Mohon tunggu...
Sukir Santoso
Sukir Santoso Mohon Tunggu... pensiunan guru yang suka menulis

Peduli pada bidang psikologi, sosiologi, pendidikan, seni, dan budaya. Saya merasa tertarik untuk memahami manusia, bagaimana mereka belajar, serta bagaimana pengalaman budaya dan seni dapat memengaruhi mereka. Saya sangat peduli dengan kesejahteraan sosial dan keadilan, dan mencari cara untuk menerapkan pemahaman tentang psikologi, sosiologi, pendidikan, seni, dan budaya untuk membuat perubahan positif dalam dunia ini.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Keluhan Ken Dedes di Istana Tumapel

15 Oktober 2025   05:41 Diperbarui: 15 Oktober 2025   05:41 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash


Oleh: Sukir Santoso

Malam turun perlahan di atas Istana Tumapel. Angin membawa aroma dupa dari pendapa, berbaur dengan bau kayu cendana yang terbakar. Di balik jendela berukir naga, seorang perempuan duduk diam. Wajahnya menunduk, mata sayunya menatap bulan yang separuh.

Dialah Ken Dedes --- perempuan yang dulu dikenal karena kecantikan dan kebijaksanaannya, kini hidup bagai burung di sangkar emas.

---

Ken Dedes berbisik pelan pada dirinya sendiri, "Bulan... engkau saksi sejak aku direnggut dari rumah ayahku. Dari taman yang penuh kembang tanjung... kini aku hanya melihat dinding batu dan wajah yang menakutkan itu."

Pintu bergeser pelan. Seorang dayang tua, Ni Rara, masuk sambil membawa kendi air dan kain halus, "Ratu, sudah waktunya beristirahat. Tubuh Paduka lemah akhir-akhir ini. Kandungan Paduka sudah memasuki bulan ketiga."

Ken Dedes menarik napas panjang,"Kandungan ini, Rara... aku bahkan tak tahu apakah harus merasa bahagia atau takut. Anak ini... bukan buah kasih, melainkan hasil dari paksaan."

Ni Rara menunduk dalam diam,"Namun darah yang mengalir di tubuhnya suci, Ratu. Ia tak bersalah atas perbuatan orang tuanya."

Ken Dedes, "Aku tahu. Dan karena itu aku berdoa setiap malam, agar anak ini kelak tumbuh menjadi manusia yang lebih adil daripada ayahnya."

Suara langkah berat terdengar di luar ruangan. Tunggul Ametung datang, dengan pakaian
 kebesaran seorang akuwu dan dengan sorot mata yang tajam, "Kenapa kau duduk sendirian, Dedes? Istriku seharusnya menyambutku, bukan meratap seperti perawan yang kehilangan kekasih."

Ken Dedes menahan air mata, suaranya bergetar,
"Aku tidak kehilangan kekasih, Tuan... karena aku tak pernah memilikinya. Aku hanya kehilangan kebebasan."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun