Bangsa Indonesia saat ini sedang berpacu menuju ambisi besar: menjadi negara maju pada 2045, tepat di usia seratus tahun kemerdekaannya. Salah satu fondasi utama untuk mewujudkan visi “Indonesia Emas 2045” adalah kekuatan sumber daya manusia (SDM) yang sehat, cerdas, dan produktif. Agar cita-cita besar ini tidak menjadi slogan retorika yang hampa, langkah awal pemerintah hari ini adalah memastikan semua anak telah bebas dari stunting, kekurangan gizi, dan ketimpangan layanan dasar. Anak yang sehat adalah cermin masa depan yang kuat.
Ironisnya, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa langkah gempita menuju “Indonesia Emas 2045” masih menghadapi ancaman klasik namun serius, yakni stunting. Berdasarkan data SSGI 2023, prevalensi stunting nasional memang turun menjadi 21,5 persen, tetapi masih jauh dari target 14 persen yang dicanangkan. Bahkan, di sejumlah daerah 3T (tertinggal, terdepan, terluar), angkanya masih melampaui 30 persen.
Stunting bukan sekadar persoalan tinggi badan anak yang tidak sesuai usia. Ini adalah indikator kegagalan dalam pemenuhan hak dasar anak, khususnya atas pangan sehat dan layanan kesehatan esensial sejak dalam kandungan. Anak yang mengalami stunting berisiko lebih tinggi memiliki kemampuan kognitif yang rendah, mudah sakit, dan produktivitasnya terbatas ketika dewasa. Jika puluhan juta anak Indonesia hari ini tumbuh dengan kondisi stunting, maka ancaman terhadap produktivitas tenaga kerja nasional menjadi sangat nyata pada dua dekade mendatang.
Proyeksi yang dibuat oleh berbagai lembaga seperti Bappenas dan Bank Dunia menunjukkan bahwa stunting dapat menyebabkan kerugian ekonomi negara sebesar 2–3 persen dari PDB setiap tahunnya. Ini jelas menggerus daya saing bangsa di tengah kompetisi global. Apa gunanya bonus demografi jika mayoritas angkatan kerja di masa depan adalah generasi yang sejak dini sudah kalah karena gizi buruk? Alih-alih mengejar “Indonesia Emas 2045” stunting sangat potensial membalikkan semangat dan cita-cita tersebut dengan narasi antitesis menjadi “Indonesia Cemas 2045”. Artinya, Indonesia bisa saja gagal bangkit bila masalah stunting tidak ditangani dengan serius dan menyeluruh sejak sekarang.
Gambaran negatif tentang potensi ancaman stunting terhadap pembangunan kualitas SDM Indonesia ini juga berakar pada perspektif pemerintah yang menempatkan persoalan stunting sebagai isu teknis semata ketimbang krisis nasional. Akibatnya, kebijakan yang diambil kerap bersifat reaktif dan jangka pendek. Padahal, pencegahan stunting sejatinya memerlukan investasi jangka panjang yang dimulai dari pemenuhan gizi ibu hamil, akses sanitasi yang layak, serta edukasi dan pendampingan keluarga miskin secara berkelanjutan. Tanpa perubahan cara pandang ini, pembangunan SDM akan selalu rapuh, tidak peduli seberapa besar dana yang digelontorkan.
Kebijakan Gizi yang Sektoral dan Tidak Berpihak pada Anak Miskin
Salah satu akar masalah stunting di Indonesia adalah pendekatan kebijakan yang masih sektoral dan tidak terintegrasi. Meskipun pemerintah telah mencanangkan pendekatan konvergensi lintas sektor, realitas di lapangan menunjukkan bahwa koordinasi antar kementerian, lembaga, hingga pemerintah daerah masih lemah. Program-program yang dijalankan kerap tumpang tindih atau bahkan gagal menjangkau kelompok sasaran yang paling membutuhkan—yaitu anak-anak dari keluarga miskin dan tinggal di wilayah tertinggal.
Contohnya, program bantuan pangan atau suplementasi gizi acapkali hanya bersifat proyek sesaat tanpa keberlanjutan. Banyak ibu hamil dan balita tidak mendapatkan layanan posyandu secara rutin karena fasilitas kesehatan terbatas atau tenaga kesehatan tidak memadai. Anggaran yang dialokasikan untuk intervensi gizi pun seringkali tidak proporsional dengan beban masalah yang ada. Bahkan, sebagian besar dana masih terserap untuk belanja birokrasi, bukan langsung menyasar penerima manfaat.
Sementara itu, skema bantuan sosial pun belum sepenuhnya mampu menjamin kecukupan pangan bergizi bagi anak-anak miskin. Ketersediaan makanan sehat seringkali kalah oleh dominasi makanan ultra-proses murah yang tinggi kalori tapi miskin nutrisi. Yang lebih menyedihkan, dalam banyak kasus, suara anak-anak miskin dan keluarganya nyaris tak pernah didengar dalam perumusan kebijakan. Tidak ada partisipasi bermakna dari komunitas terdampak, dan ini menciptakan jurang kepercayaan antara rakyat dan negara.