Oleh: Sukir Santoso
Malam turun perlahan di atas Istana Tumapel. Angin membawa aroma dupa dari pendapa, berbaur dengan bau kayu cendana yang terbakar. Di balik jendela berukir naga, seorang perempuan duduk diam. Wajahnya menunduk, mata sayunya menatap bulan yang separuh.
Dialah Ken Dedes --- perempuan yang dulu dikenal karena kecantikan dan kebijaksanaannya, kini hidup bagai burung di sangkar emas.
---
Ken Dedes berbisik pelan pada dirinya sendiri, "Bulan... engkau saksi sejak aku direnggut dari rumah ayahku. Dari taman yang penuh kembang tanjung... kini aku hanya melihat dinding batu dan wajah yang menakutkan itu."
Pintu bergeser pelan. Seorang dayang tua, Ni Rara, masuk sambil membawa kendi air dan kain halus, "Ratu, sudah waktunya beristirahat. Tubuh Paduka lemah akhir-akhir ini. Kandungan Paduka sudah memasuki bulan ketiga."
Ken Dedes menarik napas panjang,"Kandungan ini, Rara... aku bahkan tak tahu apakah harus merasa bahagia atau takut. Anak ini... bukan buah kasih, melainkan hasil dari paksaan."
Ni Rara menunduk dalam diam,"Namun darah yang mengalir di tubuhnya suci, Ratu. Ia tak bersalah atas perbuatan orang tuanya."
Ken Dedes, "Aku tahu. Dan karena itu aku berdoa setiap malam, agar anak ini kelak tumbuh menjadi manusia yang lebih adil daripada ayahnya."
Suara langkah berat terdengar di luar ruangan. Tunggul Ametung datang, dengan pakaian
 kebesaran seorang akuwu dan dengan sorot mata yang tajam, "Kenapa kau duduk sendirian, Dedes? Istriku seharusnya menyambutku, bukan meratap seperti perawan yang kehilangan kekasih."
Ken Dedes menahan air mata, suaranya bergetar,
"Aku tidak kehilangan kekasih, Tuan... karena aku tak pernah memilikinya. Aku hanya kehilangan kebebasan."
Tunggul Ametung mendekat, suaranya mengancam, "Jangan berkata demikian! Kau istri penguasa Tumapel. Segala yang ada di sini milikku---termasuk dirimu!"
Ken Dedes dengan wajah yang tegar, menatap lurus, "Tubuhku mungkin milikmu, tapi jiwaku bukan. Aku masih anak dari Mpu Purwa. Kau boleh memenjarakanku, tapi kau tak akan pernah memiliki hatiku."
Tunggul Ametung menatap tajam, lalu berbalik tanpa sepatah kata. Pintu ditutup keras di belakangnya. Hening kembali menguasai ruangan.
Ni Rara berbisik cemas, "Paduka... mengapa melawan beliau begitu?"
Ken Dedes berkata lemah, namun yakin, "Karena diamku terlalu lama membuatku terluka. Aku rindu ayahku, Rara. Aku rindu pelukan dan nasihatnya. Kadang aku ingin kabur dari istana ini, kembali ke hutan Panawijen."
Ni Rara, "Namun, siapa yang berani menentang Tunggul Ametung? Ia kejam pada siapa pun yang melawan."
Ken Dedes, "Akan ada seseorang... entah siapa, tapi aku yakin akan datang. Seseorang yang berani melawan tirani ini."
Ken Dedes menatap bulan lagi. Di matanya ada kilau aneh --- bukan hanya kesedihan, tapi juga ramalan masa depan.
Kelak, keyakinannya terbukti: seorang lelaki bernama Ken Arok datang, membawa api pemberontakan dan cinta yang tak ia duga.
Akhir Cerita:
Di balik penderitaannya, Ken Dedes menyimpan kekuatan seorang ibu dan cahaya seorang permaisuri. Dari rahimnya lahir garis keturunan yang akan membangun kerajaan besar --- Singhasari dan Majapahit.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI