Pilar Ekonomi: Dari Hilirisasi ke Ketergantungan
Indonesia bangga dengan strategi hilirisasi nikel. Ekspor nikel memang naik drastis, dari USD 4 miliar pada 2017 menjadi lebih dari USD 30 miliar pada 2023. Namun di balik angka fantastis itu, ada risiko besar: ketergantungan pada investor asing, terutama Tiongkok.
Seorang peneliti ekonomi di UI menyebut hilirisasi kita seperti "menjual masa depan dengan harga diskon": kita dapat pemasukan cepat, tapi kehilangan daya tawar jangka panjang.
Uni Eropa bahkan menggugat Indonesia ke WTO terkait larangan ekspor bahan mentah. Jadi, sambil merayakan keberhasilan hilirisasi, kita juga bersiap menghadapi drama geopolitik.
Inovasi: Antara Harapan dan Halu
Harapan baru muncul lewat teknologi baterai generasi berikutnya: solid-state yang lebih ringan, atau sodium-ion yang lebih murah. Di atas kertas, semua terdengar menjanjikan. Namun, Darto kembali tertawa getir.
"Kalau baterai makin canggih, apa kabar kami yang tidak pernah canggih-canggih?" ujarnya.
Inovasi memang penting, tetapi tanpa program pelatihan ulang (reskilling), pekerja lama hanya jadi penonton di lapangan hijau transisi. Inilah yang dimaksud "transisi berkeadilan": jangan ada yang ditinggalkan.
Antara Satir dan Serius
Socrates pernah berujar, "Rahasia perubahan adalah memfokuskan semua energi bukan pada melawan yang lama, tetapi membangun yang baru." Namun di Indonesia, rahasia perubahan kadang mirip rahasia dapur: hanya segelintir orang yang tahu resepnya, sementara rakyat kecil cuma mencium baunya.
Negeri ini sering pandai membuat slogan---Green Economy, Net Zero, Just Transition. Tapi di lapangan, pekerja seperti Darto lebih sering menerima "Just Termination."