Mohon tunggu...
Sultani
Sultani Mohon Tunggu... Pemerhati Isu-isu Pangan Lokal, mantan Peneliti Litbang Kompas

Senang menulis isu-isu pangan, lingkungan, politik dan sosbud kontemporer.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

Refleksi Kedaulatan Pangan di Bulan Kemerdekaan

4 Agustus 2025   14:55 Diperbarui: 5 Agustus 2025   08:39 406
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi ekspresi menyambut bulan kemerdekaan (Foto: dok. Yamtono_Sardo di Unsplash)

Semangat nasionalisme seharusnya tidak hanya menggema di stadion dan lapangan upacara, tetapi juga tercermin dalam cara kita memilih dan memproduksi makanan.

Konsumsi pangan lokal bukan sekadar gaya hidup, melainkan bentuk keberpihakan terhadap petani, tanah air, dan masa depan bangsa. Maka, merdeka itu bukan hanya bebas dari penjajahan, tetapi juga bebas memilih makanan dari hasil bumi sendiri.

Artikel ini ingin mengajak pembaca melihat ulang makna kemerdekaan lewat lensa kedaulatan pangan. Kita akan menelusuri sejarah, realitas petani, potensi pangan lokal, hingga jalan panjang yang masih harus ditempuh agar Indonesia benar-benar bisa berkata: "Kami merdeka karena kami bisa makan dari tanah kami sendiri."

Sejarah Kedaulatan Pangan: Dari Proklamasi ke Krisis Beras

Ilustrasi petani dengan padi di sawah (Sumber: Antaranews.com)
Ilustrasi petani dengan padi di sawah (Sumber: Antaranews.com)

Setelah proklamasi kemerdekaan, Indonesia menghadapi tugas berat membangun negeri dari reruntuhan kolonialisme, termasuk dalam sektor pangan. Masa-masa awal kemerdekaan dipenuhi oleh upaya membangun kembali lumbung pangan nasional dan menstabilkan pasokan pangan rakyat.

Di era Orde Baru, pemerintah sempat mencapai swasembada beras pada 1980-an, yang menjadi kebanggaan nasional. Namun, keberhasilan itu tidak bertahan lama karena model pembangunan pangan yang sentralistik dan berorientasi pada monokultur.

Memasuki era reformasi, liberalisasi perdagangan membawa konsekuensi serius bagi sektor pertanian. Kedelai, gandum, dan bahkan bawang merah mulai didatangkan dari luar negeri dengan harga murah, memukul petani lokal yang tak mampu bersaing.

Ketergantungan terhadap impor pangan semakin menguat, dan produksi dalam negeri stagnan. Data Badan Pangan Nasional menunjukkan bahwa pada 2023, Indonesia masih mengimpor lebih dari 2 juta ton kedelai dan sekitar 10 juta ton gandum per tahun. Ini adalah bukti bahwa kedaulatan pangan kita masih jauh dari ideal.

Tidak hanya soal impor, sejarah pangan Indonesia juga diwarnai oleh kebijakan yang inkonsisten. Setiap pemerintahan punya pendekatan yang berbeda terhadap pangan, dari BULOG yang kuat di masa lalu hingga liberalisasi harga pasar hari ini.

Perubahan yang terlalu cepat dan tidak berpihak kepada petani kecil telah melemahkan fondasi produksi pangan nasional. Akibatnya, Indonesia selalu berada dalam posisi rawan saat harga pangan dunia naik atau rantai distribusi terganggu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun