Menulis, katanya merupakan sebuah pekerjaan paling sederhana di dunia. Tinggal ambil pena atau membuka laptop, lalu biarkan kata-kata menari dan mengalir begitu saja. Seolah-olah tulisan itu bisa lahir hanya dengan berduduk manis sambil menyeruput kopi.
Tapi nyatanya? Begitu pena menempel di kertas atau kursor mulai mengedip-ngedip manja di layar kosong, justru otak terlalu sibuk mencari seribu satu alasan untuk kabur.
Menulis ternyata lebih mirip dengan menunggu gebetan membalas chat: penuh dengan harapan yang sering digantungkan.
Mungkin itu juga yang menjadi sebab kenapa menulis bisa memiliki frasa sebuah seni menggoda sunyi. Sebab dalam kesunyian itu kita tengah bernegosiasi begitu alot dengan pikiran kita sendiri yang lebih cerewet dari seorang wanita ketika tiba masa menstruasi dan sulit untuk diatur tentunya.
Kadang kita merasa bahwa ini saatnya karena ide tengah mengalir deras di kepala, tapi begitu kita ingin tuangkan menjadi kata-kata, ia menguap entah pergi ke mana. Seperti sebuah asap rokok di angkringan depan kosan, yang baru saja pada lalu hilang begitu saja diterpa angin malam.
Sunyi itu tak pernah memberikan ruang yang benar-benar kosong, tapi juga tak pernah mudah untuk diajak untuk berkompromi barang sejenak saja.
Pada angkringan depan kosan yang sering kali menjadi saksi bisu itu, saya seringkali duduk berjam-jam hanya untuk menanti ide yang tak kunjung singgah.
Di seberang angkringan lampu jalan hanya berkedip-kedip seperti malas bekerja, seolah tengah merasakan hal yang sama dengan saya, yakni kebuntuan di dalam kepala.
Segelas kopi panas juga tak tertinggal menjadi saksi atas bagaimana satu demi satu kalimat yang tengah dirangkai malah berakhir menjadi sampah yang terus menerus dihapus tanpa ada jeda. Kadang malah yang lahir di buku catatan hanyalah corat-coretan tak jelas, seperti sebuah gambaran sketsa jalan buntu.
Lalu saya mulai merasakan, bahwa mungkin saja menulis memang lebih banyak dihabiskan untuk menunggu daripada eksekusi.