahu. Yang jelas, aku harus putuskan. Aku akan bilang pada Simbok. Hari ini dan akan kunanti senja agar perjalanannya menuju kegelapan malam bisa membantu mengurai  masalahku.


          Aku masih terduduk di pinggir tempat tidurku. Setelah sholat magrib tadi, kubulatkan tekad untuk menghilangkan semua asaku. Asa yang telah kubangun sejak dulu. Tapi aku sadar sesadarnya bahwa asa tak selalu menjadi nyata. Aku harus bangun dari mimpi indahku dan melihat ke dunia nyata. Bahwa inilah keadaanku sebenarnya. Anak seorang buruh tani, bermimpi menjadi seorang dokter. Wuih, cita-citaku terlalu tinggi untuk diraih. Saudara-saudara seperti paklik, bulik, dan bude semua mencemoohku. Mereke semua meremehkan aku dan kondisi keuargaku. Tapi aku tetap melaju. Tak kuhiraukan semua perkataan mereka. Aku masuki perguruan tinggi melalui jalur bidik misi di sebuah perguruan ternama di kota. Aku tersenyum. Waktu itu, dengan sinisnya kubisikkan kata hatiku pada angin yang berkelebat di wajahku. Lihat, akan kutunjukkan bahwa aku mampu. Itu dulu.

Tapi sekarang..bagaimana aku bisa membusungkan dada ini? Jangankan membusungkan dada, untuk berdiri tegak pun aku  sekarang tak mampu. Aku menghela nafas. Pandanganku tertuju pada pintu yang tertutup korden lusuh di depanku. Kudengar, simbok memanggilku. 

            "Nduk, sudah makan?" Simbok masak sayur lombok kesukaanmu ni, lho." Teriak simbok dari arah dapur.

Ah dapur. Apa kata itu tidak terlalu cantik untuk ruangan belakang rumahku? Ruang belakang yang hanya terdiri dari tungku api dari bata yang ditumpuk, beberapa panci yang pantatnya sudah hitam semua, dandang, dan peralatan dapur lainnya yang menumpuk di pojok ruangan. Tak terawat.

            "Belum, Mbok." Aku menjawab malas sembari menuju tempat simbok menyiapkan makan malam untukku dan Simbok.

            "Ya sudah, sini. Ayo bareng Simbok. Simbok sudah sangat lapar. Wah, sayur lombok dicampur tempe bosok, enak tenan nduk." Ujar simbok menawarkan sayur buatannya yang memang aku sangat suka. Andai aku tidak sedang galau begini, segera kuserbu sayur lombok simbok. Tapi kali ini, pikiranku sedang tidak tertuju pada itu. Aku bingung, apakah akan kusampaikan ini kepada simbok. Tapi jika tidak sekarang kapan? Kuberanikan diri untuk menatap simbok.

            "Mbok, aku mau bicara." Ujarku hati-hati.

            "Kamu, ni kenapa to, Nduk? Lha wong mau ngomong aja kok minta izin. Lha mbok ngomong ya ngomong kayak biasanya kamu sama simbokmu ini. Apa simbok ini pejabat, sampai mau omong saja minta izin. Kamu ini aneh-aneh saja kok, Nduk..". Simbok malah terkekeh mendengar aku mau bicara.

            "Mbok, aku serius. Aku mau bicara sama Simbok hal yang sangat penting." Mendengar aku betul-betul serius, akhirnya Simbok menghentikan tawanya.

            "Mau, omong apa? Ayo, bilang aja sama Simbok. Apa kepulanganmu yang mendadak ini sehingga kamu ingin omong serius sama simbok? Simbok  mulai curiga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun