Mohon tunggu...
Achmad Suhawi
Achmad Suhawi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Politisi Pengusaha

MENGUTIP ARTIKEL, Harap Cantumkan Sumbernya....! "It is better to listen to a wise enemy than to seek counsel from a foolish friend." (LEBIH BAIK MENDENGARKAN MUSUH YANG BIJAK DARIPADA MEMINTA NASEHAT DARI TEMAN YANG BODOH)

Selanjutnya

Tutup

Politik

Dilema Sistem Pemilu Tiada Akhir

20 Mei 2023   04:18 Diperbarui: 20 Mei 2023   04:21 321
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pemilu sejak reformasi 1998 merupakan mekanisme demokrasi paling dinamis, kalau tidak mau dikatakan bahwa sistem pemilu selama periode tersebut tidak ajeg, dalam arti, belum ada suatu sistem pelaksanaan pemilu yang definitif, dimana rakyat betul-betul memahami dengan komprehensif setiap tahapan pelaksanaannya, termasuk kekurangan dan kelebihan dari masing-masing sistem pemilu pada setiap tahapan pesta rakyat tersebut. 

Pemahaman atas pelaksanaan pemilu secara komprehensif bisa dialami oleh rakyat bilamana terjadi transformasi yang layak, berkesinambungan dan menyeluruh, sehingga ada internalisasi kesadaran dari seluruh rakyat Indonesia sebagai pemilik kedaulatan tertinggi, sekaligus sebagai penentu kualitas pemilu itu sendiri. Ironisnya, rakyat belum sampai memahami betul dari suatu sistem pemilu yang sedang dijalankan akibat sistem pemilu yang selalu berubah dalam setiap kesempatan. 

Demikian halnya dengan wakil-wakil rakyat yang terpilih, baik legislatif maupun eksekutif, mula-mula ia mewakili rakyat, kemudian menjadi mewakili partai sepenuhnya akibat perubahan sistem. Sehingga jangan heran bila kemudian ia bisa seenaknya pindah partai   politik (parpol) menjelang pemilu. 

Padahal, setiap keterpilihan seseorang dalam kontestasi pemilu, disana ada amanah yang dititipkan untuk satu periode pengabdian. Artinya, rakyat bukan saja menjadi obyek dari suatu sistem pemilu akan tetapi pada waktu yang bersamaan menjadi subyek di setiap tahap pelaksanaan pemilu. Rakyat menjadi pelaku, penanggungjawab sekaligus korban dari kualitas sistem pemilu yang sedang dijalankan.

Partisipasi rakyat di setiap pemilu bisa dikatakan memiliki basis kesadaran bilamana partisipasi yang dilakukan -- baik dalam arti positif maupun yang destruktif sekalipun -- melalui proses internalisasi yang memadai untuk melakukan suatu aksi. 

Internalisasi merupakan suatu tahapan dimana rakyat dimungkinkan untuk menilai korelasi antara hasil dari suatu sistem pemilu dengan kehidupan mereka sehari - hari, bisa membedakan kelebihan dan kekurangan dari sistem pemilu yang satu dengan sistem pemilu lain, dalam arti bukan hanya aspek teknis, yang hanya memproduksi kebingungan pada pemilih untuk memberikan hak suaranya. Kenyataan itu kemudian membuat para penyelenggara dan kontestan pemilu sibuk menghamburkan sumber daya dalam rangka mensosialisasikan sistem baru yang menguntungkan kelompok-kelompok tertentu saja. Sementara agenda-agenda kerakyatan makin jauh dari kenyataan dan impian kehidupan rakyat terhenti pada sebatas slogan.


Pelaksanaan pemilu sejak reformasi banyak mengalami perubahan, bahkan uji coba praktek pesta demokrasi ini bisa dikatakan berkepanjangan, bukan itu saja, setiap perubahan terbuka ruang dimana suatu mekanisme, tahapan dan syarat di tolak pada suatu periode tertentu, akan tetapi kembali di pertimbangkan pada masa yang lain. Perubahan demi perubahan, tambal sulam, quasi model dari berbagai varian sistem pemilu yang dipraktekan di negara lain terbuka ruang untuk dipraktekan dan siap di uji coba setiap saat.

Praktek uji coba penerapan pelaksanaan sistem pemilu bukan saja soal perubahan jumlah kontestan pemilu, partai politik dan daftar calon, atau parliamentary threshold, tetapi sistem pelaksanaan pun mengalami tambal sulam hampir pada setiap pemilu, mulai dari sistem proporsional tertutup, setengah terbuka, sampai dengan proporsional terbuka dan tentu saja dengan keinginan untuk kembali ke sistem proporsional tertutup. 

Demikian halnya dengan sistem perhitungan suara yang dianut, mulai dengan Kuota Hare sampai Sainte Lague atau Webster. Dan masih banyak lagi perubahan, baik dari aspek mekanisme, syarat, tahapan, sistem perhitungan dan tabulasi suara yang semakin membingungkan rakyat sebagai pemilih serta penentu kualitas pemilu.

Ironisnya lagi adalah, bila perubahan - perubahan sistem pemilu itu hanya mengikuti selera sekelompok orang yang tetap ingin berkuasa dengan segala macam cara, tanpa mempertimbangkan apakah ajang kontestasi pemilu yang diterapkan merupakan metode paling efektif dan efisien dalam rangka mencapai tujuan nasional Indonesia. Sebab menurut Robert Michels, kelas politik yang memiliki kekuasaan di parpol adalah kelas paling dominan dalam sebuah organisasi politik karena kekuasaan tersebut cenderung terkonsentrasi pada kelas politik (elit) tertentu. 

Dengan demikian maka bisa dipastikan bahwa di setiap parpol terdapat suatu kelas politik yang akan mendominasi kelas politik lainnya. Dominasi suatu kelas politik itu timbul sebagai hasil dari hubungan antara berbagai kekuatan sosial yang saling bersaing untuk mendapatkan supremasi, hal ini yang kemudian oleh Michels disebut sebagai "Hukum Besi Oligarki".

Partai-partai politik peserta pemilu sejak reformasi 1998, baik parpol yang memiliki fraksi di DPR RI maupun yang gagal meraih kursi, sesungguhnya bila ditelusuri dengan seksama, ternyata ada banyak parpol yang bisa dikatakan bahwa ia hanya menggantungkan diri kepada tokoh atau sosok figure tertentu saja. Bahkan bisa dikatakan bahwa jumlahnya tidak sampai setengah dari parpol-parpol tersebut yang platform perjuangannya bisa dipahami dan dimengerti oleh kadernya. Situasi itu kemudian mendorong demokrasi di tanah air menjadi demokrasi elit atau oligarki yang dikuasi oleh sekelompok elit politik dan ekonomi.

Dari realitas tersebut di atas menjadi menarik untuk mengkaji kualitas pemilu di Indonesia, khususnya setelah gerakan reformasi 1998 yang membuka cakrawala demokratisasi dengan perluasan partisipasi dalam segala aspek dan aras melalui ruang - ruang publik. 

Memang, untuk mengukur kualitas pemilu sejatinya membutuhkan alat ukur yang konsisten, relevan, dan ajeg dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dan satu-satunya alat ukur yang demikian adalah Pancasila sebagai sumber hukum atas pelaksanaan tata kehidupan berbangsa dan bernegara. Walaupun pada prakteknya, pemahaman atas Pancasila  sendiri sangat interpretatif.

Hakim Konstitusi Ambingu Tentang Sistem Pemilu 

Salah satu buah dari reformasi adalah adanya Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK RI) dalam sistem peradilan di tanah air. Namun dalam perjalanannya, putusan-putusan MK RI makin menegaskan bahwa di Indonesia tidak ada kepastian hukum, terutama tentang hukum Pemilu. Undang-undang tentang pemilu merupakan UU yang paling sering dilakukan Judicial Review. Padahal mekanisme Yurisprudensi Peradialn yang bisa diterapkan pada setiap putusan MK RI bisa menjadi jaminan akan adanya suatu kepastian hukum atau kepastian sistem pemilu. Hal tersebut sejalan dengan keberadaan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 8 tahun 2011, dimana MK diberi ruang untuk melengkapi Hukum Acara Mahkamah Konstitusi dalam bentuk peraturan MK demi kelancaran pelaksanaan tugas dan wewenangnya. Realitiasnya, Putusan MK RI tidak selalu menjadi yurispudensi peradilan. Padahal, putusan-putusan MK RI diharapkan menjadi Yurisprudensi Peradilan dalam berbagai peristiwa hukum. Yurisprudensi merupakan salah satu sumber hukum yang lahir dari putusan-putusan hakim sebelumnya. Ada cukup banyak putusan MK yang kemudian bertentangan atau menganulir putusan MK itu sendiri. Penulis telah mengulas beberapa putusan MK RI yang menganulir putusannya sendiri pada opini yang lain.

Beberapa Hakim Konstitusi mulai membuka wacana untuk kembali ke sistem pemilu proporsional tertutup. Padahal putusan untuk menggunakan sistem  pemilu proporsional terbuka itupun lahir melalui palu sidang MK RI, akankah MK RI kembali mengingkari putusannya sendiri? Publik tinggal tunggu waktu saja.

Terlepas dari apapun putusan yang akan dibuat oleh MK RI terkait dengan Judicial Review mengenai sistem proporsional terbuka, dimana hal itu merupakan kewenangan yang melekat pada diri mereka sepenuhnya. Akan tetapi patut diingat, bahwa pada 14 abad yang lalu, seorang manusia bernama Muhammad SAW telah mengingatkan bahwa, "barang siapa hari ini lebih baik dari hari kemarin, dialah tergolong orang yang beruntung. 

Barang siapa yang hari ini sama dengan hari kemarin, dialah tergolong orang yang merugi. Dan barang siapa yang hari ini lebih buruk dari hari kemarin, dialah tergolong orang yang celaka." Artinya, apabila putusan - putusan MK RI dijadikan pijakan sebagai Yurisprudensi Peradilan sesungguhnya ia merupakan jawaban atas permasalahan sistem pemilu di masa lalu. 

Dimana putusan untuk menganut sistem proporsional terbuka yang dipakai pada beberapa kali pemilu di Indonesia merupakan jawaban atas permasalahan sistem pemilu proporsional tertutup yang dianut dimasa lalu. Sehingga kembali ke proporsional tertutup sejatinya merupakan kemunduran demokrasi. Oleh sebab itu, para Hakim Konstitusi perlu mengakui bahwa MK RI pernah lalai menjalankan kewajibannya dengan membuat putusan sistem pemilu proporsional terbuka.

Dan memang, wacana yang dikemukan oleh sebagian pihak, terutama para pendukung sistem proporsional tertutup, termasuk sejumlah Hakim Konstitusi itu sendiri, menarasikan bahwa banyak aktivis parpol dan "politisi sepatu miring" yang kalah dalam kontestasi dengan para publik figur yang popular dan "berkantong tebal" walaupun ia tidak kompeten dalam menjalankan tugasnya sebagai pejabat publik dan wakil rakyat. Karena memang, popularitas dan "isi tas" tidak selalu sejalan dengan kompetensi dan profesionalitas seseorang. Sebab nilai - nilai kejuangan untuk menjadi seorang politisi dengan segudang kompetensi memerlukan proses. Namun demikian, narasi soal popularitas dan gizi Caleg sebagai faktor utama kemunduran kualitas demokrasi sejatinya melupakan bahwa ada kontribusi kegagalan parpol dalam menjalankan fungsinya, (baca Achmad Suhawi dalam Pseudo Partai Politik : studi perbandingan PKS, Golkar dan PDIP). 

Kegagalan parpol dalam menjalankan fungsinya itulah yang justru menghantarkan suatu demokrasi transaksional. Pragmatisme elit parpol demi berebut sumber-sumber ekonomi melalui pusat - pusat kekuasaan bukan saja merusak sendi-sendi demokrasi tetapi telah menjelma menjadi oligarki yang berjubah demokrasi para elit.

Realitas semacam itu bukan saja membuat bangsa Indonesia merugi sebagaimana Hadist tersebut di atas bila kembali kepada sistem proporsional tertutup. Bahkan lebih daripada itu, bangsa Indonesia akan menjadi celaka karena pusat-pusat oligarki bisa semakin merajalela menguasai sendi - sendi negara, baik secara politik maupun ekonomi melalui sedikit elit partai - partai politik. Ingat bahwa parpol dalam berbagai spektrum telah menjadi semu atau pseudo parpol. 

Hal ini sejalan dengan pandangan Suzanne Keller yang menjelaskan bahwa individu-individu yang berada pada pusat-pusat kekuasaan tidak dapat berkomunikasi langsung dengan individu - individu dalam masyarakat, akan tetapi harus berkomunikasi dengan organ-organ di dalam masyarakat, dalam hal ini pusat-pusat kekuasaan. Artinya, parpol hanya sebatas label yang bisa digunakan oleh para oligarki bisnis dan politik untuk melancarkan operasinya.

Ada sejumlah argumentasi yang dikemukakan oleh para pendukung pemilu 2024 untuk kembali ke sistem proporsional tertutup dalam sidang - sidang di MK RI. Diantara argumentasi yang dikembangkan ada narasi yang bersifat substantif tetapi ada pula narasi dengan aspek teknis, termasuk menyelipkan impian para politisi berkantong tipis agar terpilih dengan tetap berbekal idealisme dan cita - cita perjuangan.

Diantara narasi tersebut adalah adanya jumlah suara yang tidak sah pada pemilu 2019 yang disinyalir mencapai 17.503.953 atau setara dengan 11,12 persen suara akibat proses pemungutan, perhitungan dan rekapitulasi suara yang di nilai rumit sehingga berpotensi terjadi kesalahan. Suatu argumentasi yang melupakan peluang untuk melakukan pemilu secara e-voting. Ingat bahwa rakyat Indonesia yang berusia 5 (lima) tahun ke atas merupakan pemilik Handphone atau Ponsel yang menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2022 jumlahnya sudah mencapai 67,88 persen dimana jumlah ini meningkat bila dibandingkan dengan tahun 2021 yang masih 65,87 persen. 

Pelaksanaan pemilu secara e-voting bukan saja sangat mungkinkan untuk dilaksanakan, karena secara teknis cukup memadai. Dan selain itu, bisa menekan biaya pelaksanaan pemilu, menghindari poltik uang, dan lebih sesuai dengan perkembangan teknologi yang berbasis Teknologi Informasi.

Kemudian dijelaskan pula bahwa potensi politik uang menjadi mengemuka melalui sistem proporsional terbuka, dimana pada pemilu tahun 2019 ada sebanyak 69 putusan pengadilan terkait dengan pelanggaran pidana politik uang. Praktek politik uang merupakan suatu kondisi yang merusak sendi-sendi demokrasi melalui proses pemilu yang sedang terjadi. Narasi yang menjelaskan bahwa praktek politik uang timbul akibat sistem proporsional terbuka merupakan suatu narasi yang tidak menyajikan data secara komparatif bahwa dalam sistem proporsional tertutup pun dimungkinkan adanya praktek politik uang. Transaksi politik uang bisa terjadi antara calon (Caleg) dengan konstituen (pemilih) dalam sistem proporsional terbuka tetapi bisa pula antara Calon (Caleg) dengan elit parpol itu sendiri dalam sistem proporsional tertutup. Jadi hanya soal transparansi saja.

Dan sesungguhnya, praktek politik uang akan tetap terjadi selama kesadaran rakyat sebagai pemilih belum sampai pada kesadaran tentang "kontrak politik" yang berbasis pada tawaran program, ideologi, atau sumber-sumber nilai yang ada, hidup, dan berkembang di tengah-tengah masyarakat. Membangun kesadaran pemilih sejatinya menjadi tanggungjawab parpol dengan seluruh anggota - kadernya, namun oligarki di parpol tidak  memungkinkan untuk hal tersebut terjadi. Sebab anggota - kader parpol lebin sibuk melayani para elit parpol daripada memastikan bahwa parpol yang menaunginya berjalan sesuai dengan fungsinya. 

Artinya, praktek politik uang bisa dihindari apabila parpol berfungsi dengan benar, bukan sekedar loket tiket event pemilu. Selain itu, sistem  pemilu perlu menjadi ajeg, bukan setiap 5 (lima) tahun berganti sistem. Oleh sebab itu, MK RI berperan penting untuk tidak ambingu dalam setiap putusannya dengan menjadi Yurisprudensi Peradilan terkait  dengan pemilu. Hanya dengan demikian maka partai-partai politik dan penyelenggara pemilu bisa lebih awal menyusun daftar calon dengan tahapan pemilu yang bisa dimajukan lebih awal, misalnya saja 4 (empat) tahun sebelum pelaksanaan pemungutan suara. 

Disamping itu, parpol melalui daftar calon yang telah  ditetapkan jauh hari sebelum pelaksanaan pemilu bisa menggalakan program dan menanamkan platform kejuangannya ditengah-tengah rakyat sebagai calon pemilih. Hal ini justru memungkinkan bagi para politisi atau anggota - kader parpol untuk turun langsung ke masyarakat demi menyerap aspirasi yang akan ia perjuangkan bila terpilih menjadi legislatif atau eksekutif.

Memang sistem proporsional terbuka bisa melemahkan pelembagaan parpol, terutama bagi parpol - parpol yang hanya berfungsi sebagai organisasi "event pemilu" semata. Artinya, selama parpol tidak menjalankan fungsinya untuk mentransformasi nilai dan ideologi yang dianut, tidak melakukan pendidikan, rekrutment, dan sosialisasi sehingga parpol hanya berfungsi sebatas menjadi loket "tiket kontestasi pemilu", maka pelembagaan  parpol tersebut menjadi sangat rapuh. Bukankah hal ini yang saat ini sedang dialami oleh parpol - parpol! Namun sebaliknya, bagi parpol yang menjalankan peran dan fungsinya dengan baik dan benar, maka sebaliknya, relasi antara parpol dengan rakyat semakin melembaga, relasi antara parpol dengan wakil - wakilnya yang ada di eksekutif dan legislatif, termasuk bila ada yang di yudikatif bisa dibangun atas kesadaran ideologi dan jaringan structural yang dimiliki.

Artinya, keinginan sejumlah pihak untuk kembali ke sistem pemilu proporsional tertutup ibarat kata pepatah, "buruk muka cermin dibelah." Ketidak becusan elit parpol dalam  menjalankan fungsi parpol telah melahirkan demokraasi yang buruk, dengan wakil-wakil yang seharusnya merepresentasikan kehendak rakyat berkualitas rendah dan yang kurang kompeten. Suatu situasi yang nampaknya akan diaminkan oleh para Hakim Konstitusi sebagai keniscayaan demokrasi elit.

Sistem Pemilu Distrik Menuju Demokratisasi Substantif

Sistem pemilu proporsional terbuka yang mengatur sistem penentuan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak dinilai menjadi penyebab timbulnya pemilu berbiaya mahal dan melahirkan para politisi yang berjiwa saudagar. Akibatnya, parlemen dipenuhi oleh para pemburu rente tetapi tidak kompeten dalam menjalankan fungsinya. Sistem proporsional terbuka di pandang sebagai suatu kondisi yang kemudian dilihat sebagai akibat dari adanya suatu sistem yang muncul dari proses kompetisi yang tidak sehat dan destruktif bagi perkembangan demokrasi.

Kompetisi antara para calon (Caleg) yang berkontestasi dari satu parpol selain harus melawan Caleg dari parpol lain, maka ia harus bersaing dengan Caleg dalam satu parpol. Jadi Calon Legislatif (Caleg) yang dicalonkan oleh parpol bukan saja harus berkompetisi melawan Caleg dari parpol lain, tapi juga harus melawan rekan sesama Caleg dari satu Parpol atau dalam istilah Latin dikenal dengan istilah Bellum Omnium Contra Omnes. Demikianlah sistem proporsional terbuka yang berlaku saat ini sebagai penyebab dari tingginya biaya kontestasi dan kurang kompetennya para politisi yang dihasilkan. Sistem pemilu proporsional terbuka dianggap sebagai biang kerok kebobrokan kualitas para politisi di parlemen.

Sesungguhnya situasi tersebut bisa dihindari, walaupun kemudian pebincangan mengarah ke Das Sollen (keinginan) dan Das Sein (kenyataan). Thomas Hobbes dalam Leviathan menuturkan bahwa pada dasarnya tidak ada manusia yang menginginkan semua lawan semua, demikian halnya dengan Caleg melawan semua Caleg, tetapi karena kebutuhan untuk meraih apa yang menurutnya baik maka timbullah praktek politik uang atau praktek-praktek yang bisa menggerogoti sendi-sendi demokrasi. Artinya, para Caleg tersebut tidak ada keinginan untuk merusak sendi-sendi demokrasi yang mereka hendak perjuangkan, tetapi sistem yang kemudian  memaksa mereka melakukan semua itu.

Praktek politik berbiaya mahal tidak bisa dipisahkan dari model pemilihan yang menerapkan sistem Daerah Pemilihan (Dapil) dengan sistem keterwakilan antara 3-10 orang, tergantung jumlah penduduk dalam satu Dapil. Padahal penentuan Dapil pun berpengaruh penting terhadap perolehan kursi  dari setiap parpol, termasuk potensi suara terbuang (sisa). Suatu pernyataan yang bisa diuji dengan menggunakan matematika pemilu di setiap Dapil yang sudah ditetapkan. Akan tetapi, sistem ini tetap dipertahankan karena ada keuntungan politik disana.

Bandingkan dengan dengan sistem pemilu distrik, dimana Dapil ditetapkan berdasarkan jumlah alokasi kursi secara keseluruhan. Jadi Dapil untuk DPR RI ada 580 Dapil, bukan 84 Dapil bukan seperti saat ini. Sedangkan untuk DPRD Provinsi sebanyak 2.372 dapil sesuai dengan jumlah kursi yang diperebutkan, demikian halnya dengan DPRD Kabupaten / Kota menjadi 17.510 Dapil bukan 2.325 Dapil. Artinya, setiap parpol bisa mengusung kadernya di setiap dapil sesuai alokasi kursi yang diperebutkan. Selain daripada itu, mekanisme mengurangi jumlah parpol dengan pendekatan Parliamentary Threshold menjadi efektif pula. Sedangkan untuk DPD RI bisa tetap menggunakan sistem yang berlaku ada saat ini, dengan keinsyafan bahwa ia mewakili daerah administratif, Provinsi.

Dengan demikian, maka setiap Caleg berkontestasi pada wilayah yang lebih sempit dimana basis untuk sosialisasi / interaksi dengan konstituen bisa menjadi lebih intens dan murah. Caleg pun tidak terjebak dengan kondisi dimana Caleg harus melawan semua Caleg. Ia hanya berkompetisi dengan Caleg dari parpol lain. Artinya, alasan mengenai politik biaya tinggi dengan keharusan populer bisa dihilangkan. Sebab, lebih mudah dikenal oleh 100 ribu manusia bila dibandingkan oleh 1 juta manusia. Dan tidak butuh biaya operasional yang terlalu besar untuk Dapil yang di persempit, barangkali bisa setingkat kecamatan untuk daerah yang padat penduduk. Selain daripada itu, dengan penyusunan daftar calon yang lebih lama, 3-4 tahun sebelum pemilihan, maka rakyat sebagai pemilih memiliki kesempatan untuk melakukan suatu interaksi yang lebih lama, intensitas yang memadai, sekaligus menilai konsistensi perjuangan dari sang kontestan itu sendiri. Sebab menjadi wakil rakyat bukan aktivitas sampingan tetapi memang membutuhkan totalitas. Jadi berbeda dengan  saat ini, Caleg selama 4 tahun bisa menjauh dari calon konstituennya dan baru hadir ditengah-tengah mereka saat menjelang pemilu, akibatnya, rakyat pun mematok harga atas absennya para politisi dalam keseharian mereka.

Memang akan ada pertanyaan bahwa pemilu dengan sistem distrik tidak sesuai dengan nilai-nilai NKRI atau Pancasila, dan segudang retorika lainnya. Pendapat ini bisa muncul manakala tidak berpijak kepada sejauh mana fungsi parpol dijalankan dalam konteks negara demokrasi.

Ada lima fungsi yang harus dilakukan oleh Parpol menurut Ramlan Surbakti, yaitu melakukan sosialisasi dan pendidikan politik, melakukan rekrutmen, mempengaruhi proses pembuatan kebijakan, memadukan berbagai kepentingan masyarakat, dan yang terakhir ialah melakukan komunikasi politik. Dari fungsi - fungsi parpol yang demikian, adakah fungsi yang kemudian mengalami emaskulasi akibat dari praktek pelaksanaan pemilu dengan sistem distrik. Bukankah justru sebaliknya, sistem distrik justru menjadi suatu sistem yang mampu mendorong agar parpol menjalankan  fungsinya dengan layak, bukan sekedar menjadi penjual tiket event pemilu.

*** --- ***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun