Mohon tunggu...
Sultani
Sultani Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis Lepas

Senang menulis kreatif berbasis data

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Media Sosial dan Realitas Politik yang Dilebih-lebihkan

3 Januari 2024   22:22 Diperbarui: 10 Januari 2024   21:51 686
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Keunggulan media sosial adalah menghadirkan model komunikasi interaksi secara langsung sehingga orang bisa berbicara seperti dalam komunikasi secara tatap muka. Tawaran fitur  media sosial ini membuat orang keranjingan untuk menggunakannya. Penggunanya pun meningkat tajam  karena memudahkan orang untuk berkomunikasi dengan siapa saja pada waktu dan tempat yang berbeda secara bersamaan.

Instagram, Line, WhatsApp, Facebook, Twitter, dan Tiktok adalah beberapa platform medsos yang paling laris di kalangan masyarakat. Di aplikasi ini penggunanya bisa mengekspresikan diri dengan beropini, bercerita, berargumen, berdebat, atau melakukan banyak hal secara bebas dan terbuka.

Sekarang, orang bisa dengan mudah memiliki akun media sosial. Ini alasan lain yang masuk akal mengapa tren pemakaian media sosial kian marak sekarang. Inilah keniscayaan disrupsi. Manusia sekarang sudah tidak akan tahan lama untuk duduk bersama dan membicarakan isu-isu penting terkait kehidupan, ketimbang membaca atau menyaksikan konten-konten visual yang diunggah melalui Youtube dan media sosial lain.

Realita yang Artifisial

Media sosial adalah media penuh drama dan dramatisasi. Realita yang ditampilkan ber-kebalikan dengan kenyataan yang sebenarnya. Meskipun berawal dari realitas, proses transformasi pesan atau konten bisa menjadi tidak presisi karena individu yang memproduksi dan mendistribusikan pesan memiliki kekuasaan yang sangat bebas untuk mengurangi, melebihkan, dan mendramatisasi.

Siapa pun pengguna media sosial bisa sangat bebas untuk mengekspresikan pikiran, perasaan, dan peran artifisialnya. Tidak ada sekat dalam interaksi sehingga komunikasinya pun tidak memandang jenis kelamin, kelas sosial, karakter personal, latar belakang sosial-budaya, afiliasi politik, dan identitas sosial lainnya. Semua bebas memproduksi konten untuk disebarluaskan. Kendali produksi ada di tangan pengguna.


Produksi tanpa kontrol ini ternyata berkorelasi dengan karakter media sosial yang menuntut kecepatan dalam distribusi. Di sisi lain, tuntutan untuk cepat merespons dan mengomentari pesan menyebabkan pengguna dikejar waktu sehingga mengesampingkan ketelitian atau kecermatan. Di sinilah konten media sosial rentan di-salahtafsirkan atau dipercaya sebagai kebenaran.

Sumber: Kompas.com
Sumber: Kompas.com
Produksi konten yang bebas dan subyektif ini kemudian melahirkan realitas yang dilebih-lebihkan atau yang disebut hiper-realitas (hyperreality). Hiper-realitas merupakan istilah yang digunakan oleh Jean Baudrillard untuk menjelaskan bagaimana realitas dapat dibuat oleh individu secara luas dan terang-terangan. Pengguna medsos membuat atau meniru citra diri dari individu tertentu untuk menjadikannya sebagai identitas diri mereka agar dikonstruksi oleh masyarakat yang lebih luas. Masyarakat dengan leluasa akan membuat realitas atas sesuatu hal yang bisa jadi berbeda jauh dengan realitas yang sebenarnya.

Hiper-realitas sudah menjadi fenomena yang banyak kita temui di masyarakat sekarang. Fenomena ini ditandai dengan semakin banyaknya realitas yang dibuat oleh masyarakat demi merepresentasikan diri mereka sendiri. Media sosial mereproduksi hiper-realitas melalui konten yang sengaja dibuat berlebihan atau kebenarannya melampaui fakta. Dari konten yang lebay khalayak dunia maya dibuat percaya lalu mengasosiasikan dirinya, seolah-olah konten tersebut merupakan representasi keberadaannya.

Paradoks Media Sosial

Masyarakat menjadikan media sosial sebagai alat pengukur status sosial mereka di lingkungan masyarakat. Mereka menganggap bahwa medsos  menciptakan realitas sosial atas diri mereka sendiri. Padahal, tidak jarang mereka mencampuradukkan keaslian diri mereka dengan sesuatu yang palsu demi menciptakan realitas baru di masyarakat tentang diri mereka. Inilah paradoks medsos.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun