Mohon tunggu...
Sultani
Sultani Mohon Tunggu... Pemerhati Isu-isu Pangan Lokal, mantan Peneliti Litbang Kompas

Senang menulis isu-isu pangan, lingkungan, politik dan sosbud kontemporer.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Memanfaatkan Kembali Sampah Organik dari Dapur Ramadan

14 Maret 2025   03:14 Diperbarui: 13 Maret 2025   23:02 387
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kompos (Kompas.com)

Kita semua tahu bahwa Ramadan yang indah dan penuh berkah ini selalu diiringi dengan pemandangan yang kurang sedap di mata, yaitu sampah plastik dan sisa takjil. Kehadiran kedua jenis sampah ini memang tidak diinginkan oleh siapa pun, tetapi kehadirannya juga tidak bisa dicegah. Kehadiran keduanya di tengah-tengah kita sudah menjadi pemandangan fenomenal setiap Ramadan, terutama di malam hari.

Fenomena menguatkan catatan dari Kementerian  Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tentang adanya peningkatan timbulan sampah sebesar 20 persen di bulan Ramadan (Mediaindonesia.com, 6/4/2023). Di Surabaya misalnya, volume timbulan sampah mengalami peningkatan selama bulan Ramadan. Saat kondisi normal, sampah yang masuk ke tempat pembuangan akhir (TPA) Benowo Surabaya per hari mencapai sekitar 1.500-1.600 ton. Ketika Ramadan, jumlah sampah meningkat 100-200 ton per hari. Sementara di Kota Tangerang Selatan, Banten, kenaikan timbulan sampah pada Ramadan sebesar 5-10% dibandingkan hari biasa, sehingga menjadi sekitar 970 ton per hari.

Menurut data KLHK, dari semua jenis sampah yang ada di seluruh Indonesia, sampah organik berupa sisa makanan mendominasi komposisi sampah yaitu mencapai 41,2 persen. Setelah itu disusul sampah plastik sebesar 18,2 persen. Sementara berdasarkan sumbernya, sampah rumah tangga menyumbang jumlah sampah nasional terbesar yang mencapai 39,2 persen.

Ilustrasi timbulan sampah di Tempat Pembuangan Akhir (Sumber: Mediaindonesia.com)
Ilustrasi timbulan sampah di Tempat Pembuangan Akhir (Sumber: Mediaindonesia.com)

Selama Ramadan, intensitas memasak, beragamnya jenis makanan yang disiapkan, hingga konsumsi makanan masyarakat mengalami peningkatan, sehingga berimbas pada melonjaknya volume sampah, terutama sisa makanan yang tidak habis dikonsumsi dan bahan organik dari proses memasak. Jika semua sampah tersebut tidak dikelola dengan baik, bisa berdampak buruk bagi kesehatan, berpotensi mencemari lingkungan, hingga peningkatan emisi karbon dari sektor sampah.

Artikel ini akan membahas cara diet sampah selama bulan Ramadan dengan cara memanfaatkan kembali sampah rumah tangga dari dapur. Pengolahan ulang sampah agar menjadi produk yang berguna ini menjadi konten atau materi blog comptetition yang diselenggarakan oleh Kompasiana dari 3 Maret hingga akhir Ramadan. Tema umum blog competition kali ini adalah: Diet Sampah Ramadan. Artikel dengan judul: “Memanfaatkan Kembali Sampah Organik dari Dapur Ramadan” ini akan mengeksplorasi bagaimana program diet sampah bisa mengurangi sampah yang berasal dari sisa-sisa makanan takjil yang tidak habis dimakan.

Blog competition tahun ini sendiri tidak berbeda jauh dengan format tahun sebelumnya, yaitu dikemas dalam dalam bentuk cerita yang diberi tajuk “Ramadan Bercerita 2025” yang dibuat berseri. Tema Ramadan dan Kesehatan Mental yang terbit pada edisi “Ramadan Bercerita 2025 hari 12”  ini akan menyoroti cara memanfaatkan kembali sampah organik dari dapur Ramadan sebagai bentuk aktualisasi dari konsep diet sampah.

1. Diet Sampah

Memanfaatkan kembali sampah organik dari dapur Ramadan merupakan bentuk aktualisasi dari konsep diet sampah, yaitu upaya mengurangi dan mengelola limbah agar tidak mencemari lingkungan. Dengan menerapkan pengelolaan sampah yang bijak, seperti mengubah sisa sayur dan buah menjadi kompos, memanfaatkan sisa nasi dan lauk untuk pakan ternak atau eco-enzyme, serta membuat pupuk cair dari limbah dapur, umat Islam telah mengurangi pencemaran lingkungan sekaligus mengamalkan ajaran Islam yang menganjurkan untuk tidak berlebihan dalam konsumsi, serta menjaga keseimbangan alam sebagai bagian dari tanggung jawab manusia sebagai khalifah di bumi.

Ilustrasi diet sampah plastik (Sumber: Rejogja.republika.co.id)
Ilustrasi diet sampah plastik (Sumber: Rejogja.republika.co.id)

Dengan kesadaran untuk mengelola sampah organik dari dapur Ramadan, masyarakat dapat menerapkan pola konsumsi yang lebih bijak, mengurangi limbah yang berakhir di tempat pembuangan akhir, serta menciptakan kebiasaan berkelanjutan dalam mengelola lingkungan. Dengan demikian, dapur Ramadan tidak hanya menjadi tempat memenuhi kebutuhan pangan selama puasa, tetapi juga menjadi ruang untuk mengaktualisasikan prinsip keberlanjutan dan kepedulian lingkungan. Dapur Ramadan merujuk pada aktivitas memasak dan menyiapkan makanan selama bulan Ramadan, baik di rumah tangga maupun di dapur umum yang menyediakan hidangan berbuka dan sahur bagi masyarakat.

2. Membuat Kompos dari Sisa Sayur dan Buah

Sampah organik dari dapur, seperti sisa sayur dan buah, sering kali dianggap sebagai limbah yang tidak berguna. Padahal, sampah jenis ini kaya akan nutrisi yang sangat bermanfaat bagi tanah dan tanaman. Salah satu cara terbaik untuk memanfaatkannya kembali adalah dengan mengolahnya menjadi kompos. Kompos merupakan hasil dekomposisi bahan organik yang dapat meningkatkan kesuburan tanah secara alami. Dibandingkan dengan pupuk kimia, kompos lebih ramah lingkungan dan dapat meningkatkan kemampuan tanah dalam menyimpan air serta menyediakan unsur hara bagi tanaman. Mengolah sampah organik menjadi kompos bisa mengurangi volume sampah secara signifikan, sehingga tidak menambah kapasitas sampah di tempat pembuangan akhir (TPA), yang selama ini menjadi masalah besar bagi lingkungan.

Untuk membuat kompos dari sisa sayur dan buah, kita perlu mengenali bahan-bahan yang bisa dikomposkan. Kulit buah seperti pisang, apel, dan jeruk, sisa sayuran yang mulai layu atau membusuk, daun teh bekas, serta ampas kopi adalah contoh bahan yang ideal untuk dikomposkan. Sebaliknya, beberapa bahan organik seperti sisa makanan berminyak, produk susu, dan daging sebaiknya dihindari karena dapat menimbulkan bau tidak sedap dan menarik hama. Dengan memilah sampah dapur dengan baik, proses pembuatan kompos akan berjalan lebih optimal tanpa menimbulkan gangguan bagi lingkungan sekitar.

Ilustrasi kompos (Kompas.com)
Ilustrasi kompos (Kompas.com)

Ada dua metode utama dalam pembuatan kompos, yaitu kompos aerob dan kompos anaerob. Kompos aerob memerlukan oksigen dalam proses penguraiannya, sehingga harus sering dibalik agar tetap mendapat suplai udara. Metode ini lebih cepat dalam menghasilkan kompos yang matang. Biasanya dalam waktu 4 hingga 6 minggu. Sementara itu, kompos anaerob tidak memerlukan udara dan biasanya dilakukan dalam wadah tertutup. Prosesnya lebih lambat, bisa memakan waktu hingga beberapa bulan, tetapi tetap efektif untuk mengolah sampah organik. Kedua metode ini bisa diterapkan di rumah dengan menggunakan ember bekas, drum, atau wadah khusus komposter.

Agar proses dekomposisi berjalan lebih cepat, kita bisa menambahkan EM4 (Effective Microorganisms 4), yaitu larutan berisi mikroorganisme yang mempercepat penguraian bahan organik. Selain EM4, bahan alami seperti gula merah dan air cucian beras juga bisa digunakan untuk mempercepat fermentasi dan meningkatkan kualitas kompos. Gula merah berfungsi sebagai sumber energi bagi mikroorganisme pengurai, sedangkan air cucian beras mengandung nutrisi yang membantu perkembangan bakteri baik dalam kompos. Dengan cara ini, kompos akan lebih cepat matang dan memiliki kandungan nutrisi yang lebih baik untuk tanaman.

Menggunakan kompos dalam kebun rumah tangga atau urban farming memiliki banyak manfaat. Kompos tidak hanya meningkatkan kesuburan tanah, tetapi juga membantu menjaga kelembaban dan struktur tanah agar tetap gembur. Bagi mereka yang berkebun di lahan terbatas, seperti di pekarangan rumah atau dalam pot, kompos menjadi solusi alami untuk mendapatkan tanah yang subur tanpa perlu membeli pupuk kimia. Dengan mengolah sampah dapur menjadi kompos, kita telah mengurangi limbah rumah tangga sekaligus menciptakan ekosistem pertanian yang lebih berkelanjutan dan ramah lingkungan.

3. Memanfaatkan Sisa Nasi dan Lauk 

Sisa nasi dan lauk sering kali menjadi limbah makanan yang terbuang begitu saja, padahal masih bisa dimanfaatkan untuk pakan ternak. Ayam, bebek, dan ikan merupakan beberapa jenis hewan yang dapat mengonsumsi sisa makanan tersebut dengan aman, asal diberikan dengan cara yang benar. Nasi dan lauk yang masih layak makan dapat dicampur dengan dedak atau sisa sayuran untuk menambah nilai gizi bagi hewan ternak. Ini adalah solusi dalam membantu mengurangi limbah makanan sekaligus menekan biaya pakan bagi peternak rumahan.

Namun, penting untuk memastikan bahwa makanan yang diberikan belum mengalami pembusukan atau berjamur, karena makanan yang sudah basi bisa membahayakan kesehatan hewan ternak. Makanan yang sudah berfermentasi secara alami, seperti sisa nasi yang mulai mengeluarkan aroma asam, masih bisa diberikan kepada unggas dalam jumlah terbatas, tetapi harus dihindari jika telah berjamur. Selain itu, makanan yang terlalu berminyak atau berbumbu tajam juga sebaiknya tidak diberikan karena dapat mengganggu sistem pencernaan hewan. Dengan pemilahan yang tepat, sisa nasi dan lauk bisa menjadi sumber pakan yang efektif dan tetap aman bagi ternak.

Ilustrasi pakan ternak dari olahan sampah organik rumah tangga (Sumber: Kompas.com)
Ilustrasi pakan ternak dari olahan sampah organik rumah tangga (Sumber: Kompas.com)

Metode ini sangat efektif membantu masyarakat dalam mengurangi jumlah limbah makanan yang berakhir di tempat pembuangan akhir (TPA), dan membantu menciptakan sistem peternakan berkelanjutan yang berbasis pemanfaatan limbah. Bahkan, dalam skala yang lebih luas, konsep ini bisa diterapkan oleh komunitas atau desa yang memiliki peternakan mandiri, sehingga sampah organik dari rumah tangga bisa dikelola secara kolektif dan bermanfaat bagi ekonomi lokal. Dengan begitu, pengelolaan limbah makanan tidak hanya berdampak pada lingkungan, tetapi juga mendukung ketahanan pangan di tingkat rumah tangga maupun masyarakat.

Selain sebagai pakan ternak, sisa makanan dan limbah dapur juga dapat dimanfaatkan untuk membuat eco-enzyme, yaitu cairan fermentasi organik yang memiliki banyak manfaat, terutama sebagai pembersih alami dan pupuk tanaman. Eco-enzyme dibuat melalui proses fermentasi limbah organik seperti kulit buah (jeruk, nanas, mangga), dicampur dengan gula merah dan air. Proses ini akan menghasilkan cairan yang mengandung enzim alami yang dapat digunakan sebagai alternatif ramah lingkungan untuk berbagai keperluan rumah tangga dan pertanian.

Proses pembuatan eco-enzyme cukup sederhana. Perbandingan bahan yang digunakan adalah 1 bagian gula merah, 3 bagian limbah organik, dan 10 bagian air. Campuran ini kemudian difermentasi dalam wadah tertutup selama kurang lebih 3 bulan. Selama fermentasi, mikroorganisme alami akan menguraikan bahan organik menjadi cairan yang kaya akan enzim dan asam organik. Setelah masa fermentasi selesai, cairan hasil eco-enzyme dapat disaring dan digunakan untuk berbagai keperluan, sementara ampasnya masih bisa dimanfaatkan sebagai pupuk organik padat.

Manfaat eco-enzyme sangat beragam. Cairan ini bisa digunakan sebagai pembersih lantai, deterjen alami, bahkan sebagai penyegar udara tanpa bahan kimia berbahaya. Selain itu, eco-enzyme juga dapat digunakan sebagai pupuk cair yang membantu meningkatkan kesuburan tanah dan memperkuat daya tahan tanaman terhadap hama. Dengan mengolah limbah dapur menjadi eco-enzyme, ketergantungan masyarakat pada produk pembersih berbahan kimia bisa dikurangi sekaligus mengelola sampah organik dengan lebih bijak. Ini adalah langkah nyata dalam mendukung gaya hidup berkelanjutan dan menjaga keseimbangan lingkungan.

DIY Pupuk Cair dari Limbah Dapur

Pupuk cair menjadi salah satu alternatif terbaik bagi para pecinta tanaman, terutama bagi mereka yang ingin menerapkan sistem pertanian organik dan ramah lingkungan. Dibandingkan dengan pupuk padat, pupuk cair lebih mudah diserap oleh tanaman karena nutrisinya tersedia dalam bentuk larutan yang dapat langsung diserap melalui akar maupun daun. Selain itu, pupuk cair dapat memberikan nutrisi dalam waktu yang lebih cepat, membantu pertumbuhan daun, batang, hingga pembentukan bunga dan buah secara lebih optimal.

Selain efektif, pupuk cair juga memiliki keunggulan dalam hal ketersediaan bahan. Bahan-bahan alami yang sering ditemukan di dapur, seperti air cucian beras, kulit pisang, dan ampas kopi, bisa dijadikan pupuk cair tanpa harus membeli pupuk kimia yang terkadang berisiko bagi lingkungan dan kesehatan tanah. Oleh karena itu, membuat pupuk cair dari limbah dapur bukan hanya solusi berkelanjutan untuk mengelola sampah organik, tetapi juga cara hemat dan mudah untuk meningkatkan kesuburan tanaman di pekarangan rumah atau kebun kecil.

Untuk membuat pupuk cair alami, berbagai limbah dapur yang kaya akan unsur hara bisa digunakan. Air cucian beras, misalnya, mengandung berbagai mineral dan vitamin yang bermanfaat bagi tanaman, seperti fosfor dan nitrogen, yang membantu pertumbuhan akar dan batang. Air rendaman kulit bawang mengandung zat antibakteri alami serta sulfur yang dapat memperkuat daya tahan tanaman terhadap hama dan penyakit.

Ilustrasi pupuk cair (Sumber: Kompas.com)
Ilustrasi pupuk cair (Sumber: Kompas.com)

Selain itu, kulit pisang kaya akan kalium, salah satu unsur penting dalam pertumbuhan tanaman, terutama dalam pembentukan bunga dan buah. Ampas kopi, yang sering kali langsung dibuang, sebenarnya memiliki kandungan nitrogen yang tinggi, yang sangat bermanfaat untuk mempercepat pertumbuhan daun dan memperkuat batang. Dengan memanfaatkan bahan-bahan ini, kita tidak hanya mengurangi jumlah sampah organik, tetapi juga mengembalikan nutrisi alami ke dalam tanah dengan cara yang lebih alami dan berkelanjutan.

Tahap selanjutnya adalah membuat pupuk cair dari limbah dapur yang sangat mudah dan bisa dilakukan oleh siapa saja, bahkan tanpa peralatan khusus. Langkah pertama adalah menyiapkan wadah tertutup, seperti botol plastik atau ember, untuk menampung bahan-bahan yang akan difermentasi. Campurkan bahan-bahan organik yang telah dikumpulkan, seperti kulit pisang, ampas kopi, atau kulit bawang, dengan air dalam perbandingan 1:5. Air cucian beras juga bisa langsung digunakan tanpa perlu fermentasi. Namun, akan lebih optimal jika dibiarkan selama satu malam agar kandungan nutrisinya lebih terkonsentrasi.

Setelah semua bahan tercampur, biarkan larutan tersebut difermentasi selama beberapa hari hingga tercium aroma khas yang menandakan proses penguraian sedang berlangsung. Jika ingin mempercepat fermentasi, bisa ditambahkan sedikit gula merah atau EM4 (larutan mikroorganisme efektif) yang berfungsi sebagai aktivator biologis. Setelah 3-5 hari, larutan bisa disaring untuk memisahkan ampasnya, dan pupuk cair pun siap digunakan.

Sebelum digunakan, pupuk cair sebaiknya diencerkan terlebih dahulu dengan air bersih agar konsentrasinya tidak terlalu tinggi dan tidak merusak akar tanaman. Biasanya, perbandingan pengencerannya adalah 1:10, yaitu satu bagian pupuk cair dicampur dengan sepuluh bagian air. Pupuk cair ini bisa langsung disiram ke akar tanaman atau disemprotkan ke daun agar nutrisinya cepat diserap.

Dengan penggunaan rutin, pupuk cair dari limbah dapur ini dapat membantu tanaman tumbuh lebih subur tanpa harus bergantung pada pupuk kimia. Kalium dari kulit pisang akan membantu memperkuat batang dan merangsang pembentukan bunga serta buah. Nitrogen dari ampas kopi akan mempercepat pertumbuhan daun, sementara air cucian beras dan kulit bawang akan meningkatkan daya tahan tanaman terhadap penyakit. Secara keseluruhan, metode ini tidak hanya baik untuk tanaman, tetapi juga berkontribusi dalam mengurangi limbah organik dan menjaga keseimbangan ekosistem tanah secara alami.

Ilustrasi kemasan plastik pembungkus takjil sebagai sumber sampah di bulan Ramadan (Sumber: Liputan6.com)
Ilustrasi kemasan plastik pembungkus takjil sebagai sumber sampah di bulan Ramadan (Sumber: Liputan6.com)

Dengan demikian, sampah organik dari dapur Ramadan tidak seharusnya berakhir begitu saja di tempat pembuangan, karena sebenarnya banyak di antaranya yang masih memiliki manfaat besar. Dengan memanfaatkannya kembali, seperti membuat kompos, pakan ternak, eco-enzyme, atau pupuk cair, kita dapat mengurangi limbah yang mencemari lingkungan sekaligus menciptakan sesuatu yang berguna bagi tanaman dan ekosistem sekitar. Langkah kecil ini sangat membantu mengurangi volume sampah rumah tangga sekaligus mendukung praktik pertanian yang lebih alami dan berkelanjutan.

Momentum Ramadan dapat menjadi titik awal bagi kita untuk membangun kebiasaan hidup yang lebih ramah lingkungan. Dengan sedikit usaha dan kesadaran dalam mengolah limbah dapur, kita bisa berkontribusi dalam menjaga keberlanjutan lingkungan bahkan setelah bulan Ramadan berlalu. Jika kebiasaan ini terus dijaga, bukan tidak mungkin Ramadan tidak hanya menjadi waktu peningkatan spiritual, tetapi juga saat yang tepat untuk menumbuhkan kepedulian terhadap bumi yang kita tinggali.

Depok, 14 Maret 2025

Ramadan #14 | 1446

Ramadan Bercerita Hari 12

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun