Mohon tunggu...
Sulfiza Ariska
Sulfiza Ariska Mohon Tunggu... Penulis - Halo, saudara-saudara sedunia. Apa kabarmu? Semoga kebaikan selalu menyertai KITA.

Penulis penuh waktu. Lahir di Sumatera Barat dan berkarya di Yogya. Emerging Writer "Ubud Writers and Readers Festival" ke-11. E-mail: sulfiza.ariska@gmail.com IG: @sulfiza_indonesia Twitter: Sulfiza_A

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Berguru Pada Bung Hatta: Agar Suara DPD-RI Didengar Rakyat

19 Juli 2015   21:06 Diperbarui: 19 Juli 2015   21:06 630
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dewasa ini, DPD-RI memiliki citra negatif di mata sebagian rakyat. Sebagai wakil rakyat, DPD-RI sering dinilai belum bisa mengakomodasi hak-hak dan suara rakyat. Berbagai tindakan yang berseberangan dengan spektrum moral sudah lazim terjadi di kalangan DPD-RI. Hal ini dikukuhkan dengan menjamurnya oknum anggota (mantan anggota) DPD-RI yang menjadi terdakwa tindak pidana.

Solidaritas antaranggota DPD-RI pun cenderung tidak terjaga. Masing-masing kubu cenderung memperjuangkan kepentingan politik partainya masing-masing. Sudah hal lumrah masing-masing kubu (partai) saling serang. Gedung parlemen menjelma ladang perebutan otoritas politik. Upaya mengakomodasi hak-hak asasi rakyat sebagai visi tunggal mulai terabaikan. Tidak mengherankan, DPD-RI perlahan-lahan kehilangan rasa hormat dari rakyat. Berbagai kritik pedas dan hujatan dari netizen terhadap kinerja DPD-RI, membanjiri halaman-halaman media massa virtual dan jejaring sosial media. Bahkan, tidak sedikit netizen menyarankan agar DPD-RI dibubarkan.   

Bagaimana mungkin DPD-RI didengar jika rasa hormat rakyat telah memudar?

Citra negatif tersebut telah membuat rakyat rentan bersikap apatis, serta membenci DPD-RI dan politisi secara keseluruhan. Namun, kita tidak bisa berburuk sangka (prejudice) dengan menggeneralisir perbuatan yang berseberangan dengan spektrum moral tersebut sebagai perilaku atau tindakan anggota DPD-RI secara kolektif. Dari ratusan anggota DPD-RI, tetap akan ada anggota DPD-RI yang masih memegang hati nurani dan idealisme dalam berjuang untuk mengakomodasi hak-hak rakyat. Menjadi sebuah tantangan besar bagi anggota DPD-RI yang masih memiliki hati nurani ini untuk membuat rakyat jatuh cinta.

 

 


Untuk membuat rakyat jatuh cinta, politisi DPD-RI perlu belajar pada jejak langkah politisi ulung Indonesia: Bung Hatta. Cinta rakyat pada Bung Hatta membuat suara politisi ini abadi. Pemikiran dan cita-citanya tetap diperjuangkan. Bahkan, dalam kematian pun, Bung Hatta tetap harum dalam ingatan rakyat Indonesia. Berikut beberapa hal yang membuat suara Bung Hatta abadi: 

1. Kedaulatan Rakyat

Perbedaan yang mendasar antara Bung Hatta dan mayoritas politisi dewasa ini adalah Bung Hatta sangat menghormati kedaulatan rakyat. Hal ini termaktub dalam pernyataan Bung Hatta dalam Daulat Ra’jat pada 20 September 1931 (dikutip dengan ejaan sekarang/EYD): [...] Bagi kita, rakyat itu yang utama, rakyat umum, yang mempunyai kedaulatan, kekuasaan (souvereiniteit). Karena rakyat itu jantung hati Bangsa. Dan rakyat itulah yang menjadi ukuran tinggi rendahnya derajat kita. Dengan rakyat itu kita akan naik dan dengan rakyat itu kita akan turun. Hidup matinya Indonesia Merdeka semuanya itu tergantung pada semangat rakyat. Penganjur-penganjur dan golongan kaum terpelajar baru ada berarti, kalau di belakangnya ada rakyat yang sadar dan insaf akan kedaulatan dirinya [...]. Tidak mengherankan, Bung Hatta selalu didengarkan rakyat.

Jika DPD-RI ingin didengar, maka para politisi DPD-RI juga harus menghormati kedaulatan rakyat; bukan bersikap arogan, pamer kekayaan, ataupun menganggap rakyat lebih rendah kedudukannya. DPD-RI harus menyadari bahwa kedaulatan di tangan rakyat. Dari rakyatlah DPD-RI berasal. Tanpa rakyat, DPD-RI tidak berharga. Bila rakyat tidak bersedia bekerjasama dengan pemerintah, kebijakan-kebijakan publik tidak akan terealisasi. Hal ini dibuktikan banyak pembangunan sosial yang menjadi agenda kebijakan publik yang terbengkalai seperti kemiskinan, kelaparan, angka kematian ibu, dan berbagai kebijakan publik lainnya.             

2. Politik Pedagogi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun