Mohon tunggu...
Rai Sukmaning
Rai Sukmaning Mohon Tunggu... Administrasi - Perekayasa

Tinggal di Bali.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Sama Sekali Tak Tercium Aroma Bunga maupun Setanggi

3 Juli 2015   00:24 Diperbarui: 3 Juli 2015   00:24 402
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Jujur saja, meski menarik, perempuan ini bukanlah tipe orang yang tepat untuk dilihat saat pertama kali sadar di rumah sakit. Tentu saja. Dia terlihat seperti orang yang akan melahapku hidup-hidup. Sial.

“Siapa yang mengajakku kesini?”

“Tak ada,” sahutnya singkat.

“Apa maksudmu dengan ‘tak ada’?”

Matanya bergerak ke sudut lain, lalu kudengar ia berkata dengan nada memperolok, “Tak a-da. Kenapa kau tak mengerti!”

Bibirnya sungguh-sungguh mengundang kecurigaan. Aku tak mengatakan apa-apa, tapi aku merasa dahiku sedikit mengerut. Dan kurasa dia menyadarinya. Seperti sebuah mesin penjawab otomatis dia kemudian menambahkan, “Kenapa kau susah sekali mengerti? Kau datang ke tempat ini dengan kehendakmu sendiri. Bukankah kau yang menjatuhkan dirimu sendiri di tangga flatmu?”

Duh, Gusti. Kenapa orang macam ini yang kulihat pertama kali saat siuman. Kenapa bukan perempuan yang berteriak “akhirnya kau sadar juga, aku cemas menungguimu.” Kenapa? Jika harapan adalah suatu hal yang mesti digapai dengan perjuangan sebagai ganti terwujudnya, apakah harapanku hanyalah tinggal kemungkinan yang telah kulewati dan usai? Aku hanya salah mengatakan “mengajak” yang seharusnya “membawa” dan perempuan ini bertingkah seperti seorang guru bahasa yang galak.

“Apakah kau baik-baik saja?” Dia bertanya tanpa menunggu jawabanku atas pertanyaan sebelumnya.

“Ya, aku baik-baik saja,” jawabku menguatkan diri.

“Bagaimana kau bisa merasa baik-baik saja?” Lagi-lagi, perempuan ini, pikirku. “Padahal kau jatuh di tangga dari lantai dua ke lantai satu. Kepalamu terbentur keras—lima belas jahitan. Tanganmu patah. Dengan luka seperti itu apakah kau masih baik-baik saja?”

Aku melihat tangan kiriku. Apa benda keras ini benar-benar bisa patah, pikirku. Selain itu, lima belas jahitan. Astaga, aku tidak sedang di rumah sakit. Ruangan ini adalah milik seorang tailor.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun