Mohon tunggu...
Sultani
Sultani Mohon Tunggu... Pemerhati Isu-isu Pangan Lokal, mantan Peneliti Litbang Kompas

Senang menulis isu-isu pangan, lingkungan, politik dan sosbud kontemporer.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

Rojali: Bukan Tak Mau Beli, tapi Harus Menahan Diri

29 Juli 2025   11:09 Diperbarui: 29 Juli 2025   14:09 520
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pemandangan dalam mall (Sumber: Kompas.com)

Pemandangan orang-orang sibuk berkeliling, mencoba barang, mengambil foto, tapi kemudian keluar tanpa kantong belanja satu pun dari mall sudah menjadi fenomena umum yang sekarang populer disebut sebagai Fenomena Rojali--singkatan dari Rombongan Jarang Beli.

Istilah ini beredar di media sosial sebagai guyonan sekaligus sindiran terhadap mereka yang gemar berjalan-jalan di mall namun tak kunjung bertransaksi. 

Akan tetapi, di balik kelucuan istilah ini, tersimpan refleksi mendalam tentang bagaimana masyarakat menyesuaikan diri di tengah realitas ekonomi yang semakin menekan.

Inflasi yang merayap, stagnasi upah, kenaikan harga kebutuhan pokok, serta tekanan finansial dari berbagai sisi membuat aktivitas konsumsi masyarakat mengalami penyesuaian drastis.

Belanja di mall, yang dulu menjadi simbol kesejahteraan kelas menengah, kini bertransformasi menjadi aktivitas simbolik--lebih banyak untuk hiburan visual daripada transaksi nyata.

Di sinilah fenomena Rojali muncul sebagai gejala sosial yang pantas ditelaah dengan lensa ekonomi, psikologi, dan budaya.

Mengapa masyarakat tetap datang ke mall meski tahu mereka tak mampu membeli banyak? Jawabannya tidak sesederhana "ingin ikut-ikutan" atau "malas belanja online."

Banyak di antara mereka sebenarnya sadar betul pada situasi keuangan pribadi, tapi tetap ingin mempertahankan rasa normal, termasuk dengan datang ke ruang publik yang sudah lama menjadi bagian dari gaya hidup urban. Mereka tidak menolak konsumsi, hanya menunda dan mengendalikannya.

Mall pun tidak lagi sekadar tempat memborong barang, melainkan menjadi ruang untuk mengingatkan diri bahwa keinginan masih ada, meski belum waktunya untuk diwujudkan.

Fenomena Rojali bukanlah bentuk anti-konsumerisme, melainkan bentuk adaptasi sosial terhadap ketidaksetaraan akses ekonomi yang makin nyata. Ini adalah semacam bahasa tubuh kolektif dari masyarakat yang tidak kehilangan selera, hanya kehilangan daya beli.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun