Mohon tunggu...
Sukmasih
Sukmasih Mohon Tunggu... Lainnya - Akun Resmi

Menulis berbagai hal dari sudut pandang kajian ilmu komunikasi. Belajar di Program Studi Ilmu Komunikasi, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Analisis Paradoks pada "Cancel Culture" terhadap Pelaku Kejahatan Seksual dan Etika Media Massa

9 September 2021   12:21 Diperbarui: 12 September 2021   08:48 860
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Media Massa | Sumber gambar: Engin_Akyurt/Pixabay.

Sejak Kamis (02/09) masyarakat Indonesia meluapkan opini publik yang luar biasa karena adanya glorifikasi terhadap pelaku kejahatan seksual yang baru dibebaskan setelah menjalani masa hukuman 5 tahun kurungan penjara. 

Glorifikasi pelaku kejahatan seksual ini dilakukan dengan adanya penyambutan di depan penjara lengkap dengan kalung bunga hingga menjadi bintang tamu di televisi.

Fenomena tersebut memicu munculnya opini publik yang negatif terhadap stasiun televisi yang telah melakukan glorifikasi terhadap pelaku kejahatan seksual dan munculnya petisi yang menuntut pembatasan gerak bagi pelaku kejahatan seksual dari layar kaca (televisi). 

Respon masyarakat terhadap fenomena glorifikasi terhadap pelaku kejahatan seksual memicu sikap yang menjurus pada 'cancel culture'.

Dalam tulisan ini, penulis akan mencoba menganalisis 'cancel culture' pada pelaku kejahatan seksual yang menjadi paradoks antara kontrol sosial dengan tindak perundungan.

A. Cancel Culture sebagai Kontrol Sosial

Di saat timbulnya kontroversi dalam kehidupan masyarakat maka hal tersebut akan menciptakan ajakan bertindak. Ini menunjukkan bahwa masyarakat yang terdiri atas individu-individu dapat bergerak secara bersama-sama untuk memperjuangkan hak dan kepentingan bersama.

Kondisi demikian tindakan cancel culture/seruan pemboikotan memulai debutnya sebagai alat kontrol sosial yang disukai untuk menegakkan keadilan sosial. Cancel culture layaknya kutukan publik dan hukuman bagi orang-orang yang perbuatannya dianggap tidak bermoral atau tidak pantas.

Cancel culture akan membatasi pelaku kejahatan dari partisipasi dan akses ke peluang serta hak pengembangan diri. Hal ini sangat efektif dalam memerangi seksisme, rasisme, atau jenis pelecehan lainnya atau perbuatan salah yang berbahaya bagi orang lain.

Cancel culture membuktikan dimana kekuatan masyarakat yang bersatu untuk membela kepentingan bersama cukup untuk menutup kebebasan dan peluang pelaku kejahatan untuk kembali dalam lingkungan sosial yang normal.

Pada dasarnya, ketika seseorang telah mengatakan atau melakukan hal-hal yang bermasalah (yang tidak sesuai dengan nilai dan norma masyarakat), maka masyarakat memiliki kemampuan untuk berhenti mendukung mereka (red: pelaku kejahatan) dan berhenti memberikan peluang pekerjaan untuk mereka.

B. Cancel Culture sebagai Pengucilan Ekstrem

Tentunya dalam hal kontrol sosial, kita dapat menerima dampak positif dari cancel culture, tetapi hal ini juga dapat berujung pada tindakan yang buruk dan menghilangkan aspek sudut pandang hitam putih terhadap pelaku tindak kejahatan. 

Sebagai manusia yang beradab tentu kita perlu menyadari bahwa kita harus membiarkan individu belajar dari kesalahan mereka.

Ini menunjukkan paradoks cancel culture sebagai alat kontrol sosial. Cancel culture menjadi ekspresi dari proses pengucilan sosial yang lebih umum. Kemungkinan ekstrem dari tindakan cancel culture adalah pengucilan sosial bersifat koersif.

Cancel culture berpotensi berubah menjadi intimidasi dan tindak bullying. Tindakan cancel culture yang tidak tepat dapat membuat seseorang (yang diboikot) terisolasi secara sosial dan kesepian. Hal tersebut akan memicu kecemasan, depresi, dan meningkatkan kecenderungan bunuh diri yang lebih tinggi.

C. Justice Culture, Cancel Culture & Mass Media Ethics

Sejumlah pertanyaan mulai muncul sebagai bahan pertimbangan dari tindakan cancel culture terhadap pelaku tindak kejahatan. Apakah masyarakat perlu melakukan kontrol sosial menggunakan cancel culture sementara kita mempercayai nilai-nilai dari keadilan?

Bagaimana nilai dari kesetaraan yang kita percayai dimana kita memahami bahwa setiap individu memiliki hak untuk belajar dari kesalahannya?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut akan lebih mudah terjawab, seandainya fenomena glorifikasi terhadap pelaku tindak kejahatan seksual tidak terjadi.

Melihat apa yang terjadi hari ini terkait petisi pemboikotan pelaku tindak kejahatan seksual dari layar kaca menjadi bahan telaah bagi kita semua bahwa permasalahan ini bukan tentang ketidakpercayaan masyarakat terhadap nilai-nilai keadilan yang diberikan penegak hukum atau ketidakpercayaan masyarakat terhadap nilai-nilai kesetaraan.

Adanya cancel culture yang belakangan terjadi dipicu oleh 'hilangnya' etika media massa dalam menyikapi kebebasan pelaku tindak kejahatan seksual dari jerat hukum.

Perlu diakui dengan tegas bahwa penyambutan secara berlebihan oleh media massa (mengarah pada perayaan) kebebasan pelaku tindak kejahatan seksual adalah sesuatu yang tidak pantas dan tidak menjunjung nilai-nilai etika jurnalistik dalam komunikasi massa.

Tindakan yang telah melupakan prinsip etika jurnalistik ini dapat memberikan dampak negatif bagi korban kejahatan seksual (secara khusus) dan publik (secara umum).

Glorifikasi terhadap pelaku tindak kejahatan seksual yang dilakukan oleh media massa dapat mengarah pada pemakluman terhadap perilaku kejahatan seksual.

Cancel culture mungkin saja tidak terjadi pada public figure (yang menjadi pelaku tindak kejahatan seksual) jika media massa menjadi media informasi/memberitakan rasa penyesalan pelaku tindak kejahatan seksual dan permintaan maaf kepada publik atas kesalahan yang tidak pantas dilakukan oleh public figure.

Maka dalam konteks ini, penulis menggugat etika jurnalistik dalam komunikasi massa yang dilupakan oleh media massa yang melakukan glorifikasi terhadap pelaku tindak kejahatan seksual.

Sebagai catatan bersama, kita harus menilai kembali makna kontrol sosial dari cancel culture dan etika media massa dalam menyikapi kebebasan pelaku tindak kejahatan.

Keberadaan masyarakat yang kritis dan peka akan masalah sosial serta sepakat untuk melakukan cancel culture memiliki nilai penting untuk menghidupkan kontrol sosial. (tentunya dengan maksud menghentikan kejahatan yang ada: seksisme, rasisme, dll). 

Namun, keberadaan media massa yang beretika dan berpihak kepada kepentingan masyarakat luas serta mengerti nilai-nilai sosial adalah pilar utama untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik.

Seperti apa moril masyarakat Indonesia kedepannya bergantung pada bagaimana masyarakat dan media massa berkolaborasi untuk membangun tatanan dan moril yang baik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun