Mohon tunggu...
Rai Sukmaning
Rai Sukmaning Mohon Tunggu... Administrasi - Perekayasa

Tinggal di Bali.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Sama Sekali Tak Tercium Aroma Bunga maupun Setanggi

3 Juli 2015   00:24 Diperbarui: 3 Juli 2015   00:24 402
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Aku terjaga. Disampingku seorang perempuan menyambutku dengan gembira, seolah aku ini Mesias yang ditunggu-tunggu. Aku lihat sekelilingku, melulu putih. Hanya perempuan ini yang tampak mencolok dengan gaun merahnya.

“Aku di rumah sakit?”

“Tidak,” sahutnya.

“Bagaimana mungkin aku tidak di rumah sakit?” Dia tertawa kecil. Lesung pipitnya membuatku hampir melupakan pertanyaanku. “Apa benar ini bukan rumah sakit?”

“Tentu saja ini rumah sakit.”

“Aku kira aku sudah mati.”


“Maaf, aku sedikit berhohong. Karena kau jelas-jelas masih hidup, aku hanya ingin memastikan apakah akal sehatmu juga masih hidup…” dia berhenti, menahan tawanya, kemudian melanjutkan, “…dan tampaknya masih.”

Kami diam sesaat. Dari arah luar terdengar suara-suara keributan kecil. Semacam kepanikan yang muncul tiap kali seseorang harus berurusan dengan rumah sakit. Dengan beberapa kali percobaan akhirnya aku bisa duduk. Bertumpu pada satu tangan, aku menarik badanku agak kebelakang dan menyandarkannya pada bantal. Sekarang, dari posisi ini, aku bisa melihat dengan jelas wajah perempuan itu.

“Seorang perempuan akan terlihat anggun dengan gaun. Tentu. Bahkan tikus-tikus dari got paling menjijikkan pun akan terpesona. Tapi aku tak tahu kalau hal itu juga berlaku di rumah sakit,” kataku.

Perempuan itu membuka tas jinjingnya. Tangannya merogoh jauh ke dalam seakan disana ada sebuah ruang yang teramat luas untuk menyimpan segalanya. Agak lama kemudian dia berkata, “Nah, ini yang aku cari.” Ia menunjukkan sebuah gincu berwarna merah padam. Bibirnya yang penuh dimoncongkan. Lalu, sambil pura-pura memolesnya ia berkata, “Apa iya rumah sakit hanya buat orang-orang pra-mati? Haram ya untuk menghibur diri dan berharap disini?”

Ia kembali tertawa dan kali ini membuatku sedikit kesal. Kepalaku menjadi agak pusing. Semacam dentang jam lonceng atau dengung ribuan lebah lapar terdengar berulang dan berdenyut di sekelilingku. Seutas tali terasa mengikat badanku dan menariknya jauh ke belakang. Untunglah semua itu kian lama kian menyaru untuk kemudian hilang sepenuhnya. Sekejap setelahnya pikiranku kembali dan menyadari ternyata perempuan ini bukan “periang” seperti yang kubayangkan. Aku pun ingin segera bangun dari ranjang sakit ini dan meninggalkannya begitu saja—sekadar untuk memberinya pelajaran.

Jujur saja, meski menarik, perempuan ini bukanlah tipe orang yang tepat untuk dilihat saat pertama kali sadar di rumah sakit. Tentu saja. Dia terlihat seperti orang yang akan melahapku hidup-hidup. Sial.

“Siapa yang mengajakku kesini?”

“Tak ada,” sahutnya singkat.

“Apa maksudmu dengan ‘tak ada’?”

Matanya bergerak ke sudut lain, lalu kudengar ia berkata dengan nada memperolok, “Tak a-da. Kenapa kau tak mengerti!”

Bibirnya sungguh-sungguh mengundang kecurigaan. Aku tak mengatakan apa-apa, tapi aku merasa dahiku sedikit mengerut. Dan kurasa dia menyadarinya. Seperti sebuah mesin penjawab otomatis dia kemudian menambahkan, “Kenapa kau susah sekali mengerti? Kau datang ke tempat ini dengan kehendakmu sendiri. Bukankah kau yang menjatuhkan dirimu sendiri di tangga flatmu?”

Duh, Gusti. Kenapa orang macam ini yang kulihat pertama kali saat siuman. Kenapa bukan perempuan yang berteriak “akhirnya kau sadar juga, aku cemas menungguimu.” Kenapa? Jika harapan adalah suatu hal yang mesti digapai dengan perjuangan sebagai ganti terwujudnya, apakah harapanku hanyalah tinggal kemungkinan yang telah kulewati dan usai? Aku hanya salah mengatakan “mengajak” yang seharusnya “membawa” dan perempuan ini bertingkah seperti seorang guru bahasa yang galak.

“Apakah kau baik-baik saja?” Dia bertanya tanpa menunggu jawabanku atas pertanyaan sebelumnya.

“Ya, aku baik-baik saja,” jawabku menguatkan diri.

“Bagaimana kau bisa merasa baik-baik saja?” Lagi-lagi, perempuan ini, pikirku. “Padahal kau jatuh di tangga dari lantai dua ke lantai satu. Kepalamu terbentur keras—lima belas jahitan. Tanganmu patah. Dengan luka seperti itu apakah kau masih baik-baik saja?”

Aku melihat tangan kiriku. Apa benda keras ini benar-benar bisa patah, pikirku. Selain itu, lima belas jahitan. Astaga, aku tidak sedang di rumah sakit. Ruangan ini adalah milik seorang tailor.

“Ya, aku baik-baik saja,” kuulangi kata-kataku dengan cepat dan ketus.

“Apa?” tanyanya lagi. Tak kujawab. “Orang aneh,” dia menukas.

Oh, Nona yang manis, izinkalah hambamu ini istirahat barang sebentar saja. Ya, sebentar saja. Kalau sudah cukup tenaga aku akan melompat-lompat seperti kuda sirkus, berlari kian kemari, menumpahkan kekesalan. Tunggu sebentar lagi.

Kesal dengan perempuan ini, akhirnya aku memutuskan diam. Aku lempar pandang ke seantero sudut ruangan. Serba putih. Sungguh membosankan. Tempat ini terlihat seperti penjara yang siap melemahkan tiap otot dan syaraf narapidana di dalamnya. Bahkan bunga diatas meja adalah mawar putih. Meski secara keseluruhan, ruangan ini tampak begitu bagus. Seharusnya, untuk seorang mahasiswa yang hidup dari pekerjaan paruh waktu, aku hanya bisa dirawat di ruangan kelas tiga atau dua. Sedangkan ini pasti ruang kelas satu. Ruangan yang terlalu berlebihan buatku. Ada TV, pendingin ruangan, tempat duduk untuk penjenguk, kulkas, dan benda-benda kecil lain yang kesemuanya tak ada di kamar flatku. Hanya kasur yang sama-sama ada, namun tak seempuk ini. Luas ruangan ini bahkan lebih dari dua kali luas kamar flatku. Syukurlah aku sakit, pikirku.

Namun pikiran itu buru-buru aku buang. Masalahnya, bagaimana aku akan membayar semua ini? Uang tabunganku pasti tak cukup. Aku pun tak yakin bos di tempat kerjaku mau membayarnya. Untuk satu gelas yang pecah saja aku mesti ganti rugi, tidak mungkin dia mau membayar tagihan rumah sakitku. Setelah pertimbangan serba singkat tersebut, akhirnya aku memutuskan untuk menarik kembali syukur atas sakitku ini dan menggantinya dengan rasa cemas.

“Kali ini aku serius, Nona. Jangan mempermainkanku lagi. Siapa yang membawaku kesini? Aku mesti berterimakasih padanya.”

Perempuan itu memandangku dengan matanya yang jernih. Namun ia tak menjawab. Dia berpaling pada lantai, seolah diriku ini gembel yang memang wajar diabaikan. Jari tangannya bergerak tak keruan. Sebentar aku merasa dia tengah berusaha berada di tempat lain. Ada apa dengan perempuan ini? Apakah ada pertanyaanku yang salah?

“Siapa yang mem-ba-wa-ku ke-si-ni, Nona?” tanyaku mengejar. Dia bergeming.

Entah kenapa aku malah merasa bersalah, dan mulai berpikir untuk memperbaiki keadaan. Aku mulai menjelaskan bahwa yang ingin kutahu hanya penjelasan singkat tentang siapa yang membawaku kemari, dan bagaimana. Mungkin aku terdengar menuntut dan karena itu aku minta maaf. Semua itu kulakukan memang dengan sedikit terpaksa, tapi tidak berarti aku sama sekali takkan mengatakannya. Meski sedikit tergesa-gesa aku telah mengatakannya dan menunjukkan bahwa aku lelaki yang cukup baik. Aku tersenyum padanya dan kembali bertanya, “Siapakah nama orang itu, Nona?” Namun, yang kudengar hanya komposisi 4’33”. Aku mengulanginya sekali lagi. Kali ini dengan suara lebih lembut. Dia tetap bergeming.

Pertama kali aku bertemu perempuan seperti ini. Tepatnya untuk pertama kali ketika aku masuk rumah sakit dalam keadaan tak sadarkan diri, dan ketika siuman mendapati perempuan seperti ini. Tak ada yang salah dengan pertanyaanku. Tidak juga kasar ataupun menyinggung. Tapi lihat hasilnya, dia cuma bergeming. Seolah aku telah mengungkit masa lalunya yang kelam dan mengobrak-abrik kenangan indahnya.

Aku mencoba mengerti jalan pikirannya. Hidup ini memang menyebalkan, Nona. Takdir telah membuatmu berada di ruangan ini bersama seorang bajingan yang tak kau kenal. Memaksamu meratapi pertanyaan-pertanyaanku yang terdengar kasar dan interogatif. Tapi aku tak mau terjebak dan aku bukan seorang Komisaris Polisi ataupun sebangsanya. Tenang saja, kalau Nona akhirnya memuncak dan merasa benar-benar terganggu, tidak akan melanggar hukum jika Nona menampar seorang sakit di ranjang sakitnya. Tentu saja aku tak berharap dia sungguh-sungguh melakukannya. Kalaupun itu benar-benar terjadi aku takkan bisa menghindar dengan kondisiku saat ini.

Di mulut jendela cahaya matahari baru saja menerobos masuk, membawa udara hangat bersamanya. Segera saja ruangan dipenuhi dengan warna kekuningan. Dari jendela hingga lantai kulihat sebentuk garis-garis samar memanjang dengan titik-titik kecil yang banyak bersambungan diantaranya. Mereka menjulukinya sebagai penyusup yang tak pernah gagal. Aku rasa mereka benar. Kini, aku merasa lebih hidup. Meski seluruh bau rumah sakit seakan berkumpul di ruangan ini dan membuatku mual. Aku pikir, beberapa hari ke depan akan berlalu dengan hal semacam ini.

Aku menatap jendela itu lekat-lekat. Bentuknya aneh dan tak begitu sesuai dengan keseluruhan desain ruangan. Terlalu kuno. Lalu, terkesan olehku satu kejanggalan yang lumayan lama kusadari. Kenapa tak seorangpun berusaha menutup gorden jendela itu? Bahwa sebelumnya mereka tahu aku belum siuman dan takkan sempat melihat bintang. Jadi, buat apa mereka membiarkan korden itu terbuka? Ah, itu dia. Matahari baru terbit. Aku lihat perempuan itu lagi. Kantung matanya gelap. Siapa perempuan ini?

Aku menanyakan namanya. Dia tak menjawab. Dia malah menyarankan agar aku segera mengabarkan pada keluarga kondisiku sekarang. Meski menyebalkan mendengar sarannya, aku bersyukur dia kembali bicara. Tidakkah itu perlu, dia bertanya dengan memberi penekanan pada kata “perlu.” Tidak sama sekali, jawabku. Menurutku itu tidak penting. Bukan masalah akan membuat mereka khawatir atau tidak, namun aku sudah di rumah sakit dan kurasa itu cukup. Agaknya jawabanku itu mengganggu pikirannya. Jadi, aku mengatakan padanya, aku telah di rumah sakit dan masih hidup, sehingga keadaanku ini akan kukabarkan suatu hari nanti melalui sepotong cerita pada keluargaku. Aku melihat raut kecewa di wajahnya. Tapi toh aku sudah mengatakannya.

“Kalau begitu maumu,” katanya, “sekarang aku lebih baik mencari hiburan di luar.” Namun, saat itu, sama sekali tak tercium aroma bunga maupun setanggi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun