Mohon tunggu...
Sultani
Sultani Mohon Tunggu... Pemerhati Isu-isu Pangan Lokal, mantan Peneliti Litbang Kompas

Senang menulis isu-isu pangan, lingkungan, politik dan sosbud kontemporer.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

Refleksi Kedaulatan Pangan di Bulan Kemerdekaan

4 Agustus 2025   14:55 Diperbarui: 5 Agustus 2025   08:39 406
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi ekspresi menyambut bulan kemerdekaan (Foto: dok. Yamtono_Sardo di Unsplash)

Selamat datang Agustus, bulan paling bersejarah dalam perjalanan Indonesia sebagai bangsa yang merdeka. Tahun ini bangsa kita tepat merayakan delapan dekade menjadi bangsa yang merdeka dan berdaulat.

Di tengah momentum euphoria menyambut tanggal 17 Agustus, muncul sebuah pertanyaan reflektif: apa arti kemerdekaan hari ini? 

Pertanyaan ini seharusnya tidak hanya dijawab lewat bendera yang dikibarkan atau parade yang meriah, tapi juga lewat piring makan di rumah-rumah kita. 

Kemerdekaan bukan semata-mata lepas dari penjajahan fisik, melainkan juga dari ketergantungan terhadap sistem pangan global yang membuat rakyat sendiri tak mampu menghidupi dirinya.

Ketika bahan pangan pokok kita---seperti kedelai, bawang, bahkan beras dalam beberapa waktu---lebih banyak diimpor ketimbang diproduksi sendiri, kita perlu bertanya: apakah kita sungguh telah merdeka?

Di tengah arus globalisasi yang deras, ketahanan pangan menjadi isu strategis yang tak bisa dianggap remeh. Negara yang tidak mampu memberi makan rakyatnya dari hasil tanah sendiri, berada dalam posisi rentan.

Ketika pandemi melanda, logistik terganggu, dan ekspor-impor dipersempit, dunia menyaksikan bagaimana krisis pangan global bisa menjadi senjata paling sunyi namun mematikan.

Situasi ini seharusnya menjadi pelajaran bagi bangsa Indonesia untuk membangun kedaulatan pangan sebagai fondasi kemerdekaan yang hakiki.

Sayangnya, narasi kemerdekaan selama ini lebih banyak difokuskan pada perjuangan historis dan politik, bukan pada aspek keseharian yang menyentuh perut rakyat. Padahal, proklamasi 1945 adalah janji untuk menghadirkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia---termasuk keadilan pangan.

Dalam konteks ini, akses terhadap pangan sehat, lokal, dan terjangkau merupakan bagian dari amanat kemerdekaan yang belum tuntas diwujudkan.

Semangat nasionalisme seharusnya tidak hanya menggema di stadion dan lapangan upacara, tetapi juga tercermin dalam cara kita memilih dan memproduksi makanan.

Konsumsi pangan lokal bukan sekadar gaya hidup, melainkan bentuk keberpihakan terhadap petani, tanah air, dan masa depan bangsa. Maka, merdeka itu bukan hanya bebas dari penjajahan, tetapi juga bebas memilih makanan dari hasil bumi sendiri.

Artikel ini ingin mengajak pembaca melihat ulang makna kemerdekaan lewat lensa kedaulatan pangan. Kita akan menelusuri sejarah, realitas petani, potensi pangan lokal, hingga jalan panjang yang masih harus ditempuh agar Indonesia benar-benar bisa berkata: "Kami merdeka karena kami bisa makan dari tanah kami sendiri."

Sejarah Kedaulatan Pangan: Dari Proklamasi ke Krisis Beras

Ilustrasi petani dengan padi di sawah (Sumber: Antaranews.com)
Ilustrasi petani dengan padi di sawah (Sumber: Antaranews.com)

Setelah proklamasi kemerdekaan, Indonesia menghadapi tugas berat membangun negeri dari reruntuhan kolonialisme, termasuk dalam sektor pangan. Masa-masa awal kemerdekaan dipenuhi oleh upaya membangun kembali lumbung pangan nasional dan menstabilkan pasokan pangan rakyat.

Di era Orde Baru, pemerintah sempat mencapai swasembada beras pada 1980-an, yang menjadi kebanggaan nasional. Namun, keberhasilan itu tidak bertahan lama karena model pembangunan pangan yang sentralistik dan berorientasi pada monokultur.

Memasuki era reformasi, liberalisasi perdagangan membawa konsekuensi serius bagi sektor pertanian. Kedelai, gandum, dan bahkan bawang merah mulai didatangkan dari luar negeri dengan harga murah, memukul petani lokal yang tak mampu bersaing.

Ketergantungan terhadap impor pangan semakin menguat, dan produksi dalam negeri stagnan. Data Badan Pangan Nasional menunjukkan bahwa pada 2023, Indonesia masih mengimpor lebih dari 2 juta ton kedelai dan sekitar 10 juta ton gandum per tahun. Ini adalah bukti bahwa kedaulatan pangan kita masih jauh dari ideal.

Tidak hanya soal impor, sejarah pangan Indonesia juga diwarnai oleh kebijakan yang inkonsisten. Setiap pemerintahan punya pendekatan yang berbeda terhadap pangan, dari BULOG yang kuat di masa lalu hingga liberalisasi harga pasar hari ini.

Perubahan yang terlalu cepat dan tidak berpihak kepada petani kecil telah melemahkan fondasi produksi pangan nasional. Akibatnya, Indonesia selalu berada dalam posisi rawan saat harga pangan dunia naik atau rantai distribusi terganggu.

Ketergantungan ini menciptakan ilusi kemerdekaan. Meski kita punya jutaan hektar lahan subur, nyatanya kita lebih sering makan dari hasil tanah bangsa lain.

Ini bertentangan dengan semangat pasal 33 UUD 1945 yang menempatkan kekayaan alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dalam konteks pangan, kekayaan ini belum dimanfaatkan secara optimal untuk membangun sistem pangan yang mandiri dan berkelanjutan.

Sejarah seharusnya menjadi cermin. Kita tidak bisa terus membanggakan kejayaan swasembada beras masa lalu jika saat ini petani justru enggan menanam karena harga yang tidak pasti dan lahan yang menyusut. Kemerdekaan pangan bukan soal nostalgia, tapi tentang strategi jangka panjang dan keberanian berpihak pada produksi dalam negeri.

Tanah Subur, Petani Terpuruk: Ironi Negeri Agraris

Ilustrasi aksi unjuk rasa petani yang menolak impor pangan (Sumber: Indoprogress.com)
Ilustrasi aksi unjuk rasa petani yang menolak impor pangan (Sumber: Indoprogress.com)

Indonesia sering disebut sebagai negeri agraris, namun kenyataannya kehidupan petani justru semakin terpinggirkan. Di banyak desa, profesi petani ditinggalkan karena dianggap tidak menjanjikan.

Rata-rata usia petani Indonesia kini berada di atas 50 tahun. Generasi muda enggan terjun ke sektor pertanian karena tidak melihat masa depan yang cerah, baik dari sisi ekonomi maupun prestise sosial.

Salah satu persoalan utama yang dihadapi petani adalah keterbatasan akses lahan dan sarana produksi. Lahan pertanian semakin terdesak oleh pembangunan properti dan infrastruktur.

Banyak petani yang bekerja di tanah sewa atau menggarap lahan warisan keluarga yang sempit. Ketika panen tiba, mereka pun harus berhadapan dengan harga jual yang rendah dan sistem distribusi yang dikuasai oleh tengkulak atau pedagang besar.

Distribusi pangan yang tidak adil menciptakan jurang besar antara produsen dan konsumen. Petani menjual hasil panen dengan harga murah, sementara konsumen di kota harus membayar harga mahal.

Rantai pasok yang panjang dan tidak efisien membuat margin keuntungan justru dinikmati oleh pihak tengah. Dalam sistem seperti ini, petani hanya menjadi pelengkap penderita dalam urusan pangan nasional.

Lebih dari itu, kebijakan pemerintah seringkali tidak berpihak kepada petani kecil. Subsidi pupuk dan benih sering terlambat atau salah sasaran, sementara pelatihan pertanian berkelanjutan belum menyentuh banyak daerah.

Tanpa perlindungan dan dukungan yang memadai, sulit bagi petani untuk berperan sebagai garda depan kedaulatan pangan. Ironi ini mencolok: negeri dengan tanah subur justru gagal memberdayakan petaninya. 

Pangan Lokal: Kunci Merdeka di Meja Makan

Ilustrasi Pallumara sebagai pangan lokal Nusantara (Sumber: Sarihusada.com)
Ilustrasi Pallumara sebagai pangan lokal Nusantara (Sumber: Sarihusada.com)

Pangan lokal adalah cerminan identitas sekaligus jalan menuju kemandirian. Di Indonesia, kita memiliki kekayaan luar biasa dalam hal sumber pangan: sagu di timur, umbi-umbian di pegunungan, sorgum di NTT, hingga beras varietas lokal yang beragam.

Namun, modernisasi konsumsi membuat banyak dari pangan ini terlupakan dan tergantikan oleh bahan impor seperti tepung terigu dan makanan olahan instan.

Mengonsumsi pangan lokal bukan hanya soal nostalgia atau selera, tapi strategi nasional dalam membangun sistem pangan yang tangguh. Bahan pangan lokal umumnya lebih adaptif terhadap iklim setempat, membutuhkan lebih sedikit input kimia, dan mendukung ekonomi desa. Dalam konteks perubahan iklim, keberagaman pangan lokal bisa menjadi penyangga penting ketahanan pangan masa depan.

Berbagai komunitas di Indonesia mulai menghidupkan kembali pangan lokal. Gerakan seperti komunitas pangan sehat, pasar tani, dan koperasi petani tumbuh di berbagai daerah. Mereka tidak hanya menjual bahan pangan, tetapi juga mendidik masyarakat untuk menghargai hasil bumi sendiri.

Cerita sukses seperti petani sorgum di Sumba atau pejuang pangan organik di Jawa menjadi contoh bahwa jalan menuju kemerdekaan pangan itu nyata dan mungkin.

Peran konsumen juga sangat vital. Pilihan kita di pasar atau restoran menentukan arah sistem pangan. Ketika kita memilih beras lokal, membeli langsung dari petani, atau mengurangi konsumsi makanan olahan, kita sedang berkontribusi pada kemandirian bangsa. Setiap suapan adalah suara politik, dan setiap menu bisa menjadi pernyataan sikap terhadap sistem pangan yang lebih adil.

Dengan demikian, pangan lokal bukan hanya tentang rasa, tetapi juga tentang keberpihakan. Merdeka di meja makan adalah langkah awal menuju bangsa yang mandiri dan bermartabat. Kita bisa memulainya hari ini---dari rumah sendiri.

Jalan Panjang Menuju Kedaulatan: Apa yang Bisa Kita Lakukan?

Kedaulatan pangan adalah cita-cita besar yang membutuhkan strategi menyeluruh dan kolaborasi lintas sektor. Pemerintah harus berani membuat terobosan kebijakan yang tidak hanya berorientasi pasar, tetapi juga berpihak pada produksi lokal dan perlindungan petani. UU Pangan No. 18 Tahun 2012 sebenarnya telah menegaskan prinsip kedaulatan pangan, namun implementasinya masih jauh dari optimal.

Salah satu langkah krusial adalah memperkuat kelembagaan petani melalui koperasi dan komunitas pangan. Dengan skema ini, petani bisa memiliki daya tawar lebih tinggi, mengatur distribusi secara mandiri, dan menekan dominasi tengkulak. Selain itu, pemerintah perlu membenahi tata niaga pangan agar harga di tingkat petani lebih adil dan stabil.

Di sisi pendidikan, perlu ada kurikulum yang mendorong kesadaran pangan sejak dini. Anak-anak harus diajarkan tentang pentingnya tanah, proses produksi pangan, serta keberagaman sumber pangan lokal. Sekolah bisa menjadi laboratorium kecil untuk menanam, mengolah, dan memahami siklus pangan yang berkelanjutan.

Peran ibu rumah tangga, influencer kuliner, dan tokoh masyarakat juga tak kalah penting. Mereka bisa mengembalikan kebanggaan terhadap pangan lokal melalui kampanye masak sehat, lomba kuliner tradisional, atau edukasi daring. Di era digital, narasi pangan lokal harus dilawan dengan cara yang kreatif dan membumi.

Yang terpenting, kita semua bisa memulai dari diri sendiri. Dari pasar yang kita kunjungi, produk yang kita beli, dan makanan yang kita sajikan untuk keluarga. Gerakan kecil ini, jika dilakukan berjamaah, bisa menjadi kekuatan besar untuk memulihkan kemerdekaan pangan Indonesia.

Kemerdekaan yang Bisa Dicicipi

Kemerdekaan sejati bukan sekadar pengakuan politik, tetapi kenyataan hidup sehari-hari. Ketika rakyat bisa makan dari hasil tanahnya sendiri, ketika petani dihargai, dan ketika pangan lokal dihormati, saat itulah kemerdekaan benar-benar terasa di lidah, perut, dan hati.

Indonesia sudah merdeka secara hukum, namun dalam hal pangan, perjuangan masih panjang. Namun kita tidak perlu menunggu revolusi besar. Perubahan bisa dimulai dari dapur rumah, meja makan, dan pasar-pasar lokal di kampung halaman.

Mari jadikan 17 Agustus bukan hanya perayaan bendera dan lomba, tetapi juga titik tolak untuk merdeka secara pangan. Karena bangsa yang kuat dimulai dari rakyat yang bisa mencukupi makanan mereka dari tanahnya sendiri.

Depok, 4/8/2025

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun