Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Bangku Panjang Taman Kota (2)

1 Juli 2020   14:11 Diperbarui: 1 Juli 2020   14:03 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
seorang lelaki duduk di bangku panjang - www.piqsels.com

"Siapa? Apa kita pernah ketemu?" tanya saya dengan terkejut. Suaranya pun saya tak kenal.

"Bukan hanya ketemu. Kita pernah menjalani kebersamaan. Sepuluh tahun kukejar kamu dari satu kota ke kota lain, dari pulau satu ke pulau lain.. . . .!" ucapnya dengan nada meratap seraya membuka masker. "Anak kita sudah besar sekarang. Ia perlu biaya. Semua harta yang kubawa kabur ludes. Dan kini aku jadi kepala preman dan pengedar barnag haram di kawasan ini.. . .!"

"Sastri? Kaukah itu? Kukira kamu sudah tewas dalam kebakaran besar rumah kita dulu?"

"Ceritanya panjang, Kang. Aku berhasil memanipulasi kematianku sendiri. Padahal aku dan anak laki-laki kita kabur.  Dua kerangka hangus yang ditemukan polisi adalah orang lain. Kalau Akang mau memaafkan masa laluku, biarlah aku bertobat. . . .  !"

Di tengah pembicaraan itu, tiga pemuda yang rupanya anak buah Sastri dan menunggu di ujung undakan terakhir berlarian memencar. Di belakang mereka beberapa orang berpakaian preman mengejar, sambil berteriak-teriak menyuruh berhenti, dan mengacung-acungkan pistol. Agaknya tiga pemuda itu berusaha menyelamatkan bosnya. Tapi terlambat. Ada beberapa peluru dimuntahkan. Entah sengaja membidik, atau sekadar tembakan peringatan. Sastri terjingkat, lalu ambruk dengan sebuah lubang bundar menganga di dada.

"Sastri. . . . . !" seru saya dengan suara panik.

"Maafkan aku, Kang. . . . !"

Tidak ada yang dapat diselamatkan. Sastri tergolek lemas. Nafasnya satu-satu. Berat, seperti dalam perjalanan mendaki. Saya pegang telapak tangannya. Saya amati lebih teliti wajahnya. Dan benar, perempuan itu yang pernah saya cintai sebagai isteri sebelum kemudian seseorang datang dengan kekerasan dan rekayasa untuk memilikinya.

Saya tidak tahu nasib Sastri kemudian. Tetapi yang pasti saya dan tiga pemuda yang tadi coba memalak diborgol petugas. Naas benar yang saya alami hari itu. Bangku panjang taman kota menjadi saksi. Dan saya tidak akan pernah melupakannya. (Selesai) ***

Cibaduyut, 30 Juni 2020

Baca tulisan menarik lain:
sepeda-onthel-dan-kenangan-touring-pada-akhir-80-an
adu-akting-yang-dimenangkan-si-penipu-butet-dan-melia-wahyuni
cerpen-berharap-ada-jodoh

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun