Tunggul Ametung mendekat, suaranya mengancam, "Jangan berkata demikian! Kau istri penguasa Tumapel. Segala yang ada di sini milikku---termasuk dirimu!"
Ken Dedes dengan wajah yang tegar, menatap lurus, "Tubuhku mungkin milikmu, tapi jiwaku bukan. Aku masih anak dari Mpu Purwa. Kau boleh memenjarakanku, tapi kau tak akan pernah memiliki hatiku."
Tunggul Ametung menatap tajam, lalu berbalik tanpa sepatah kata. Pintu ditutup keras di belakangnya. Hening kembali menguasai ruangan.
Ni Rara berbisik cemas, "Paduka... mengapa melawan beliau begitu?"
Ken Dedes berkata lemah, namun yakin, "Karena diamku terlalu lama membuatku terluka. Aku rindu ayahku, Rara. Aku rindu pelukan dan nasihatnya. Kadang aku ingin kabur dari istana ini, kembali ke hutan Panawijen."
Ni Rara, "Namun, siapa yang berani menentang Tunggul Ametung? Ia kejam pada siapa pun yang melawan."
Ken Dedes, "Akan ada seseorang... entah siapa, tapi aku yakin akan datang. Seseorang yang berani melawan tirani ini."
Ken Dedes menatap bulan lagi. Di matanya ada kilau aneh --- bukan hanya kesedihan, tapi juga ramalan masa depan.
Kelak, keyakinannya terbukti: seorang lelaki bernama Ken Arok datang, membawa api pemberontakan dan cinta yang tak ia duga.
Akhir Cerita:
Di balik penderitaannya, Ken Dedes menyimpan kekuatan seorang ibu dan cahaya seorang permaisuri. Dari rahimnya lahir garis keturunan yang akan membangun kerajaan besar --- Singhasari dan Majapahit.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI