Mohon tunggu...
Achmad Suhawi
Achmad Suhawi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Politisi Pengusaha

MENGUTIP ARTIKEL, Harap Cantumkan Sumbernya....! "It is better to listen to a wise enemy than to seek counsel from a foolish friend." (LEBIH BAIK MENDENGARKAN MUSUH YANG BIJAK DARIPADA MEMINTA NASEHAT DARI TEMAN YANG BODOH)

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Mahkamah Konstitusi Mengingkari Putusannya Sendiri

14 Desember 2022   17:56 Diperbarui: 14 Desember 2022   22:29 480
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dan bila semula Mahkamah Konstitusi merupakan suatu lembaga yang dimaksudkan hanya untuk menguji konstitusionalitas (constitutional review) dari suatu undang-undang terhadap konstitusi. Sehingga mahkamah konstitusi sering disebut sebagai "the guardian of the constitution" (pengawal konstitusi), karena kewenangannya untuk dapat menyatakan inkonstitusionalitas dari suatu undang-undang. Dalam hal ini, posisi mahkamah konstitusi berada ada di atas lembaga pembentuk undang-undang, yaitu legislatif dan Presiden yang dipilih oleh rakyat sebagai pemilik kedaulatan.

Itulah sebabnya sejak awal Hans Kelsen telah menyatakan bahwa lembaga ini dibentuk dengan kekuasaan yang berada di atas legislatif dan mestinya secara politik memang tidak dikehendaki, khususnya jika lembaga ini berwenang memutuskan bahwa suatu Undang-undang adalah inkonstitusional. Karena itu bagi negara-negara yang menempatkan superioritas Parlemen yang cukup besar karena dianggap cerminan kedaultan rakyat, mereka tidak menempatkan Mahkamah Konstitusi dalam posisi di atas pembentuk Undang-undang. Oleh karena itu di Indonesia ditempatkan sebagai Lembaga Tinggi Negara, bukan Lembaga Tertinggi Negara walaupun berwenang membatalkan produk pembentuk undang-undang, baik sebagian dari Undang-undang maupun secara keseluruhan. Akan tetapi, praktek tidak selalu bersesuaian dengan konsep. 

Kewenangan Mahkamah Konstitusi berbeda dengan Dewan Konstitusi Perancis yang hanya berwenang menguji konstitusionalitas dari suatu rancangan undang-undang yang telah dibahas oleh parlemen tetapi belum diberlakukan atau belum ditetapkan menjadi undang-undang. 

Dan karena itu, Kerajaan Inggris dan Kerajaan Belanda tidak membentuk Mahkamah Konstitusi, dengan prinsip bahwa parlemen adalah satu-satunya lembaga yang membentuk serta mengetahui sah tidaknya suatu undang-undang.

 

Veto Terselubung Sangat Berbahaya

Lembaran sejarah awal praktik pengujian Undang-undang (judicial review) bermula di Mahkamah Agung (MA) Amerika Serikat atau Supreme Court (SC USA) saat dipimpin oleh William Paterson dalam menangani kasus Danil Lawrence Hylton melawan Pemerintah Amerika Serikat pada tahun 1796. SC USA menolak permohonan pengujian UU Pajak atas Gerbong Kereta Api yang diajukan oleh Hylton dan menyatakan bahwa UU a quo tidak bertentangan dengan konstitusi atau tindakan kongres dipandang konstitusional. Dalam kasus ini, SC USA menguji UU a quo, namun tidak membatalkan UU tersebut. 

Lain halnya pada saat SC USA di pimpin oleh John Marshall, ketika menangani kasus Marbury melawan Madison tahun 1803. John Marshall dengan menafsirkan sumpah jabatan yang mengharuskan untuk senantiasa menegakkan konstitusi menganggap SC USA  berwenang untuk menyatakan suatu Undang - undang bertentangan dengan konstitusi, walaupun Konstitusi Amerika Serikat tidak mengatur pemberian kewenangan untuk melakukan judicial review kepada SC USA.

Sampai kemudian pembentukan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yang tersendiri karena kebutuhan akan adanya suatu pengadilan yang secara khusus untuk melakukan pengujian terhadap produk undang-undang yang bertentangan dengan konstitusi (undang- undang dasar) mendapat landasan teoritis dari Prof. Hans Kelsen. Guru besar kenamaan dari Universitas Wina ini yang mengusulkan dibentuknya suatu lembaga bernama Verfassungsgerichtshoft atau Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court). Gagasan tersebut kemudian diterima dengan bulat dan di adopsi ke dalam naskah Undang- undang Dasar Tahun 1920 yang disahkan dalam Konvensi Konstitusi pada tanggal 1 Oktober 1920 sebagai Konstitusi Federal Austria. Artinya, Mahkamah Konstitusi secara teoritis baru diperkenalkan pertama kali pada tahun 1919 oleh pakar hukum asal Austria, Hans Kelsen (1881-1973). 

Hans Kelsen menyatakan bahwa pelaksanaan konstitusional tentang legislasi dapat secara efektif dijamin hanya jika suatu lembaga selain badan legislatif diberikan tugas untuk menguji apakah suatu produk hukum itu konstitusional atau tidak, dan tidak memberlakukannya jika menurut lembaga tersebut tidak konstitusional.  Untuk itu perlu dibentuk lembaga khusus yang disebut Mahkamah Konstitusi (constitutional court). Sebab, kemungkinan muncul persoalan konflik antara norma yang lebih tinggi dengan yang lebih rendah, bukan saja berkaitan antara Undang - undang (statute) dan putusan pengadilan, tetapi juga berkaitan dengan hubungan antara konstitusi dan Undang-undang. Ini adalah problem inkonstitusionalitas dari Undang-undang. Dengaan demikian  maka suatu Undang-undang (statute) hanya berlaku dan dapat diberlakukan jika sesuai dengan konstitusi, dan tidak berlaku jika bertentangan dengan konstitusi. Dan suatu Undang - undang hanya sah jika dibuat berdasarkan ketentuan - ketentuan konstitusi. Karena itu diperlukan suatu badan atau pengadilan yang secara khusus untuk menyatakan inkonstitusionalitas dari suatu Undang - undang yang sedang berlaku. Dan suatu Undang-undang yang telah dinyatakan tidak berlaku oleh Mahkamah Konstitusi tidak dapat diterapkan oleh lembaga-lembaga yang lain.

Mengacu kepada pendapat ilmuan tersebut diatas, baik dalam perspektif hukum tata negara maupun konsep trias politica, beberapa putusan MK dalam rentang sejarah sejak lahirnya ternyata banyak kontradiksi, walaupun sebagian diantaranya menguatkan keputusan-keputusan sebelumnya. Hal semacam ini terjadi karena MK tidak memiliki mekanisme control atas semua putusan yang dibuatnya, bahkan aspirasi legislatif dan eksekutif dalam memproduk suatu Undang-undang sebagai representasi kehendak rakyat -- karena dipilih melalui pemilu -- seringkali tidak sejalan dengan Undang-undang Dasar 1945 berdasarkan tafsir / kehendak Hakim Konstitusi itu sendiri. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun