Selamat datang Agustus, bulan paling bersejarah dalam perjalanan Indonesia sebagai bangsa yang merdeka. Tahun ini bangsa kita tepat merayakan delapan dekade menjadi bangsa yang merdeka dan berdaulat.
Di tengah momentum euphoria menyambut tanggal 17 Agustus, muncul sebuah pertanyaan reflektif: apa arti kemerdekaan hari ini?Â
Pertanyaan ini seharusnya tidak hanya dijawab lewat bendera yang dikibarkan atau parade yang meriah, tapi juga lewat piring makan di rumah-rumah kita.Â
Kemerdekaan bukan semata-mata lepas dari penjajahan fisik, melainkan juga dari ketergantungan terhadap sistem pangan global yang membuat rakyat sendiri tak mampu menghidupi dirinya.
Ketika bahan pangan pokok kita---seperti kedelai, bawang, bahkan beras dalam beberapa waktu---lebih banyak diimpor ketimbang diproduksi sendiri, kita perlu bertanya: apakah kita sungguh telah merdeka?
Di tengah arus globalisasi yang deras, ketahanan pangan menjadi isu strategis yang tak bisa dianggap remeh. Negara yang tidak mampu memberi makan rakyatnya dari hasil tanah sendiri, berada dalam posisi rentan.
Ketika pandemi melanda, logistik terganggu, dan ekspor-impor dipersempit, dunia menyaksikan bagaimana krisis pangan global bisa menjadi senjata paling sunyi namun mematikan.
Situasi ini seharusnya menjadi pelajaran bagi bangsa Indonesia untuk membangun kedaulatan pangan sebagai fondasi kemerdekaan yang hakiki.
Sayangnya, narasi kemerdekaan selama ini lebih banyak difokuskan pada perjuangan historis dan politik, bukan pada aspek keseharian yang menyentuh perut rakyat. Padahal, proklamasi 1945 adalah janji untuk menghadirkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia---termasuk keadilan pangan.
Dalam konteks ini, akses terhadap pangan sehat, lokal, dan terjangkau merupakan bagian dari amanat kemerdekaan yang belum tuntas diwujudkan.