Mohon tunggu...
Achmad Suhawi
Achmad Suhawi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Politisi Pengusaha

MENGUTIP ARTIKEL, Harap Cantumkan Sumbernya....! "It is better to listen to a wise enemy than to seek counsel from a foolish friend." (LEBIH BAIK MENDENGARKAN MUSUH YANG BIJAK DARIPADA MEMINTA NASEHAT DARI TEMAN YANG BODOH)

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Mahkamah Konstitusi Mengingkari Putusannya Sendiri

14 Desember 2022   17:56 Diperbarui: 14 Desember 2022   22:29 480
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Putusan Skizofrenia

Mahkamah Konstitusi membuat Putusan Nomor 87/PUU-XX/2022. Putusan tersebut bukan saja mempersamakan Calon Kepala Daerah (Cakada) dengan Calon Legislatif (Caleg). Lebih daripada itu, MK dengan putusan ini memandang bahwa rakyat tidak cukup cerdas dalam menentukan pilihan dalam Pemilu yang demokratis dengan asas LUBER dan JURDIL.  Karena putusan tersebut menjadikan pasal 240 ayat (1) huruf g Undang-undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu yang menyatakan bahwa "tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada public bahwa yang bersangkutan mantan terpidana." Ketentuan yang bersifat alternatif ini sesungguhnya selaras dengan prinsip demokrasi : dari, oleh dan untuk rakyat, dimana rakyat merupakan pemegang kedaulatan tertinggi dan berkuasa penuh atas masa depan bangsa dan negaranya. Dan ketentuan Pasal 240 ayat (1) huruf g pada Undang-undang Nomor 7/2017 ini sesuai dengan putusan MK Nomor 42/PUU-XIII/2015. Putusan MK Nomor 4/PUU-VII/2009 pun masih selaras, akan tetapi bertolak belakang dengan putusan Nomor 87/PUU-XX/2022. 

Dalam putusan Nomor 4/PUU-VII/2009, MK mengabulkan sebagian permohonan pemohon dengan pengecualian, yaitu bukan untuk jabatan-jabatan public yang dipilih (elected official) selama tidak dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak pilih oleh pengadilan, baik hak memilih maupun hak dipilih. 

Selanjutnya, pada putusan Nomor 56/PUU-XVII/2019, MK menambahkan klausul pengakuan secara terbuka kepada public menjadi kumulatif namun membedakan antara persyaratan Cakada dengan Caleg, sementara pada putusan Nomor 71/PUU/XIV/2016; putusan Nomor 42/PUU-XII/2015; dan putusan Nomor 4/PUU-VII/2009 terkait dengan pengakuan secara terbuka bersifat alternatif bukan kumulatif. 

Putusan Nomor 87/PUU-XX/2022 dalam pokok pertimbangan dari Pemohon didasarkan kepada kekhawatiran, imajinasi / khayalan, atau semacam skizofrenia atau sikap paranoid. Realitas tersebut bertolak dari dalil yang dikemukakan oleh pemohon yang mendalilkan bahwa terjadi kenaikan 0,15 poin indeks persepsi anti korupsi dari masyarakat dari tahun 2020 sampai dengan 2021, dimana masyarakat perkotaan lebih anti korupsi dibandingkan pedesaan dan tingkat pendidikan masyarakat memiliki pengaruh posistif terhadap persepsi.  Artinya, bila merujuk pada dalil pemohon, sejatinya MK justru menegaskan kembali putusan sebelumnya yang menjadikan pengakuan secara terbuka sebagai norma alternatif sebagaimana dimaksudkan oleh pasal 240 ayat (1) huruf g UU No.7/2017, serta putusan MK Nomor 4/PUU-VII/2009; putusan Nomor 42/PUU-XII/2015; dan putusan Nomor 71/PUU/XIV/2016 dengan menolak keseluruhan permohonan pemohon. Sebab, dengan adanya peningkatan kesadaran anti korupsi secara signifikan, lebih dari 70 persen, maka pilihan harus dikembalikan kepada rakyat sebagai pemilik kedaulatan untuk memilih atau tidak memilih mantan Terpidana pada saat pemilu. Sehingga norma alternatif pada pasal 240 ayat (1) huruf g pada UU No. 7/2017 tentang pemilu adalah sejalan dan selaras dengan prinsip negara hukum dan nilai-nilai demokrasi yang menempatkan kedaulatan rakyat sebagai penentu awal dan akhir dari konstitusi.

Dengan putusan Nomor 87/PUU-XX/2022, MK telah melakukan pembenarkan atas pencabutan hak sipil dan politik terhadap mantan Terpidana melalui putusannya, dimana pemohon menyatakan bahwa pokok permohonannya tidak bertentangan dengan Konvesi Hak Sipil dan Politik bila mantan Terpidana dibatasi / dikurangi haknya sebagaimana yang didalilkan oleh pemohon. Dan pemohon mendalilkan bila pengurangan hak terhadap mantan Terpidana tidak bertentangan dengan pasal 6,7,8 ayat (1) dan (2), 11, 15 dan 18 yang ada dalam konvensi hak sipil dan politik. 

Jadi Putusan MK menganggap bahwa hak politik mantan Terpidana sebagai hak yang dapat dibatasi (derogable right), namun melupakan bahwa pengurangan / membatasi hak sipil dan politik tidak boleh mengandung diskriminasi berdasarkan atas ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama atau asal usul social sebagaimana diatur pasal 4 ayat 1 dalam konvensi hak sipil dan politik. Dan patut di ingat bahwa mantan Terpidana adalah warga negara dengan kewajiban yang sama layaknya warga negara Indonesia lainnya. Jadi, MK kurang mendalami yang dimaksud dengan asal - usul sosial sebagai syarat untuk membatasi / mengurangi hak sipil dan politik. 

Dan sekali lagi, bukankah status Terpidana merupakan kondisi sosial yang ada ditengah-tengah kondisi sosial masyarakat, sehingga status mantan Terpidana adalah asal-usul sosial yang tidak boleh di diskriminasi oleh siapapun. Selain daripada itu, Terpidana tidak kehilangan hak politiknya kecuali dinyatakan oleh putusan pengadilan, dalam arti, Tahanan dan Terpidana tetap memiliki hak memiilih dalam pemilihan umum. Tetapi, kenapa setelah bebas dan kembali ke masyarakat justru diperlakukan secara diskriminatif, tidak boleh di pilih atau di persulit untuk ikut  menjadi kontestan pemilu yang demokratis!  

Padahal, Terpidana ataupun mantan Terpidana berhak dipilih dan memilih berdasarkan pasal 43 Undang-undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menyatakan bahwa "setiap warga mendapatkan hak dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan peundang - undangan."

Selain dalil yang bersifat skizofrenia tersebut diatas, pemohon kembali mendalilkan bahwa diperbolehkan mantan Terpidana untuk menjadi Cakada dan Caleg bisa menyebabkan abuse of power dan menciptakan angka GOLPUT yang tinggi. Suatu dalil yang mengingkari realitas bahwa Indonesia adalah negara hukum yang dijalankan dengan prinsip-prinsip demokrasi dan pembagian kekuasaan berdasarkan konsep Trias Politica. Sekali lagi ini adalah dalil skizofrenia yang dibenarkan oleh Hakim Mahkamah. Skizofrenia merupakan gangguan yang mempengaruhi kemampuan seseorang untuk berfikir, merasakan, dan berperilaku dengan baik. Akibatnya, keputusan yang timbul lebih dipengaruhi oleh emosi, bukan oleh alasan yang jelas. Artinya, Pemohon dan Mahkamah Konstitusi sama-sama tidak memiliki data yang cukup akurat atas dalil tersebut. Tidak ada data yang cukup komprehensif bahwa calon dari mantan Terpidana berkorelasi dengan praktek abuse of power dan tingginya angka GOLPUT selama periode tertentu.

 Tidak ada studi komparatif antara mantan Terpidana yang terpilih dalam pemilu dengan praktek penyelenggaraan pemerintahan yang melakukan abuse of power setelahnya. Dan tidak ada komparasi antara keberadaan Cakada / Caleg mantan Terpidana dengan peningkatan Golput atau rendahnya partisipasi pemilih pada saat pemilu.  

Permohonan pemohon untuk menghilangkan frase "kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada public bahwa yang bersangkutan mantan terpidana" pada pasal 240 ayat (1) huruf g Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 bertentangan dengan pasal 28 J Undang-undang Dasar 1945 yang berbunyi, "setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, ddan bernegara" berdasarkan dalil tersebut di atas. Dan putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan pemohon tersebut menjadikan norma alternatif pada Undang-undang pemilu menjadi berlaku kumulatif. 

Dan putusan tersebut seolah menyatakan bahwa keberadaan Cakada atau Caleg mantan Terpidana tidak menghormati HAM, setidak-tidaknya HAM dari pemohon. Pada kondisi ini MK melupakan jumlah Terpidana dan mantan Terpidana yang dirampas haknya melalui putusan tersebut. Bahkan mengabaikan usaha mantan Terpidana yang telah bertobat, berbuat baik,dan melakukan re-integrasi dengan masyarakat, bahkan berusaha untuk keluar dari steriotip, prasangka, penghukuman dan stigmatisasi berkepanjangan. 

Padahal Pasal 2 ayat (b) Undang-undang Nomor 22 tahun 2022 tentang Pemasyarakatan menyatakan bahwa tujuan diselenggarakannya pemasyarakatan yaitu untuk "meningkatkan kualitas kepribadian dan kemandirian Warga Binaan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana, sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik, taat hukum, bertanggungjawab, dan dapat aktif berperan dalam pembangunan." Sehingga satu-satunya nalar yang bisa memaklumi isi putusan MK tersebut ialah bahwa MK masih menganut paradigma lama, yaitu, bahwa pemidanaan sebagai alat balas dendam, sehingga membolehkan perlakuan diskirminatif terhadap mantan Terpidana. Padahal di negara - negara yang peradabannya lebih maju dari Indonesia telah meninggalkan paradigma tersebut, demikian halnya dengan Undang-undang pemasyarakatan yang baru disahkan.

Selain daripada itu, keputusan yang diputuskan oleh MK selain bertolak belakang dengan putusan MK sebelumnya, juga membatalkan putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 46p/HUM/2018 yang menyatakan bahwa pasal 4 ayat (3), pasal 11 ayat (1) huruf d, dan lampiran Model B.3 Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018 tanggal 2 Juli 2018 tentang Caleg pada frase "mantan terpidana korupsi" bertentangan dengan UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu juncto Undang-undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Perundang -undangan. Karenanya tidak  mempunyai kekuatan hukum mengikat dan tidak berlaku umum. Anehnya lagi, MK dalam naskah putusannya berpendapat untuk mengesampingkan pasal 54 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi yang mengatur ketentuan bahwa, "Mahkamah Konstitusi dapat meminta keterangan dan/atau risalah rapat yang berkenaan dengan permohonan yang sedang diperiksa kepada MPR, DPR, DPD, dan/atau Presiden. Padahal munculnya frase alternatif tersebut dalam Undang-undang Nomor 7/2017 tentang Pemilu telah ada putusan-putusan MK terdahulu.

 

Kewenangan Mahkamah Konstitusi Seperti Lembaga Tertinggi

Trias Politica adalah konsep pemisahan kekuasaan. Trias politica dalam sistem kenegaraan adalah suatu sistem pemerintahan yang memisahkan antara dua atau lebih dari setiap cabang kekuasaan agar tidak bersifat absolut. Konsep trias politica pertama kali dikemukakan oleh John Locke, seorang filsuf Inggris. Konsep ini kemudian dikembangkan oleh Montesquieu dalam bukunya, "L'Esprit des Lois". Konsep trias politica membagi pemerintahan negara menjadi tiga jenis kekuasaan, yaitu kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan yudikatif.

Penerapan trias politica di Indonesia didasarkan pada pembagian kekuasaan menjadi kekuasaan legislatif sebagai kekuasaan untuk membuat undang-undang. Walaupun terdapat 3 (tiga) lembaga tinggi negara sebagai kekuasaan legislatif, yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), serta Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Akan tetapi fungsi - fungsi legislasi ada pada DPR. 

Kekuasaan Legislatif yang ada pada MPR sesudah reformasi 1998 dan amandemen UUD 1945 menjadi lebih bersifat semu, sebab Indonesia kemudian menganut sistem Dua Kamar (bicameral) yaitu DPR RI dan DPD RI, dimana keduanya merupakan anggota MPR RI, dengan susunan dan kedudukan yang berbeda. Adapun fungsi-fungsi legislasi, bugeting dan pengawasan lebih banyak diperankan oleh DPR RI sebagai fungsi kekuasaan legislatif serta check and balance.

Kekuasaan berikutnya adalah kekuasaan eksekutif yang berfungsi untuk melaksanakan Undang-undang dan jalannya pemerintahan. Kekuasaan eksekutif dipegang dan dipimpin oleh Presiden. Namun dalam prakteknya, Presiden memiliki kewenangan untuk mendelegasikan tugas eksekutif kepada pejabat pemerintah untuk turut membantu Presiden, yakni para Menteri. Selain daripada itu, ada beberapa institusi semacam Kepolisian dan Kejaksaan yang khusus menjalankan fungsi-fungsi penyelidikan, penyidikan dan penuntutan walaupun dalam kedudukannya berada dibawah kekuasaan eksekutif;

Cabang kekuasaan ketiga ialah yudikatif sebagai kekuasaan yang memiliki kewajiban mempertahankan Undang-undang dan berhak memberikan peradilan kepada rakyatnya atau kekuasaan kehakiman. Dalam Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 menyatakan kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. 

Adapun fungsi yudikatif di Indonesia dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA) dan sekaligus Mahkamah Konstitusi (MK). Apabila Mahkamah Agung merupakan pengadilan kasasi atau pengadilan negara terakhir dan tertinggi, dimana salah satu fungsinya adalah untuk membina keseragaman dalam penerapan hukum melalui putusan kasasi dan Peninjauan Kembali, maka salah satu wewenang Mahkamah Konstitusi adalah melakukan uji Undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945. 

Mengacu kepada konsep trias politica diatas, ternyata di Indonesia mengenal kekuasan eksaminatif sebagaimana diamanatkan Pasal 23E ayat (1) UUD 1945 sebagai kekuasaan yang berfungsi untuk memeriksa keuangan negara yaitu Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Bisa dikatakan bahwa keberadaan dan eksistensi BPK berada diluar daripada pembagian kekuasaan menurut trias politica di atas.

Dan sesungguhnya, pemisahan kekuasaan ke dalam eksekutif, legislatif, dan yudikatif memiliki tugas yang saling berkaitan. Dalam konteks hukum, tugas kekuasaan legislatif adalah membuat hukum, tugas kekuasaan eksekutif menjalankan hukum, dan kekuasaan yudikatif bertugas menafsirkan hukum. Relasi diantara ketiga kekuasaan berkorelasi dengan checks and balances, dimana masing-masing cabang kekuasaan membagi sebagian kekuasaannya kepada cabang kekuasaan yang lain dalam rangka membatasi tindakan - tindakannya. 

Demikian halnya dengan adanya pembangian kewenangan antara Mahkamah Agung dengan Mahkamah Konstitusi sebagai kekuasaan kehakiman atau yudikatif. Kekuasaan dan fungsi dari masing - masing cabang kekuasaan terpisah dan dijalankan oleh orang yang berbeda, sehingga tidak tunggal dalam menjalankan otoritas kekuasaan, karena masing-masing kekuasaan bergantung satu sama lain. Dan hanya kekuasaan demikian yang mampu mencegah absolutism kekuasaan.

Pembagian kekuasaan dalam konsep trias politika membutuhkan keseimbangan. Sebab, dalam konteks ketiga kekuasaan yang mengacu ke konsep trias politika, kita bisa mempermaklumkan kekuasaan yang diberikan kepada eksekutif dalam rangka memastikan sistem pemerintahan dapat berjalan lancar, efektif, dan efisien. Akan tetapi, kekuasaan yang diberikan kepada eksekutif tidak boleh terlalu besar atau tidak tanpa batas, termasuk kepada seorang Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif. Sebab, kekuasaan yang terlampau besar dapat menjurus ke pemerintahan yang otoriter.

Demikian pula dengan kekuasaan legislatif sebagai representasi kehendak rakyat. Idealnya, DPR atau legislatif menjadi pemutus awal sekaligus pemutus akhir dalam setiap kebijakan-kebijakan negara. Akan tetapi legislatif tidak selalu dapat menyuarakan kepentingan rakyat karena kurangnya kualitas personal, minim pengetahuan dan banyaknya distorsi dalam penafsiran kepentingan rakyat, serta kecenderungan legislatif untuk berpihak terhadap suara mayoritas (Legislative tirany). 

Demikian pula bila kewenangan tertinggi dimiliki oleh yudikatif. Cabang kekuasaan yudikatif boleh dinilai sebagai kekuasaan yang kurang berbahaya bila dibandingkan dengan kekuasaan eksekutif. Akan tetapi, pemberian kekuasaan tertinggi dan pemutus terakhir terhadap badan peradilan seringkali tidak efektif karena kurangnya justifikasi kekuasaan, di samping posisinya yang bukan sebagai pihak yang mempunyai pengetahuan dan informasi yang cukup tentang berbagai realitas persoalan dalam masyarakat. 

Bartolak dari penjelasan ini, sejatinya putusan MK yang bersifat final and binding atas kebolehan dan/atau dilarangnya Cakada dan Caleg mantan Terpidana menjadi kontestan Pemilu sangat merusak bila tidak dibarengi dengan informasi yang cukup valid dan memadai, apalagi bila didasarkan kepada dalil-dalil yang bersifat skizofrenia. Bahkan, terhadap putusan institusinya sendiri mengalami amnesia, sehingga wajar bila MK sebagai Yurisprudensi Peradilan sering dipertanyakan.

Kebutuhan adanya suatu keseimbangan (Balances) antara cabang kekusaan diharapkan agar tidak hanya satu cabang kekuasaan yang dapat saling mengecek cabang kekuasaan yang lainnya, tetapi harus saling melakukan pengecekan antara satu sama lainnya. Check and balances dalam konsep trias politika jelas terlihat dalam sifat relasional antar cabang kekuasaan yang ada. Keikutsertaan lebih dari satu cabang kekuasaan dalam menentukan kebijakan itulah ruang bagi checks and balances dalam trias politica. 

Dalam konteks yang demikian, maka check and balance atas MK dilakukan oleh cabang kekuasaan yang mana? mengingat putusan yang bersifat final and binding, selain hanya sebatas pengawasan budgeting oleh legislatif dan BPK.

Kekuasaan kehakiman pasca amandemen UUD 1945 memiliki tiga lembaga negara, yaitu Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial. Masing-masing mempunyai peran dalam menjalankan fungsi - fungsi kekuasaan kehakiman. Namun, adanya peran judicial review dari Mahkamah Konstitusi untuk membatalkan produk hukum legislatif bersama eksekutif menjadikan MK berwenang layaknya Lembaga Tertinggi Negara yang dapat membatalkan produk legislasi dari 2 (dua) cabang kekuasaan, bahkan bisa mengabaikan, bertolak belakang, atau bahkan membatalkan putusannya MK sendiri.

Dan bila semula Mahkamah Konstitusi merupakan suatu lembaga yang dimaksudkan hanya untuk menguji konstitusionalitas (constitutional review) dari suatu undang-undang terhadap konstitusi. Sehingga mahkamah konstitusi sering disebut sebagai "the guardian of the constitution" (pengawal konstitusi), karena kewenangannya untuk dapat menyatakan inkonstitusionalitas dari suatu undang-undang. Dalam hal ini, posisi mahkamah konstitusi berada ada di atas lembaga pembentuk undang-undang, yaitu legislatif dan Presiden yang dipilih oleh rakyat sebagai pemilik kedaulatan.

Itulah sebabnya sejak awal Hans Kelsen telah menyatakan bahwa lembaga ini dibentuk dengan kekuasaan yang berada di atas legislatif dan mestinya secara politik memang tidak dikehendaki, khususnya jika lembaga ini berwenang memutuskan bahwa suatu Undang-undang adalah inkonstitusional. Karena itu bagi negara-negara yang menempatkan superioritas Parlemen yang cukup besar karena dianggap cerminan kedaultan rakyat, mereka tidak menempatkan Mahkamah Konstitusi dalam posisi di atas pembentuk Undang-undang. Oleh karena itu di Indonesia ditempatkan sebagai Lembaga Tinggi Negara, bukan Lembaga Tertinggi Negara walaupun berwenang membatalkan produk pembentuk undang-undang, baik sebagian dari Undang-undang maupun secara keseluruhan. Akan tetapi, praktek tidak selalu bersesuaian dengan konsep. 

Kewenangan Mahkamah Konstitusi berbeda dengan Dewan Konstitusi Perancis yang hanya berwenang menguji konstitusionalitas dari suatu rancangan undang-undang yang telah dibahas oleh parlemen tetapi belum diberlakukan atau belum ditetapkan menjadi undang-undang. 

Dan karena itu, Kerajaan Inggris dan Kerajaan Belanda tidak membentuk Mahkamah Konstitusi, dengan prinsip bahwa parlemen adalah satu-satunya lembaga yang membentuk serta mengetahui sah tidaknya suatu undang-undang.

 

Veto Terselubung Sangat Berbahaya

Lembaran sejarah awal praktik pengujian Undang-undang (judicial review) bermula di Mahkamah Agung (MA) Amerika Serikat atau Supreme Court (SC USA) saat dipimpin oleh William Paterson dalam menangani kasus Danil Lawrence Hylton melawan Pemerintah Amerika Serikat pada tahun 1796. SC USA menolak permohonan pengujian UU Pajak atas Gerbong Kereta Api yang diajukan oleh Hylton dan menyatakan bahwa UU a quo tidak bertentangan dengan konstitusi atau tindakan kongres dipandang konstitusional. Dalam kasus ini, SC USA menguji UU a quo, namun tidak membatalkan UU tersebut. 

Lain halnya pada saat SC USA di pimpin oleh John Marshall, ketika menangani kasus Marbury melawan Madison tahun 1803. John Marshall dengan menafsirkan sumpah jabatan yang mengharuskan untuk senantiasa menegakkan konstitusi menganggap SC USA  berwenang untuk menyatakan suatu Undang - undang bertentangan dengan konstitusi, walaupun Konstitusi Amerika Serikat tidak mengatur pemberian kewenangan untuk melakukan judicial review kepada SC USA.

Sampai kemudian pembentukan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yang tersendiri karena kebutuhan akan adanya suatu pengadilan yang secara khusus untuk melakukan pengujian terhadap produk undang-undang yang bertentangan dengan konstitusi (undang- undang dasar) mendapat landasan teoritis dari Prof. Hans Kelsen. Guru besar kenamaan dari Universitas Wina ini yang mengusulkan dibentuknya suatu lembaga bernama Verfassungsgerichtshoft atau Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court). Gagasan tersebut kemudian diterima dengan bulat dan di adopsi ke dalam naskah Undang- undang Dasar Tahun 1920 yang disahkan dalam Konvensi Konstitusi pada tanggal 1 Oktober 1920 sebagai Konstitusi Federal Austria. Artinya, Mahkamah Konstitusi secara teoritis baru diperkenalkan pertama kali pada tahun 1919 oleh pakar hukum asal Austria, Hans Kelsen (1881-1973). 

Hans Kelsen menyatakan bahwa pelaksanaan konstitusional tentang legislasi dapat secara efektif dijamin hanya jika suatu lembaga selain badan legislatif diberikan tugas untuk menguji apakah suatu produk hukum itu konstitusional atau tidak, dan tidak memberlakukannya jika menurut lembaga tersebut tidak konstitusional.  Untuk itu perlu dibentuk lembaga khusus yang disebut Mahkamah Konstitusi (constitutional court). Sebab, kemungkinan muncul persoalan konflik antara norma yang lebih tinggi dengan yang lebih rendah, bukan saja berkaitan antara Undang - undang (statute) dan putusan pengadilan, tetapi juga berkaitan dengan hubungan antara konstitusi dan Undang-undang. Ini adalah problem inkonstitusionalitas dari Undang-undang. Dengaan demikian  maka suatu Undang-undang (statute) hanya berlaku dan dapat diberlakukan jika sesuai dengan konstitusi, dan tidak berlaku jika bertentangan dengan konstitusi. Dan suatu Undang - undang hanya sah jika dibuat berdasarkan ketentuan - ketentuan konstitusi. Karena itu diperlukan suatu badan atau pengadilan yang secara khusus untuk menyatakan inkonstitusionalitas dari suatu Undang - undang yang sedang berlaku. Dan suatu Undang-undang yang telah dinyatakan tidak berlaku oleh Mahkamah Konstitusi tidak dapat diterapkan oleh lembaga-lembaga yang lain.

Mengacu kepada pendapat ilmuan tersebut diatas, baik dalam perspektif hukum tata negara maupun konsep trias politica, beberapa putusan MK dalam rentang sejarah sejak lahirnya ternyata banyak kontradiksi, walaupun sebagian diantaranya menguatkan keputusan-keputusan sebelumnya. Hal semacam ini terjadi karena MK tidak memiliki mekanisme control atas semua putusan yang dibuatnya, bahkan aspirasi legislatif dan eksekutif dalam memproduk suatu Undang-undang sebagai representasi kehendak rakyat -- karena dipilih melalui pemilu -- seringkali tidak sejalan dengan Undang-undang Dasar 1945 berdasarkan tafsir / kehendak Hakim Konstitusi itu sendiri. 

Sebagai gambaran atas putusan MK yang menguatkan sekaligus mengalami ketidakpastian dengan keputusan sebelumnya ialah soal mantan Terpidana menjadi Cakada dan / atau Caleg dalam berbagai putusan MK, baik yang ditolak maupun yang diterima sebagian oleh Hakim Konstitusi.

Putusan MK Nomor 81/PUU-XVI/2018 menolak petitum pemohon yang menyatakan agar "frase kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada public bahwa yang bersangkutan mantan terpidana" sesuai bunyi pasal 182 huruf g Undang-undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang dimaknai mencakup mantan terpidana korupsi." oleh MK. Sehingga secara normatif putusan tersebut telah memberikan yurisprudensi peradilan. 

Demikian halnya dengan putusan Nomor 83/PUU-XVI/2019 dimana Hakim telah menolak petitum pemohon yang menyatakan bahwa pasal 240 ayat (1) huruf (g) Undang-undang Nomor 7 tahun 2017 tentang pemilihan umum agar dinyatakan bertentangan dengan pasal 1 ayat (3), pasal 27 ayat (1) dan pasal 28D ayat (1) UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota tidak pernah dipidana penjara korupsi, kejahatan narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, dan kejahatan teroris berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap." Dan begitu juga dengan putusan-putusan MK yang banyak bertolak belakang dengan putusan MK Nomor 87/PUU-XX/2022.

Ironisnya, alasan pertimbangan Putusan Nomor 87/PUU-XX/2022 mengacu kepada dasar UUUD 1945 yang dipakai oleh pemohon yaitu pasal 28J ayat 1 UUD 1945. Sehingga Hakim Konstitusi memandang bahwa judicial review yang dilakukan oleh pemohon berbeda dengan permohonan sebelumnya. Dan dalam hal ini, hakim konstitusi hanya mengacu kepada fakta materiil tetapi mengabaikan fakta formil dan hukum acara sekaligus putusan - putusan MK sebagai yurisprudensi peradilan. 

Tentu lain soal dengan kewenangan memutus keluhan konstitusi yang diajukan oleh rakyat terhadap penguasa, Mahkamah Konstitusi (MK) tidak diberikan kewenangan memutus, utamanya untuk memutus constituional complain yang diajukan rakyat terhadap penguasa. Jadi kewenangan tersebut tidak ada pada MK melainkan ada pada Mahkamah Agung (MA). Sehingga Mahkamah Agung wajib menerima dan memutus permohonan dari rakyat bilamana ada produk peraturan yang berada di bawah Undang-undang seperti Keputusan Presiden, Penetapan Presiden, Instruksi Presiden dan/atau Peraturan Presiden untuk diajukan judicial review. Dan putusan MA tidak bersifat final and binding seperti MK, dimana ada mekanisme lain semacam Peninjauan Kembali (PK)..

Mekanisme pembuatan Undang-undang dalam UUD 1945 melibatkan dua Lembaga, yaitu DPR dan Presiden, tetapi MK dapat membatalkan produk bersama dari kedua lembaga ini dengan dalil bahwa Undang-undang tersebut secara potensial dapat menyimpang dari UUD 1945 berdasarkan pendapat hukum dari Hakim Konstitusi. Sedangkan DPR sebagai Lembaga legislatif dan Presiden sebagai Lembaga eksekutif memiliki mekanisme untuk melakukan perbaikan atau penyempurnaan terhadap Undang-undang yang mereka hasilkan. Dalam konteks trias politica, ketiga cabang kekuasaan, yakni legislatif, eksekutif dan yudikatif masing-masing memiliki mekanisme review. Legislative review atau eksekutif review, dimana obyeknya adalah produk hukum yang dibuat oleh lembaga legislatif dan / atau lembaga eksekutif sebagai pembuat peraturan perundang-undangan itu sendiri. 

Memang masih terbuka peluang penyimpangan, bahwa legislative review sangat mungkin didasarkan atas pertimbangan - pertimbangan politik karena memang produk dari lembaga politik, demikian halnya dengan eksekutif review.  Akan tetapi apa bedanya dengan kehadiran Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yang berwenang untuk menguji Undang-undang terhadap UUD 1945, dalam rangka menjaga dan menegakkan konstitusi, bila pada kenyataanya ada banyak praktek inkonsistensi dan inkompetensi didalamnya.

Dan bila terjadi inkonstitusionalitas dari suatu produk Undang-undang yang dibuat oleh DPR dan Presiden dimana dalam konsep trias politica merupakan cabang kekuasaan legisltaif dan eksekutif ternyata bisa dibatalkan oleh MK sebagai implementasi kewenangan yang sangat luar biasa besar. Bukankah sangat berbahaya bilamana MK menjadi lembaga yang super body! Karena itu, Mahkamah Konstitusi yang di dalam ketatanegaraan berperan untuk menjaga konstitusi, jangan sampai melakukan penyelewenangan kekuasaan yudikatif atas nama konstitusi melalui praktek pelaksanaan fungsi peradilan selama melakukan judicial review Undang-undang terhadap UUD 1945. 

Oleh sebab itu, MK harus membatasi dirinya jangan sampai menjadi super body dalam melakukan judicial review atas Undang- undang. Apalagi sampai terjebak untuk menjadi lembaga yang mempunyai hak "veto"secara terselubung. Sebab dengan putusan yang sidang-sidangnya nyaris sepi dari publikasi pemberitaan, bahkan mengabaikan pasal 54 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, maka mekanisme pengawasan dari rakyat menjadi tumpul, law enforcement tidak terjadi, dan keseimbangan antar cabang kekuasaan menjadi mandul.

*** --- ***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun