Mohon tunggu...
Sultani
Sultani Mohon Tunggu... Pemerhati Isu-isu Pangan Lokal, mantan Peneliti Litbang Kompas

Senang menulis isu-isu pangan, lingkungan, politik dan sosbud kontemporer.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Inilah 4 Motif Demo Pasca HUT RI ke-80

2 September 2025   20:18 Diperbarui: 2 September 2025   20:18 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi demonstrasi mahasiswa di depan gedung DPR/MPR (Sumber: Suarasurabaya.net)

Ilustrasi demonstrasi mahasiswa di depan gedung DPR/MPR (Sumber: Suarasurabaya.net)
Ilustrasi demonstrasi mahasiswa di depan gedung DPR/MPR (Sumber: Suarasurabaya.net)
Tak ada demo besar yang lolos dari pusaran perang narasi. Media arus utama menampilkan gambar massa dengan sudut tertentu, sementara media alternatif atau kanal digital menyorot sisi lain yang sering kontras. Lebih parah lagi, media sosial menjadi gelanggang liar tempat opini, hoaks, hingga provokasi berkelindan. Demo pada akhir Agustus 2025 --pasca-HUT ke-80 tahun kemerdekaan-- narasi tentang demo seakan menjadi ladang perang terbuka yang menentukan siapa yang akan menang dalam membentuk persepsi publik.

Polarisasi pun semakin nyata. Di satu kubu, demo dipotret sebagai ekspresi kemarahan rakyat yang sah, suara keadilan yang perlu didengar. Di kubu lain, demo dituding sebagai tindakan destruktif yang merusak ketertiban dan digerakkan oleh aktor-aktor politik oportunis. Perang narasi ini tidak berhenti di layar televisi, tetapi menjalar ke grup WhatsApp keluarga, feed Instagram anak muda, hingga cuitan-cuitan Twitter yang mendadak viral.

Kekuatan narasi terletak pada kemampuannya menyederhanakan kompleksitas. Ketika fakta begitu berlapis, narasi hadir menawarkan cerita singkat yang mudah ditelan. "Rakyat marah karena lapar," terdengar meyakinkan, meski realitasnya lebih rumit. Atau sebaliknya, "demo ini ulah bayaran," terdengar masuk akal meski tak semua orang di lapangan menerima amplop. Narasi bekerja dengan logika emosional, bukan dengan bukti empiris.

Akibatnya, masyarakat terjebak dalam ruang gema. Mereka hanya mengonsumsi narasi yang sesuai dengan preferensi politik mereka. Media dan medsos menjadi mesin penguat bias, bukan penyedia informasi utuh. Situasi ini memperdalam jurang perpecahan, membuat publik sulit menemukan kebenaran di antara kabut propaganda.

Perang narasi dalam demo pasca HUT ke-80 RI membuktikan bahwa di era digital, pertempuran bukan lagi soal siapa yang paling banyak turun ke jalan, melainkan siapa yang paling efektif membungkus cerita. Bagi aktor politik, memenangkan narasi sama artinya dengan memenangkan dukungan publik.

3. Spontanitas Massa: Dari Frustrasi ke Aksi Jalanan

Ilustrasi spontanitas massa dalam aksi demontrasi (Sumber: Tribunnews.com)
Ilustrasi spontanitas massa dalam aksi demontrasi (Sumber: Tribunnews.com)

Jika ditanya apa yang memicu ribuan orang turun ke jalan, jawabannya seringkali sederhana: rasa marah. Marah karena harga naik, marah karena merasa dipinggirkan, marah karena merasa tak didengar. Kemarahan itu tumbuh perlahan di keseharian, namun meledak tiba-tiba ketika ada momentum. Peringatan ke-80 tahun kemerdekaan, dengan segala seremoni megahnya, justru menjadi kontras yang menyakitkan bagi mereka yang merasa hidupnya stagnan atau makin sulit.

Spontanitas massa bukan berarti tanpa akar. Justru, ia berakar dalam pada kondisi struktural: kesenjangan sosial, ketidakadilan ekonomi, dan kebijakan pemerintah yang dianggap tidak pro rakyat kecil. Massa yang marah menemukan alasan untuk berkumpul, dan ruang demo memberikan legitimasi atas kemarahan itu. Namun, seperti api, kemarahan spontan ini mudah menyambar dan sulit dikendalikan.

Kerap kali, demo yang dimulai dengan damai berakhir ricuh. Bukan semata karena provokasi dari luar, tetapi juga karena energi emosi yang tak terbendung. Dalam kerumunan, individu kehilangan kontrol personal. Kemarahan menular, dan massa bergerak mengikuti arus. Satu orang melempar batu, yang lain ikut. Satu barisan maju menghadang polisi, yang lain terdorong untuk mengikuti.

Fenomena psikologi massa ini selalu berulang. Elite politik tahu betul cara memicunya, sementara aparat berusaha meredam dengan strategi represif. Ironinya, setiap upaya represif justru sering memperkuat amarah dan memperpanjang siklus kekerasan. Di sinilah demo yang ditunggangi menjadi semakin berbahaya: energi murni rakyat digabung dengan provokasi elite, menghasilkan ledakan sosial yang sulit diprediksi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun