Kalimat itu meluncur begitu saja dari mulut seorang Menteri Keuangan yang kita tahu, lisannya sering rapi terukur. Belakangan memang buru-buru diklarifikasi: katanya hanya candaan. Tapi di negeri ini, candaan pejabat kadang lebih menohok daripada kenyataan. Dan kalau benar itu hanya gurauan, maka pertanyaan berikutnya lebih pahit lagi: pantaskah sebuah profesi yang selama puluhan tahun disebut "pahlawan tanpa tanda jasa" dijadikan bahan lelucon murahan?
Bayangkan kalau guru-guru di seluruh Indonesia benar-benar mogok satu minggu penuh. Anak-anak tidak sekolah, mahasiswa tidak kuliah, kantor-kantor sepi pegawai baru, dan negeri ini mendadak kehilangan arah. Tapi hei, bukankah lebih enak membayangkan guru sebagai beban negara ketimbang menyadari betapa negara ini sebenarnya yang sudah lama jadi beban guru?
Mari kita jujur. Yang bikin guru merasa terbebani bukanlah murid-murid mereka yang nakal, tapi sistem pendidikan kita yang penuh eksperimen. Kurikulum gonta-ganti seperti tren fashion: kadang seragam putih abu-abu terasa lebih stabil dibanding sistem evaluasi yang dipakai. Di atas kertas, anggaran pendidikan selalu dibangga-banggakan: 20 persen dari APBN. Besar sekali, katanya. Tapi coba tanya ke guru honorer yang gajinya setara uang jajan anak SMA di kota besar, apa mereka ikut merasa "besar"?
Guru memang kerap dipuja dalam pidato, dibingkai dalam baliho saat Hari Pendidikan Nasional, dipanggil pahlawan di setiap peringatan Hari Guru. Tapi setelah tepuk tangan reda, mereka kembali ke rutinitas: mengajar dengan spidol kering, papan tulis bolong, dan ruang kelas yang atapnya lebih akrab dengan bocor daripada sinar matahari. Kalau ada yang menyebut mereka beban, sebenarnya yang terasa membebani adalah ironi itu sendiri.
Dan lucunya, sebutan "beban negara" dilontarkan oleh pejabat yang gajinya tentu lebih besar dari rata-rata dosen tetap, apalagi guru honorer. Bedanya, guru kalau salah tulis angka di papan tulis masih bisa dimaafkan, sementara kalau pejabat salah hitung anggaran, dampaknya bisa bikin rakyat kelabakan. Tapi entah kenapa, justru yang dituding beban adalah mereka yang membentuk pondasi pengetahuan bangsa ini. Satirnya lengkap sudah: di negeri yang katanya menjunjung pendidikan, pendidik malah dianggap beban.
Mungkin memang kita harus mengubah paradigma. Kalau guru dianggap beban, ya sudah: mari sekalian kita rebranding gelar mereka. Tidak perlu lagi dipanggil "pahlawan tanpa tanda jasa", cukup sebut "beban tanpa tanda terima". Supaya jelas posisinya di mata negara. Kalau perlu, di rapor murid ada tambahan kolom: "Nilai kontribusi guru sebagai beban negara." Biar lengkap gurauannya.
Padahal, kita tahu persis: tanpa guru, negeri ini akan jatuh ke jurang kebodohan massal. Tidak akan ada dokter tanpa guru biologi di SMA, tidak ada insinyur tanpa guru matematika yang sabar menjelaskan pecahan, tidak ada politisi tanpa guru PKN yang dulu mengajarkan UUD 1945, meski entah mereka masih ingat atau pura-pura lupa. Bahkan, seorang Menteri Keuangan tidak mungkin bisa menyusun APBN kalau dulu tidak ada guru SD yang mengajarkan cara menghitung perkalian sederhana. Jadi kalau guru disebut beban, itu sama saja menertawakan pondasi rumah yang menopang bangunan.
Yang lebih getir lagi: kita hidup di negeri yang entah kenapa hobi sekali menjadikan rakyatnya sebagai bahan bercanda. Ketika ongkos hidup naik, katanya rakyat harus lebih sabar. Ketika listrik padam, katanya rakyat harus lebih hemat. Dan ketika guru merasa terhina, katanya rakyat jangan terlalu baper. Seakan-akan humor adalah solusi segala krisis. Sayangnya, rakyat sudah lama tahu: yang tertawa paling kencang biasanya mereka yang duduk di kursi empuk kekuasaan.
Kalau memang guru adalah beban, mari kita buat konsekuensinya nyata. Coba kita jalani satu generasi tanpa guru. Biarkan anak-anak belajar sendiri lewat media sosial, lewat TikTok atau YouTube, karena toh di zaman ini informasi gampang sekali diakses. Biarkan orang tua sibuk mengajari anaknya membaca di rumah, di sela-sela pekerjaan yang tidak ada habisnya. Lalu kita lihat, berapa lama negeri ini bisa bertahan sebelum kecerdasan kolektifnya ambruk. Mungkin saat itu baru terasa, bahwa beban sejati bukanlah guru, melainkan mentalitas negara yang tak bisa menghargai mereka.