Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Bangku Panjang Taman Kota (2)

1 Juli 2020   14:11 Diperbarui: 1 Juli 2020   14:03 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
seorang lelaki duduk di bangku panjang - www.piqsels.com

Cerita sebelumnya:
Taman kota selalu menyenangkan untuk dikunjungi. Saya beristirahat di bangku panjang suatu pagi setelah lelah berolahraga. Muncul seorang perempuan muda berpenampilan kelaki-lakian. Lalu 3 pemuda yang coba memalak (memeras).  Ini kalimat terakhir bagian pertama cerita pendek ini: Saya berbisik, "Kita selesaikan saja di lantai bawah, Dik. Lantai paling dasar bangunan ini. . . .!" 

*

"Kenapa harus ke sana?" geram si kurus.

"Saya beri kalian masing-masing satu juta rupiah. Tapi harus mampu mengalahkan saya dulu. Bila kalian yang kalah saya bebas, tidak perlu bayar parkir pantat yang menjadi alasan kalian memalak saya. . . .!"

Secepat itu saya beranjak menuruni tangga ke lantai bawah. Lalu ke bawahnya lagi. Ketiganya mengikut saya. Mungkin uang satu juta rupiah cukup untuk satu orang. Toh mereka akan main keroyokan. Satu lawan tiga. Apa susahnya untuk mengalahkan?

"Jangan bohong, dan jangan coba-coba mengelabuhi kami. Kami bisa sangat kejam terhadap orang yang curang. . . . !" seru si gendut sambil setengah berlari menuruni tangga.

Tiga pemuda itu agaknya bukan laki-laki sembarangan. Sepintas saya perhatikan mereka mengeluarkan senjata masing-masing. Ikat pinggang berkepala logam, tongkat besi pendek, dan cutter. Senjata itu sudah di tangan masing-masing. barangkali dengan peralatan itu mereka pernah menghajar orang, menganiaya, atau bahkan membunuh.

Saya sedang berpikir keras untuk meladeni mereka. Berpikir keras untuk mencari dalih bagaimana supaya uang tiga juta rupiah tidak melayang dari dompet saya. Sebab itu hanya gertak sambal. Saya bukan siapa-siapa, bukan jagoan berkelahi, bukan pula aparat keamanan yang mengantongi sepucuk pistol untuk melawan mereka. Tapi tunggu, saya selalu membawa serbuk merica. Dan mungkin senjata pamungkas itu dapat menyudahi petualangan mereka.

Sampai di lantai paling bawah suasana sepi. Di ruangan yang begitu luas itu hanya beberapa mobil dan motor yang diparkir. Menjauhi undakan, saya menuju ke sudut yang agak gelap dan mengeluarkan botol serbuk merica. Dengan hati was-was dan jantung berdegup kencang saya tunggu serangan tiga pemuda itu.

Tapi tidak. Ternyata tiga pemuda yang membuntuti saya berhenti di ujung undakan terakhir. Sosok lain yang melangkah cepat mendekati justru seorang perempuan yang berpakaian kelaki-lakian dengan masker hampir menutupi wajah.

"Kamu lupa aku, Kang Mukarya?"

"Siapa? Apa kita pernah ketemu?" tanya saya dengan terkejut. Suaranya pun saya tak kenal.

"Bukan hanya ketemu. Kita pernah menjalani kebersamaan. Sepuluh tahun kukejar kamu dari satu kota ke kota lain, dari pulau satu ke pulau lain.. . . .!" ucapnya dengan nada meratap seraya membuka masker. "Anak kita sudah besar sekarang. Ia perlu biaya. Semua harta yang kubawa kabur ludes. Dan kini aku jadi kepala preman dan pengedar barnag haram di kawasan ini.. . .!"

"Sastri? Kaukah itu? Kukira kamu sudah tewas dalam kebakaran besar rumah kita dulu?"

"Ceritanya panjang, Kang. Aku berhasil memanipulasi kematianku sendiri. Padahal aku dan anak laki-laki kita kabur.  Dua kerangka hangus yang ditemukan polisi adalah orang lain. Kalau Akang mau memaafkan masa laluku, biarlah aku bertobat. . . .  !"

Di tengah pembicaraan itu, tiga pemuda yang rupanya anak buah Sastri dan menunggu di ujung undakan terakhir berlarian memencar. Di belakang mereka beberapa orang berpakaian preman mengejar, sambil berteriak-teriak menyuruh berhenti, dan mengacung-acungkan pistol. Agaknya tiga pemuda itu berusaha menyelamatkan bosnya. Tapi terlambat. Ada beberapa peluru dimuntahkan. Entah sengaja membidik, atau sekadar tembakan peringatan. Sastri terjingkat, lalu ambruk dengan sebuah lubang bundar menganga di dada.

"Sastri. . . . . !" seru saya dengan suara panik.

"Maafkan aku, Kang. . . . !"

Tidak ada yang dapat diselamatkan. Sastri tergolek lemas. Nafasnya satu-satu. Berat, seperti dalam perjalanan mendaki. Saya pegang telapak tangannya. Saya amati lebih teliti wajahnya. Dan benar, perempuan itu yang pernah saya cintai sebagai isteri sebelum kemudian seseorang datang dengan kekerasan dan rekayasa untuk memilikinya.

Saya tidak tahu nasib Sastri kemudian. Tetapi yang pasti saya dan tiga pemuda yang tadi coba memalak diborgol petugas. Naas benar yang saya alami hari itu. Bangku panjang taman kota menjadi saksi. Dan saya tidak akan pernah melupakannya. (Selesai) ***

Cibaduyut, 30 Juni 2020

Baca tulisan menarik lain:
sepeda-onthel-dan-kenangan-touring-pada-akhir-80-an
adu-akting-yang-dimenangkan-si-penipu-butet-dan-melia-wahyuni
cerpen-berharap-ada-jodoh

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun