Pemandangan orang-orang sibuk berkeliling, mencoba barang, mengambil foto, tapi kemudian keluar tanpa kantong belanja satu pun dari mall sudah menjadi fenomena umum yang sekarang populer disebut sebagai Fenomena Rojali--singkatan dari Rombongan Jarang Beli.
Istilah ini beredar di media sosial sebagai guyonan sekaligus sindiran terhadap mereka yang gemar berjalan-jalan di mall namun tak kunjung bertransaksi.Â
Akan tetapi, di balik kelucuan istilah ini, tersimpan refleksi mendalam tentang bagaimana masyarakat menyesuaikan diri di tengah realitas ekonomi yang semakin menekan.
Inflasi yang merayap, stagnasi upah, kenaikan harga kebutuhan pokok, serta tekanan finansial dari berbagai sisi membuat aktivitas konsumsi masyarakat mengalami penyesuaian drastis.
Belanja di mall, yang dulu menjadi simbol kesejahteraan kelas menengah, kini bertransformasi menjadi aktivitas simbolik--lebih banyak untuk hiburan visual daripada transaksi nyata.
Di sinilah fenomena Rojali muncul sebagai gejala sosial yang pantas ditelaah dengan lensa ekonomi, psikologi, dan budaya.
Mengapa masyarakat tetap datang ke mall meski tahu mereka tak mampu membeli banyak? Jawabannya tidak sesederhana "ingin ikut-ikutan" atau "malas belanja online."
Banyak di antara mereka sebenarnya sadar betul pada situasi keuangan pribadi, tapi tetap ingin mempertahankan rasa normal, termasuk dengan datang ke ruang publik yang sudah lama menjadi bagian dari gaya hidup urban. Mereka tidak menolak konsumsi, hanya menunda dan mengendalikannya.
Mall pun tidak lagi sekadar tempat memborong barang, melainkan menjadi ruang untuk mengingatkan diri bahwa keinginan masih ada, meski belum waktunya untuk diwujudkan.
Fenomena Rojali bukanlah bentuk anti-konsumerisme, melainkan bentuk adaptasi sosial terhadap ketidaksetaraan akses ekonomi yang makin nyata. Ini adalah semacam bahasa tubuh kolektif dari masyarakat yang tidak kehilangan selera, hanya kehilangan daya beli.