Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Shaum Hari Kedua, Peduli Tetangga, dan Akhlak Rasulullah

2 April 2022   15:00 Diperbarui: 2 April 2022   15:04 326
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image caption - suasana sebuah pasar sembako di kalsel - harga bawang merah meroket-  banjarmasin.tribunnews.com

Meski berbeda hari dalam pilihan kapan mulai berpuasa Ramadan tahun ini, keluarga Kang Baban Sobandi tetap rukun dengan tetangganya yang bermarga 'Si' dan sudah menjadi muslim sejak lama, tak berkurang keakrabannya.

Kang Baban dan Bang Wildan ketemu di masjid An Nur hampir setiap subuh. Pada waktu jadwal salat berjemaah lain mereka jarang ketemu karena berbeda jadwal kerja.

"Shaum lebih awal, atau ikut jadwal Pemerintah, Bang?" tanya Kang Baban setelah salam dan berzikir sekitar lima menitan.

"Sabtu, lebih awal, kayaknya menyenangkan. . . . . !" sekenanya Bang Wildan menjawab. Padahal ia punya pemikiran lain, dibanding sekadar mengikuti satu ormas tertentu yang jauh-jauh hari sudah punya jadwal.

"Ehh, baru tahu Abang ini ikut ormas Muhammadiyah, ya?"

"Nggak juga. Kebetulan Sabtu kehabisan beras, dompet kosong, mau kerja lembur terasa badan kuang sehat. Jadi pilih di rumah saja, malas-malasan, meski harus dengan perut keroncongan lantaran puasa karena keterpaksaan. . . . . . !" Bang Wildan berdalih.

"Ah, andai aku bisa membantu, Bang. . . . !"

"Nggak apa-apa. Jangan terlalu cengeng menghadapi ketidakpastian. Bukankah itu juga perintah agama? Jangan goyah, dan tetaplah percaya pada rencana baik Allah. . . . !"

Mang Baban Sobanti tercenung beberapa saat. Ia teringat tausiah seorang guru ngaji. Bukankah sangat tekenal cerita Rasul, ketika suatu hari beliau bertanya kepada isterinya 'apa punya makanan hari ini?', dan dijawab 'tidak ada', langsung junjungan alam itu menyatakan diri untuk melakukan shaum.

"Kenapa, Mang? Seperti ada yang rumit dipikirkan?"

Mang Baban tersenyum, dan tak hendak berterus terang. Mungkin lain kali kuceritakan apa yang ada dalam pikiranku saat ini, ucapnya dalam hati.

"Aku berpuasa Ahad saja. Ikut Pemerintah. Mudah-mudahan bulan depan hari raya-nya bersamaan. Hingga tak perlu ada dua kali salat Idul Fitri, dengan berbagai pro-kontra yang menyertainya. . .  !"

"Aamiin. Mudah-mudahan. Perbedaan menjadi berkah. Toh, tiap keputusan sudah didasari dalil, juga keyakinan penuh si pembuat keputusan. Akar rumput tidak perlu gaduh karenanya. . . .  !"

"Setuju, Mang. Terima kasih atas pencerahannya. . . . . !"

Sore ini, jelang berbuka puasa, Mang Baban Sobandi ingin sekali mengirim makanan ke rumah tetangganya itu, Bang Wildan Si. Nasi, dan sayur, juga goreng tempe-tahu-ikan asin dan sambal. Pasti terkejut Bang Wildan, dan sangat bersyukur masih ada tetangga yang peduli pada kesulitan orang lain.

*

Tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Sepulang dari masjid setelah berjemaah Ashar, Bang Wildan justru yang nongol lebih dahulu di depan pintu rumah Mang Baban.

"Aku ada sedikit rezeki. Aku yakin ini salah satunya dari doamu, Mang.. . . . !"

"Doaku? Benarkah?"

"Doa orang saleh gampang terkabul. Terlebih untuk mendoakan orang lain. Baru saja datang seorang teman lama yang pernah meminjam sejumlah uang padaku. Ia minta-minta maaf karena lama menghilang, dan baru kali mampu mengembalikan pinjamannya, dan. . . . . . . !"

Bang Wildan menyelipkan dua lembaran uang warna merah ke saku kemeja Mang Baban. Begitu saja dan segera balik kanan.

"Tunggu. . . ., ohh, apa ini? Tunggu. . . .  !"

Dari dapur isteri Mang Baban membawa serenteng  rantang, yang berisi nasih, sayur, lauk, dan sambal ala kadarnya.

"Aku juga punya rezeki untukmu, Bang Wildan. Terimalah. Lumayan untuk berbuka nanti. . . . . !" ujar Mang Baban Sobandi.

Lelaki bermarga asal Sumut itu tercengang. Dan seketika matanya berkaca-kaca. zLembut betul hatinya. Konon dulu ia seorang berandalan dengan segenap perilaku buruknya. Tapi kemudian berubah haluan, dan melalui bergulatan tak ringan, menjadi seperti sekarang ini.  

"Terima kasih, ini rezeki Allah lewat tanganmu. Semoga kita akan seterusnya menjadi tetangga yang saling peduli. Mungkin, seperti kata agama, melebihi kasih-sayang saudara kandung. . . . !" gumam Bang Wildan seraya menerima rentengan rantang itu untuk pulang.

*

Mak Jumilah tersenyum membaca tiap kata pada tulisan suaminya, Bang Brengos. Secangkir kopi hiam panas sudah disiapkannya. Kebetulan Bang Brengos meninggalkan laptop-nya, itu kesempatan Mak Jumilah membaca tulisan suaminya.m

"Ini cerita nyata, atau fiksi, Bang?"

"Bisa jadi ceria nyata. Tapi supaya tidak menyinggung perasaan pembaca, ya sebaiknya diperfiksi saja. Supaya tidak terkesan menggurui," jawab Bang Brengos ketika kembali dengan membawa selembar koran.

"Terus cerita apa yang dipendam Mang Baban, yang diucapkannya dalam hati?"

Bang Brengos tersenyum.

"Ada, ia baru akan bercerita bila bisa meniru sikap tetangganya itu. Sikap yang mencerminkan ahlak Rasulullah. . . . . . !"

"Apa itu, belum Mak mengerti juga?"

 "Kalau tidak punya apa-apa untuk dimakan, jangan menyalahkan apa dan siapapun. Lebih baik mengambil hikmahnya, menahan diri. Salah satunya dengan shaum. . . . . !"

Mak Jumilah mengangguk. Minyak goreng langka dan mahal, bahan bakar naik harga, harga sembako merangkak naik, dan entah apa lagi. Ramadan dan jelang Lebaran semua barang naik harga.

Habis-habisan orang berkomentar, semua bernada menyalahkan dan tak mau tahu kenapa. Tak terima pula. Bang Brengos pun tersenyum seperti mampu membaca pikiran isterinya.

"Itu ahlak Rasulullah yang perlu ditiru setiap muslim. . . . !" komentar Mak Jumilah spontan. ***

Sekemirung, 02 April 2022, 15.00
Sugiyanto Hadi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun