"Progres tidak pernah datang tanpa harga, tetapi harga itu seharusnya tidak dibayar hanya oleh yang lemah." -- John Rawls
Darto, seorang pekerja otomotif berusia 42 tahun, duduk di kantin pabrik tempat ia bekerja sejak lulus STM. Kopi hitamnya sudah dingin, tapi pikirannya masih hangat oleh satu pertanyaan: "Apakah mobil listrik akan membuatku kehilangan pekerjaan?"
Di layar televisi pabrik, berita tentang green economy bergulir dengan penuh optimisme. Pemerintah memamerkan data bahwa Indonesia menjadi pemain penting dalam industri nikel, bahan utama baterai kendaraan listrik. Namun bagi Darto, istilah-istilah keren seperti hilirisasi dan elektrifikasi hanya berarti satu hal: mesin-mesin lama akan digantikan robot, sementara ia mungkin harus kembali antre kerja di usia yang tak lagi muda.
Janji Hijau, Rasa Abu-Abu
Elektrifikasi kendaraan disebut sebagai jalan menuju masa depan bebas polusi. Benar, mobil listrik memang tidak mengeluarkan asap knalpot. Tetapi, seperti kata laporan SADA (Solidaritas dan Advokasi Pekerja), jejak karbon EV jauh lebih kompleks: produksi baterai lithium-ion menghasilkan emisi lebih besar daripada mobil biasa. Baru setelah beberapa tahun dipakai, emisinya bisa lebih rendah.
Paradoksnya, EV disebut sebagai penyelamat bumi, tapi proses penambangan nikel di Sulawesi justru mengubah hutan jadi kawah. Air keruh mengalir ke sungai, dan warga sekitar kehilangan tanah subur. Jadi, siapa yang benar-benar diuntungkan dari transisi ini?
Pilar Sosial: Siapa yang Tertinggal?
Diperkirakan kendaraan listrik memiliki 50% komponen lebih sedikit dibanding mobil konvensional. Artinya, kebutuhan tenaga kerja di industri bisa berkurang drastis.
"Kalau setengah dari baut dan mur hilang, setengah pekerja juga bisa hilang," kelakar pahit Darto pada kawannya.
Transisi energi berkeadilan seharusnya memastikan semua pihak berpartisipasi. Namun kenyataannya, adopsi mobil listrik masih dominasi kalangan berduit. Menurut studi BloombergNEF, harga rata-rata EV global masih 2--3 kali lipat lebih mahal daripada mobil konvensional. Sementara itu, masyarakat miskin kota yang paling sering menghirup polusi jalanan malah tidak sanggup membeli kendaraan ramah lingkungan.