Ketergantungan ini menciptakan ilusi kemerdekaan. Meski kita punya jutaan hektar lahan subur, nyatanya kita lebih sering makan dari hasil tanah bangsa lain.
Ini bertentangan dengan semangat pasal 33 UUD 1945 yang menempatkan kekayaan alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dalam konteks pangan, kekayaan ini belum dimanfaatkan secara optimal untuk membangun sistem pangan yang mandiri dan berkelanjutan.
Sejarah seharusnya menjadi cermin. Kita tidak bisa terus membanggakan kejayaan swasembada beras masa lalu jika saat ini petani justru enggan menanam karena harga yang tidak pasti dan lahan yang menyusut. Kemerdekaan pangan bukan soal nostalgia, tapi tentang strategi jangka panjang dan keberanian berpihak pada produksi dalam negeri.
Tanah Subur, Petani Terpuruk: Ironi Negeri Agraris
Indonesia sering disebut sebagai negeri agraris, namun kenyataannya kehidupan petani justru semakin terpinggirkan. Di banyak desa, profesi petani ditinggalkan karena dianggap tidak menjanjikan.
Rata-rata usia petani Indonesia kini berada di atas 50 tahun. Generasi muda enggan terjun ke sektor pertanian karena tidak melihat masa depan yang cerah, baik dari sisi ekonomi maupun prestise sosial.
Salah satu persoalan utama yang dihadapi petani adalah keterbatasan akses lahan dan sarana produksi. Lahan pertanian semakin terdesak oleh pembangunan properti dan infrastruktur.
Banyak petani yang bekerja di tanah sewa atau menggarap lahan warisan keluarga yang sempit. Ketika panen tiba, mereka pun harus berhadapan dengan harga jual yang rendah dan sistem distribusi yang dikuasai oleh tengkulak atau pedagang besar.
Distribusi pangan yang tidak adil menciptakan jurang besar antara produsen dan konsumen. Petani menjual hasil panen dengan harga murah, sementara konsumen di kota harus membayar harga mahal.
Rantai pasok yang panjang dan tidak efisien membuat margin keuntungan justru dinikmati oleh pihak tengah. Dalam sistem seperti ini, petani hanya menjadi pelengkap penderita dalam urusan pangan nasional.