Polarisasi pun semakin nyata. Di satu kubu, demo dipotret sebagai ekspresi kemarahan rakyat yang sah, suara keadilan yang perlu didengar. Di kubu lain, demo dituding sebagai tindakan destruktif yang merusak ketertiban dan digerakkan oleh aktor-aktor politik oportunis. Perang narasi ini tidak berhenti di layar televisi, tetapi menjalar ke grup WhatsApp keluarga, feed Instagram anak muda, hingga cuitan-cuitan Twitter yang mendadak viral.
Kekuatan narasi terletak pada kemampuannya menyederhanakan kompleksitas. Ketika fakta begitu berlapis, narasi hadir menawarkan cerita singkat yang mudah ditelan. "Rakyat marah karena lapar," terdengar meyakinkan, meski realitasnya lebih rumit. Atau sebaliknya, "demo ini ulah bayaran," terdengar masuk akal meski tak semua orang di lapangan menerima amplop. Narasi bekerja dengan logika emosional, bukan dengan bukti empiris.
Akibatnya, masyarakat terjebak dalam ruang gema. Mereka hanya mengonsumsi narasi yang sesuai dengan preferensi politik mereka. Media dan medsos menjadi mesin penguat bias, bukan penyedia informasi utuh. Situasi ini memperdalam jurang perpecahan, membuat publik sulit menemukan kebenaran di antara kabut propaganda.
Perang narasi dalam demo pasca HUT ke-80 RI membuktikan bahwa di era digital, pertempuran bukan lagi soal siapa yang paling banyak turun ke jalan, melainkan siapa yang paling efektif membungkus cerita. Bagi aktor politik, memenangkan narasi sama artinya dengan memenangkan dukungan publik.
3. Spontanitas Massa: Dari Frustrasi ke Aksi Jalanan
Jika ditanya apa yang memicu ribuan orang turun ke jalan, jawabannya seringkali sederhana: rasa marah. Marah karena harga naik, marah karena merasa dipinggirkan, marah karena merasa tak didengar. Kemarahan itu tumbuh perlahan di keseharian, namun meledak tiba-tiba ketika ada momentum. Peringatan ke-80 tahun kemerdekaan, dengan segala seremoni megahnya, justru menjadi kontras yang menyakitkan bagi mereka yang merasa hidupnya stagnan atau makin sulit.
Spontanitas massa bukan berarti tanpa akar. Justru, ia berakar dalam pada kondisi struktural: kesenjangan sosial, ketidakadilan ekonomi, dan kebijakan pemerintah yang dianggap tidak pro rakyat kecil. Massa yang marah menemukan alasan untuk berkumpul, dan ruang demo memberikan legitimasi atas kemarahan itu. Namun, seperti api, kemarahan spontan ini mudah menyambar dan sulit dikendalikan.
Kerap kali, demo yang dimulai dengan damai berakhir ricuh. Bukan semata karena provokasi dari luar, tetapi juga karena energi emosi yang tak terbendung. Dalam kerumunan, individu kehilangan kontrol personal. Kemarahan menular, dan massa bergerak mengikuti arus. Satu orang melempar batu, yang lain ikut. Satu barisan maju menghadang polisi, yang lain terdorong untuk mengikuti.
Fenomena psikologi massa ini selalu berulang. Elite politik tahu betul cara memicunya, sementara aparat berusaha meredam dengan strategi represif. Ironinya, setiap upaya represif justru sering memperkuat amarah dan memperpanjang siklus kekerasan. Di sinilah demo yang ditunggangi menjadi semakin berbahaya: energi murni rakyat digabung dengan provokasi elite, menghasilkan ledakan sosial yang sulit diprediksi.