Ada satu kenangan masa kecil yang kerap hadir di setiap ruang makan saya, baik dalam ingatan maupun dalam rasa: Pallumara, masakan ikan kuah asam khas Sulawesi Selatan. Di tengah keberagaman cara orang tua saya mengolah ikan---dibakar tanpa bumbu, digoreng garing, dikukus, disambal, hingga dimasak santan---Pallumara selalu punya tempat istimewa. Bukan sekadar soal rasa, tetapi karena ia mengandung jejak pendidikan yang lebih dalam: rasa, gizi, dan cinta pada pangan lokal.
Di meja makan keluarga kami, ikan bukan hanya protein hewani. Ia adalah identitas---hasil laut yang dekat dari pesisir kampung, bukti tangan terampil ibu, dan ekspresi kuliner yang sederhana tapi bergizi. Setiap jenis olahan ikan memperkenalkan saya pada spektrum rasa: gurih alami dari ikan bakar polos, pedas segar dari sambal tomat, hingga kelezatan kuah asam Pallumara yang menyentuh lidah dan perasaan. Dari semua itu, Pallumara adalah guru rasa dan gizi pertama saya.
Kuah kuning asamnya yang segar bukan hanya membuat ketagihan, tapi secara tidak sadar mengajari saya tentang keseimbangan: ada asam dari belimbing wuluh atau asam jawa, gurih dari ikan segar, dan pedas dari rempah-rempah. Tidak ada penyedap buatan, hanya racikan alami langsung dari tangan ibu. Ternyata meja makan mengajarkan saya bahwa makanan yang enak tidak harus mahal, ternyata cukup dari bahan lokal dan dimasak dengan kasih sayang seorang ibu.
Pengalaman ini selaras dengan filosofi meja makan sebagai ruang pendidikan sosial dan gizi. Setiap kali ibu menyajikan Pallumara, itu bukan hanya rutinitas menu makan, tapi juga pelajaran tentang kearifan lokal. Dalam proses tersebut, saya jadi tahu jenis-jenis ikan, membedakan tekstur dan rasa tiap olahan karena ikut membantu membersihkan ikan di dapur. Dari pengalaman ini saya belajar bahwa makanan adalah bagian dari kehidupan yang harus dikenali, dihargai, dan dinikmati secara sadar.
Kini saya sadar: literasi gizi tidak lahir dari buku semata, tapi dari pengalaman berulang yang menyenangkan di meja makan keluarga. Mengenal masakan seperti Pallumara bukan sekadar mengenang masa kecil, tapi juga mengingat pentingnya memperkenalkan cita rasa lokal kepada anak-anak. Karena dari satu mangkuk kuah asam itu, saya  belajar tentang cita rasa makanan sekaligus belajar mencintai budaya makan saya sendiri.
Saat ini, di tengah gempuran makanan instan dan budaya makan cepat saji, saya selalu terkenang dengan meja makan kami sebagai tempat pertama saya belajar menyusun preferensi pangan. Masih jelas dalam ingatan, di sanalah saya bersama saudara pertama kali mengenal rasa, melihat rupa makanan hingga meniru cara orang tua makan.
Memori tersebut mengajarkan bahwa meja makan sejatinya adalah sekolah rasa—tempat di mana edukasi tentang gizi, budaya pangan, dan kebiasaan makan sehat ditanamkan oleh orang tua kepada kami sejak dini. Dan saya percaya, jika kita ingin menumbuhkan literasi gizi yang berakar kuat, kita harus kembali ke meja makan, seperti saya yang tetap loyal kepada Pallumara hingga sekarang.
Pallumara: Rasa Asam yang Mengikat Memori dan Makna
Dalam perjalanan hidup saya, tak ada masakan yang meninggalkan jejak sedalam Pallumara. Masakan ikan kuah asam ini bukan hanya hidangan favorit, tetapi juga menjadi simbol kenangan masa kecil yang sarat makna. Dibanding olahan ikan lainnya yang juga sering disajikan—seperti ikan goreng, bakar tanpa bumbu, hingga yang bersambal merah menyala—Pallumara menempati tempat paling istimewa. Setiap kali kuah kuning asamnya menyentuh lidah, saya seperti ditarik kembali ke masa kecil: duduk melingkari meja makan bersama keluarga, menikmati suapan demi suapan yang penuh rasa dan cerita.
Pallumara memperkenalkan saya pada keseimbangan rasa alami. Tidak ada MSG atau bumbu instan. Hanya asam dari belimbing wuluh, gurih dari ikan segar, dan aroma daun kemangi atau serai. Dari hidangan ini, saya belajar bahwa makanan yang nikmat bisa berasal dari bahan yang tumbuh di pekarangan atau dibeli dari nelayan sekitar. Saya belajar tentang musim panen, jenis ikan lokal, dan fungsi rempah sebagai penyeimbang rasa dan penyehat tubuh. Tak sadar, saya telah menyerap pelajaran gizi yang sangat kontekstual dan membumi—semua terjadi di meja makan, di bawah bimbingan orang tua, lewat Pallumara.