Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

George Floyd Tewas di Tangan Polisi, Warga Kota Minneapolis - AS Rusuh

30 Mei 2020   00:17 Diperbarui: 2 Juni 2020   21:45 471
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
kerusuhan di minneapolis -as - www.kompas.com

Satu nyawa cukup untuk menggerakan sebuah kekacauan dan kerusuhan. Bukan  hanya di sini, tetapi juga di sebuah negara bagian di Amerika Serikat. Hanya, dan tentu bukan hanya sebenarnya. Satu nyawa pun betapa berharga, yaitu nilai kemanusiaannya.

Korbannya bernama George Floyd. Ia pria kulit hitam berusia 46 tahun yang semula pengemudi truk, dan belakangan menjadi sekuriti sebuah restoran. Pelakunya empat orang polisi. Sebab cara kematian lelaki yang besar -yang diakui adiknya sebagai berhati lembut dan tidak pernah penyakiti orang lain itu- sangat menyesakkan dada.

Kematiannya karena dijatuhkan polisi dalam rangka penangkapan atas tuduhan suatu tindak kejahatan menggunakan uang palsu. Di diborgol dan dijatuhkan ke aspal. Bukannya badan yang ditekan oleh salah satu dari empat polisi yang bertugas, melainkan leher, ditekan menggunakan lutut. George Floyd tidak dapat bernafas,  lemas, dan akhirnya tewas.

Video yang kemudian mengenai penangkapan dan terlebih cara penanganan yang brutal polisi itulah pemicu rasa marah, geram, dan berujung pada pembakaran dan penjarahan toko-toko oleh kerumunan massa yang semula sekadar ingin unjuk perasaan prihatin dan memprotes.

Sangat kebetulan korban tewas berkulit hitam. Maka luka lama pun kembali tertoreh, urusan sakit dan penyakit terkait rasisme tak kunjung usai untuk dapat disembuhkan. Dan kini kembali terungkit.

Seperti dilansir AFP, Kamis (28/5/2020) George ditangkap pada Senin (25/5) oleh polisi kota Minneapolis, AS. George FLoyd ditangkap karena diduga melakukan transaksi memakai uang palsu senilai $ 20.

Tidak sulit menggambarkan suasana kegawatan yang kemudian berkembang menjadi peristiwa yang tidak seorang pun warga negara menghendaki. Pandemi Covid-19 dengan banyak korban sempat menimbulkan memang kemarahan, tetapi kebrutalan polisi di Minneapolis itu memunculkan sikap dan kemarahan yang cepat sekali memuncak.

Warga turun ke jalan dan bentrok dengan polisi. Mereka menjarah toko-toko dan membakarnya. Polisi bereaksi dengan menembakkan gas air mata dan peluru karet.

Menyalahkan polisi tentu tindakan yang paling gampang. Setidaknya perlakuan yang berlebihan, yang seperti adegan dalam film laga itu, mengesankan si pelaku sebagai tokoh jagoan. Terlebih peristiwa itu divideokan dan diviralkan.

Boleh jadi hal yang sama telah dilakukan berulang dan berulang. Sebuah sumber menyebutkan bahwa si pelaku telah 18 kali mendapat laporan pengaduan atas sepak terjangnya dalam bertugas. Polisi itu diidentifikasi bernama Derek Chauvin (44), dan 19 tahun mengabdi pada Kepolisian setempat. Dan baru kali ini ia mendapatkan sanksi setimpal. Pelaku dan 3 rekan personel Kepolisian Minneapolis di Amerika Serikat (AS) dipecat.

Sementara tuntutan lebih besar dari itu, yaitu dihukum mati. Betapapun urusan rasialisme bukan perkara gampang di sana. Bila kelak kerusuhan makin luas, bukan tak mungkin hukuman lebih berat bakal diterimanya. 

*

Peristiwa di atas seperti mengulang-ulang peristiwa lama. Polisi yang bertindak berlebihan menyebabkan warga tewas. Akibatnya fatal.  Bukan hanya di sini, di Amerika Serikat pun kantor polisi menjadi sasaran pembakaran.

Ketika massa bergerak, dan kemudian ada sejumlah provokator yang memancing kerusuhan-penjarahan dan aksi kekerasan, maka tak perlu waktu lama hal yang ditakutkan pun terjadi.

Sementara itu soal rasialisme mengungkit dan mengobarkan kebencian untuk saling melukai. Tidak ada lagi kompromi dan dialog. Yang ada aksi kemarahan dan tindakan pembalasan yang sulit diterima akal. Di sana hanya soal warna kulit. Selebihnya bukan masalah. Beda sekali dengan di sini: ras, suku, agama, dan antar golongan menjadi pemicu. Satu aspek saja unsur SARA itu disinggung, maka 3 unsur lain spotan terkait. Akibatnya sama: kerusakan, kerugian, dan kematian. 

Hal lain lagi yaitu peran video yang cepat menyebar dan menjadi viral. Video yang disebar sangat cepat melalui online. Kebrutalan dan kesadisan terjadi dengan banyak cara dan gaya. Orang kadang tak membayangkan sebegitu tega dan kejamnya seseorang terhadap orang lain, dan dengan dukungan video maka marah, antipati, dan sikap untuk menuntut balas begitu cepat menjalar kepada setiap orang.

*

Kini seluruh dunia tahu peristiwa itu. Siapapun dapat mengikuti perkembangan dan penanganan kasusnya, termasuk berbagai peristiwa negatif yang mengikutinya. Sebagian besar berpendapat:  mengecam tindakan polisi.

Sementara itu Gedung Putih menanggapi, Trump "sangat geram" setelah melihat rekaman video. Ia menuntut para stafnya untuk membuat kasus ini sebagai prioritas utama. "Dia ingin keadilan ditegakkan," ujar sekretaris pers Trump, Kayleigh McEnany kepada wartawan.

*

Banyak pembelajaran yang dapat dipetik di sini: kebrutalan polisi, aksi massa tak terkendali, dukungan para provokator, penyebaran video kejadian, peran media online, merebaknya isu sensitif yang dibumbui aneka sentimen untuk saling menyalahkan dan menjadi pembenar untuk melakukan kerusuhan dan penjarahan.

Bahkan negara maju seperti Amerika Serikat pun tak kuasa secepatnya mengatasi masalah itu. Mungkin di sana pun muncul tudingan adanya unsur konspirasi. Kalau di sini para politisi dan petualang politik sudah menggorengnya sampai kemana-mana.

Masih beruntung, ya masih beruntung, buntut pilpres lalu tidak mengarah seperti yang dirancang para provokator dan para penyandang dana di belakangnya. Peristiwa bakar-bakar dan kerusuhan tidak terjadi lagi. Setidaknya sampai kini negeri ini masih dilindungi. Alhamdulillah.

Semoga peristiwa Minneapolis itu tidak terjadi di sini.  ***

Sekemirung, 29 - 30 Mei 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun