Semangat nasionalisme seharusnya tidak hanya menggema di stadion dan lapangan upacara, tetapi juga tercermin dalam cara kita memilih dan memproduksi makanan.
Konsumsi pangan lokal bukan sekadar gaya hidup, melainkan bentuk keberpihakan terhadap petani, tanah air, dan masa depan bangsa. Maka, merdeka itu bukan hanya bebas dari penjajahan, tetapi juga bebas memilih makanan dari hasil bumi sendiri.
Artikel ini ingin mengajak pembaca melihat ulang makna kemerdekaan lewat lensa kedaulatan pangan. Kita akan menelusuri sejarah, realitas petani, potensi pangan lokal, hingga jalan panjang yang masih harus ditempuh agar Indonesia benar-benar bisa berkata: "Kami merdeka karena kami bisa makan dari tanah kami sendiri."
Sejarah Kedaulatan Pangan: Dari Proklamasi ke Krisis Beras
Setelah proklamasi kemerdekaan, Indonesia menghadapi tugas berat membangun negeri dari reruntuhan kolonialisme, termasuk dalam sektor pangan. Masa-masa awal kemerdekaan dipenuhi oleh upaya membangun kembali lumbung pangan nasional dan menstabilkan pasokan pangan rakyat.
Di era Orde Baru, pemerintah sempat mencapai swasembada beras pada 1980-an, yang menjadi kebanggaan nasional. Namun, keberhasilan itu tidak bertahan lama karena model pembangunan pangan yang sentralistik dan berorientasi pada monokultur.
Memasuki era reformasi, liberalisasi perdagangan membawa konsekuensi serius bagi sektor pertanian. Kedelai, gandum, dan bahkan bawang merah mulai didatangkan dari luar negeri dengan harga murah, memukul petani lokal yang tak mampu bersaing.
Ketergantungan terhadap impor pangan semakin menguat, dan produksi dalam negeri stagnan. Data Badan Pangan Nasional menunjukkan bahwa pada 2023, Indonesia masih mengimpor lebih dari 2 juta ton kedelai dan sekitar 10 juta ton gandum per tahun. Ini adalah bukti bahwa kedaulatan pangan kita masih jauh dari ideal.
Tidak hanya soal impor, sejarah pangan Indonesia juga diwarnai oleh kebijakan yang inkonsisten. Setiap pemerintahan punya pendekatan yang berbeda terhadap pangan, dari BULOG yang kuat di masa lalu hingga liberalisasi harga pasar hari ini.
Perubahan yang terlalu cepat dan tidak berpihak kepada petani kecil telah melemahkan fondasi produksi pangan nasional. Akibatnya, Indonesia selalu berada dalam posisi rawan saat harga pangan dunia naik atau rantai distribusi terganggu.