Mohon tunggu...
Sultani
Sultani Mohon Tunggu... Pemerhati Isu-isu Pangan Lokal, mantan Peneliti Litbang Kompas

Senang menulis isu-isu pangan, lingkungan, politik dan sosbud kontemporer.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Makan Bergizi Gratis, Krisis Kepercayaan terhadap Program Negara

3 Mei 2025   23:25 Diperbarui: 4 Mei 2025   10:55 537
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Kepala BGN Dadan Hindayana ketika mengunjungi siswa SD dalam program MBG (Sumber: Espos id)

Ini menjadi tamparan bagi dunia pendidikan: bagaimana mungkin program sebesar ini tidak dibarengi dengan kurikulum pendamping yang mengajarkan makna dan nilai dari makanan yang mereka konsumsi setiap hari?

Padahal, prinsip yang mendasari gagasan mendasar MBG sangat penting: negara hadir untuk memastikan setiap anak bisa belajar tanpa kelaparan, dan tumbuh dengan gizi seimbang. Namun, ketika niat tidak dibarengi sistem pengawasan dan pendidikan yang matang, hasilnya justru kontra-produktif. 

Dalam beberapa kasus, distribusi makanan yang terburu-buru, ketidaksesuaian suhu penyimpanan, serta rendahnya literasi sanitasi dari para pelaksana teknis menjadi titik-titik rapuh dalam rantai pangan MBG.

Ilustrasi anak-anak antusias menyambut MBG (Sumber: Beritamuria.com)
Ilustrasi anak-anak antusias menyambut MBG (Sumber: Beritamuria.com)
Jika tidak ditopang dengan pendekatan holistik berbasis karakter dan pengetahuan, MBG berisiko menjadi proyek jangka pendek yang kehilangan makna jangka panjang.

Alih-alih membangun kepercayaan, program ini malah memicu keraguan terhadap kesungguhan pemerintah dalam memastikan kualitas dan keamanan pangan yang dikonsumsi oleh anak-anak. 

Skeptisme ini sah-sah saja karena program MBG tidak mengurangi sedikitpun hasrat anak-anak untuk mengonsumsi makanan siap saji (fast food/junk food) yang dijual di sekitar lingkungan sekolah maupun di mal-mal.

Menjamurnya konsumsi fast food dan junk food di lingkungan sekolah menunjukkan persoalan yang tak kalah serius: krisis pengetahuan dan selera. 

Banyak siswa lebih mengenal burger dari waralaba global daripada tahu dari pasar tradisional. Mereka bisa menyebut merek minuman boba dan soda dengan lancar, tapi tak tahu apa itu daun kelor atau manfaat singkong. 

Ketergantungan pada makanan ultra-proses ini bukan hanya soal ekonomi atau kenyamanan, tetapi juga akibat dari miskinnya edukasi gizi dan tidak adanya narasi kuat tentang kebanggaan terhadap pangan lokal dalam sistem pendidikan.

Membangun kembali kepercayaan pada MBG harus dimulai dari transparansi, partisipasi komunitas sekolah, dan pendidikan literasi pangan yang kontekstual. 

Ketika siswa dan guru ikut serta menilai kualitas makanan, memahami nilai gizinya, bahkan ikut menanam atau memasaknya di sekolah, maka makanan menjadi bagian dari proses pendidikan, bukan sekadar bantuan negara. Itulah hakikat pendidikan merdeka: menyatukan antara teori dan praktik, antara konsumsi dan pemahaman.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun