Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Daging Oplosan Murah, Kerjasama Pemburu dengan Pedagang Daging Celeng

1 Juli 2020   17:22 Diperbarui: 1 Juli 2020   17:14 610
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Tribunnews.com

Ke mana para pedagang daging celeng mendapatkan dagangannya? Pemburu celeng. Sebaliknya ke mana pemburu celeng melempar hasil kerjanya? Pedagang daging celeng. Mereka bekerja sama. Satu pihak demi hobi dan alasan klasik (membasmi hama). Pihak lain demi meraup keuntungan yang besar, meski harus dengan berlaku curang.

Jumlah pemburu celeng banyak. Maka demikian pula pedagang dan pengecer daging celeng, maupun produsen makanan dengan bahan baku daging celeng pun sangat banyak. Baso, dendeng, rendang, dan aneka olah yang menggunakan daging sapi dapat disusupi daging oplosan. 

Akibatnya daging celeng (dengan atau tanpa pengetahuan konsumen) beredar bebas masuk pasar, dan dikonsumsi oleh pembeli yang tidak tahu serta tidak waspada.

Itulah yang setiap kali terjadi dan diberitakan media. seolah dengan ditangkapnya para pedagang dan pengedar daging sapi palsu persoalan selesai. Tidak. Sebab makanan dengan daging olahan ada yang mampu bertahan lama. Produksi hari ini mungkin beberapa hari sampai beberapa minggu masih dappat diedarkan di pasar.

Tangkapan polisi membuktikan peredaran daging celeng yang disamarkan sebagai daging sapi masih banyak. Seperti tak terlacak. Polisi dan dinas/instansi terkait seolah hanya bertindak setelah ada laporan masyarakat. 

Miris dan ironisnya, ada pelaku peredaran daging celeng yang hukumannya sangat ringan: hukum adat. Padahal jelas, ia kriminal.

*

Jamirin (65) yang rajin berdagang kena sanksi. Tapi sebenarnya ringan saja. Bukan hukuman badan masuk bui yang diterimanya. Tindak kriminalnya, yaitu terkena pasal terhadap perlindungan konsumen, diganjar tidak boleh berjualan seumur hidup. Berjualan apa? Berjualan daging. Pada setahun terakhir ia menjadi pedagang keliling daging celeng.

Mungkin ia sengaja menyamarkan dagangannya seolah daging sapi. Atau sebaliknya, masyarakat muslim tidak curiga dan tidak waspada bahwa yang dijual itu daging celeng.

Jamirin merupakan warga Desa Pekaja, Kecamatan Kalibagor, Banyumas, Jawa Tengah. Pada saat harga daging sapi di pasaran mencapai Rp 140 ribu per kilogram, Jamirin menjual dagingnya Rp 60 ribu saja.

Sekitar setahun  ia berdagang. Dan yang dipasarkan merupakan daging yang haram dikonsumsi oleh umat Islam. Pertanyaan yang timbul: apakah motif ekonomi dapat memperingan hukuman pada dugaan motif lain? Sebab tentu konsumennya (sebagian, atau sebagian besar) umat Islam.

Demi alasan yang terakhir itu kiranya Jamirin pantas mendapatkan hukuman lebih berat. Bahkan ancaman hukuman 5 tahun pun masih terlalu ringan.

 *

Lain lagi cerita pasangan suami-isteri T (45) dan R (24). Mengherankan, mengapa namanya harus disamarkan. Padahal mestinya disebut saja supaya para pelanggan mengenalinya.

Keduanya warga Padalarang, Kabupaten Bandung Barat. Ia mengaku sejak 2014 berjualan daging celeng, sampai akhirnya ditangkap Polisi. Berarti hampir 7 tahun mereka dengan berbagai dalih dan cara menipu muslim. Daging itu diperoleh dari para pemburu babi hutan.

Mungkin pasutri itu merupakan bandar atau penadah, dari para pemburu celeng. Terbukti mereka secara rutin menjadi pamasok 4 pedagang di wilayah Purwakarta, Tasikmalaya, Cianjur, dan Bandung. Dalam sebulan pasokannya berkisar antara 30 hingga 70 kilogram.

Di Bandung sasaran penjualan pada 4 rumah makan, termasuk penjual bakso. Dengan harga jual hanya Rp 50 ribu per kilogram. Menurut pengakuannya, mereka tidak menutup-nutupi bahwa daging yang dijualnya daging celeng. Di tangan pengecer, daging itu diserupakan daging sapi dengan harga jual Rp 100 ribu per kilogram.

Bila keterangan itu benar maka pedagang bakso-dendeng-rendang pun yang membeli daging dari mereka mesti kena tuntutan hukum. Pengakuan lain, tindakannya itu semata karena alasan ekonomi, yaitu ingin mencari keuntungan yang besar.

Sementara itu Satuan Reserse Kriminal Polres Cimahi telah mengamankan 5 orang pedagang yang menjual daging sapi oplosan dengan daging celeng. Kelima orang yang ditangkap ditempat berbeda di Jawa Barat ini berencana dilimpahkan ke Polres di masing-masing wilayah.. Mereka sedang diproses di Polres Cimahi, dan kasusnya akan limpahkan ke polres-polres terkait, Polres Cianjur, Polres Tasikmalaya, dan Polres Purwakarta.

Atas perbuatan tersebut, kelima pedagang terancam hukuman lebih dari 5 tahun.

*

Sangat mengherankan berita mengenai beredarnya daging celeng yang disamarkan sebagai daging sapi sifatnya sporadik sekali. Muncul beritanya, lalu pihak berwenang melakukan sidak di pasar daging, kemudian senyap.

Lain waktu terjadi penangkapan lagi. Lalu kembali senyap. Jangan-jangan para konsumen muslim pun tidak peduli lagi halal-haram atas apa yang  mereka konsumsi? Untuk itu mari terus meningkatkan kehati-hatian, kewaspadaan, kecurigaan untuk mengetahui apa yang kita konsumsi (dari bau, serat daging, rasa dan petunjuk lain perbedaan daging sapi dengan daging lainnya).

*

Daging babi sudah jelas keharamannya. Allah Ta'ala berfirman (yang artinya): "Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah" (QS. Al Baqarah: 173).

Dalam keadaan darurat (kelaparan, tidak ada makanan lain) syariat mengizinkan. Asalkan tidak boleh berlebihan (mencegah kematian). Dan dalam ayat ini dikatakan 'tidak ada dosa baginya'. Demikian juga jika makan daging babi karena karena tidak tahu, tidak sengaja, atau lupa.

*

Nah, itu saja. Penulis berharap para pemburu celeng harus memastikan daging dari hewan buruannya tidak dijual bebas, dan apalagi disamarkan sebagai daging sapi. Semoga para pedagang dan pengecer daging celeng, serta produsen makanan menggunakan daging celeng, berhenti mengelabuhi konsumen. Dan siapapun kita (terlebih muslimin/muslimat) perlu aktif dan lebih aktif berpartisipasi mencegah maupun memberantas tindak curang dan kriminal itu. ***

Sekemirung, 1 Juli 2020 / 9 Zulkaidah 1441

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun