Mohon tunggu...
Sultani
Sultani Mohon Tunggu... Pemerhati Isu-isu Pangan Lokal, mantan Peneliti Litbang Kompas

Senang menulis isu-isu pangan, lingkungan, politik dan sosbud kontemporer.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Makan Bergizi Gratis, Krisis Kepercayaan terhadap Program Negara

3 Mei 2025   23:25 Diperbarui: 4 Mei 2025   10:55 536
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi anak-anak antusias menyambut MBG (Sumber: Beritamuria.com)

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digagas sebagai bentuk intervensi negara terhadap gizi anak sekolah seharusnya menjadi harapan baru bagi masa depan kesehatan generasi muda. 

Jadi, di tengah isu gizi buruk dalam agenda pendidikan nasional, MBG adalah langkah monumental dalam menyasar ketimpangan gizi dan mendekatkan keadilan sosial bagi anak-anak sekolah.

Namun, berbagai kasus keracunan MBG secara massal yang terjadi di beberapa wilayah justru menimbulkan trauma dan skeptisisme, sehingga program yang seharusnya menyuburkan harapan ini berubah menjadi sumber kekhawatiran orang tua dan siswa terhadap keamanan pangan yang disediakan pemerintah. 

Ketika siswa hanya diberi makanan tanpa keterlibatan mereka dalam proses pengolahan, tanpa edukasi nilai gizi dan asal usul bahan, maka mereka tidak hanya menjadi penerima pasif tetapi juga skeptis. 

Pada titik inilah anak-anak dan orang tua mulai meragukan makanan yang diberikan secara cuma-cuma oleh negara, sehingga proyek ambisius ini justru berisiko menciptakan antipati terhadap niat baik pemerintah.

Berbagai kasus keracunan MBG massal yang terjadi di sejumlah daerah mulai mengikis kepercayaan publik yang bermuara pada krisis kepercayaan terhadap MBG. 

Krisis kepercayaan ini tidak semata-mata akibat dari insiden teknis, tetapi juga cerminan dari tidak terbangunnya komunikasi dan edukasi publik yang memadai. 

Krisis ini tidak terjadi dalam ruang hampa, melainkan dalam konteks sistemik, yang mana keamanan pangan di sekolah memang belum menjadi budaya, dan pengawasan lintas sektor masih minim.

Ilustrasi Presiden Prabowo memantau program Makan Bergizi Gratis (Sumber: Kumparan.com)
Ilustrasi Presiden Prabowo memantau program Makan Bergizi Gratis (Sumber: Kumparan.com)

Ketidakterpaduan koordinasi antar kementerian, lemahnya pengawasan mutu bahan baku, serta belum matangnya edukasi kebersihan di tingkat pelaksana membuat program ini seringkali lebih mengundang kontroversi ketimbang solusi. 

Ini menjadi tamparan bagi dunia pendidikan: bagaimana mungkin program sebesar ini tidak dibarengi dengan kurikulum pendamping yang mengajarkan makna dan nilai dari makanan yang mereka konsumsi setiap hari?

Padahal, prinsip yang mendasari gagasan mendasar MBG sangat penting: negara hadir untuk memastikan setiap anak bisa belajar tanpa kelaparan, dan tumbuh dengan gizi seimbang. Namun, ketika niat tidak dibarengi sistem pengawasan dan pendidikan yang matang, hasilnya justru kontra-produktif. 

Dalam beberapa kasus, distribusi makanan yang terburu-buru, ketidaksesuaian suhu penyimpanan, serta rendahnya literasi sanitasi dari para pelaksana teknis menjadi titik-titik rapuh dalam rantai pangan MBG.

Ilustrasi anak-anak antusias menyambut MBG (Sumber: Beritamuria.com)
Ilustrasi anak-anak antusias menyambut MBG (Sumber: Beritamuria.com)
Jika tidak ditopang dengan pendekatan holistik berbasis karakter dan pengetahuan, MBG berisiko menjadi proyek jangka pendek yang kehilangan makna jangka panjang.

Alih-alih membangun kepercayaan, program ini malah memicu keraguan terhadap kesungguhan pemerintah dalam memastikan kualitas dan keamanan pangan yang dikonsumsi oleh anak-anak. 

Skeptisme ini sah-sah saja karena program MBG tidak mengurangi sedikitpun hasrat anak-anak untuk mengonsumsi makanan siap saji (fast food/junk food) yang dijual di sekitar lingkungan sekolah maupun di mal-mal.

Menjamurnya konsumsi fast food dan junk food di lingkungan sekolah menunjukkan persoalan yang tak kalah serius: krisis pengetahuan dan selera. 

Banyak siswa lebih mengenal burger dari waralaba global daripada tahu dari pasar tradisional. Mereka bisa menyebut merek minuman boba dan soda dengan lancar, tapi tak tahu apa itu daun kelor atau manfaat singkong. 

Ketergantungan pada makanan ultra-proses ini bukan hanya soal ekonomi atau kenyamanan, tetapi juga akibat dari miskinnya edukasi gizi dan tidak adanya narasi kuat tentang kebanggaan terhadap pangan lokal dalam sistem pendidikan.

Membangun kembali kepercayaan pada MBG harus dimulai dari transparansi, partisipasi komunitas sekolah, dan pendidikan literasi pangan yang kontekstual. 

Ketika siswa dan guru ikut serta menilai kualitas makanan, memahami nilai gizinya, bahkan ikut menanam atau memasaknya di sekolah, maka makanan menjadi bagian dari proses pendidikan, bukan sekadar bantuan negara. Itulah hakikat pendidikan merdeka: menyatukan antara teori dan praktik, antara konsumsi dan pemahaman.

Ilustrasi Kepala BGN Dadan Hindayana ketika mengunjungi siswa SD dalam program MBG (Sumber: Espos id)
Ilustrasi Kepala BGN Dadan Hindayana ketika mengunjungi siswa SD dalam program MBG (Sumber: Espos id)

Prinsip ini sejalan dengan cita-cita Ki Hadjar Dewantara yang menekankan bahwa pendidikan sejati adalah yang "membimbing segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya". 

Gizi yang baik adalah bagian dari kekuatan kodrat itu,  bukan sekadar urusan perut, tetapi sarana pembentukan daya pikir dan daya hidup anak.

Dengan membenahi pendekatan terhadap MBG, kita ikut menyelamatkan proyek kebijakan sekaligus membangun budaya gizi yang sehat dan berbasis karakter. 

Karena kepercayaan tidak dibangun lewat angka dan statistik, melainkan lewat pengalaman yang nyata, bermakna, dan berkesinambungan bagi anak-anak kita.

Depok, 4/5/2025

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun