Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Covid-19, Masjid, dan Mempersoalkan Salat Jumat

19 Maret 2020   17:25 Diperbarui: 20 Maret 2020   05:30 3663
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Petugas menyemprotkan cairan disinfektan di Masjid Istiqlal, Jakarta Pusat, Jumat (13/3/2020). Penyemprotan oleh petugas gabungan tersebut untuk mencegah penyebaran Covid-19 di lingkungan Masjid Istiqlal.(ANTARA FOTO/SIGID KURNIAWAN via KOMPAS.com)

Salat Jumat berjamaah bagi setiap muslim itu wajib. Dilakukan sepekan sekali pada hari Jumat. Wajib, sebab bila tiga kali berturut-turut seorang laki-laki baligh dan berakal sehat meninggalkannya berarti murtad, meninggalkan agama Islam.

Kegiatan ibadah itu menjadi rutin, dan tidak ada masalah. Bila tidak bisa melaksanakan salat wajib (5 waktu) berjamaah di masjid karena berbagai sebab, lain hal dengan salat Jumat yang mesti diprioritaskan. Itu sebabnya jamaah salat Jumat selalu penuh, sesak, berjubel.

Di tempat-tempat strategis dan dekat dengan pusat keramaian, masjid penyelenggara salat Jumat selalu penuh sesak. Bahkan tak jarang sampai meluber ke halaman dan sisi kiri-kanan dan belakang masjid.

Namun, bersamaan dengan makin merebaknya penularan virus Corona (Covid-19), imbauan untuk tidak salat berjamaah Jumat di masjid makin nyaring disuarakan. Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang memberi fatwa mengenai hal itu. Disarankan ganti dengan salat zuhur di rumah.

*

Namun tentu ada saja yang salah penerimaan, salah informasi, atau menafsirkan berbeda. Seolah-olah salat berjamaah di masjid dilarang. Seolah-olah perilaku ibadah dan kesalehan bukan bagian dari upaya membetengi diri dari aneka penyakit, termasuk penyebaran virus Corona.

Itu sebabnya MUI Jatim perlu meluruskan, dan kembali memberi keterangan. Imbauan itu khusus untuk yang merasa diri memiliki tanda-tanda telah tertular. Juga untuk mereka yang tinggal di kawasan yang sebagian warga telah dinyatakan suspect, atau bahkan positif, tertular virus yang menyebar sangat cepat dan mematikan itu.

Tiap hari kabar pertambahan jumlah penderita di seluruh dunia diberitakan media. Bersamaan dengan itu disebutkan jumlah kematian. juga jumlah pasien yang dinyatakan sembuh.

Maka ada pula yang menganjurkan agar yang sehat tetap harus salat Jumat berjamaah di masjid karena virus Corona bukan berarti vonis mati, toh ada yang sembuh juga.

*

Tanda-tanda flu dan batuk tidak sembuh-sembuh, demam tinggi, serta berbagai tanda lain yang menandai seseorang telah tertular virus Corona memang tidak sulit dilihat secara kasat mata orang orang lain, dan dirasakan oleh diri sendiri. Namun ternyata ada orang yang menjadi pembawa virus itu, disebut carrier virus.

Ia tidak punya tanda-tanda tertular, tetapi ada virus di tubuhnya dan berpeluang untuk menularkannya kepada orang lain. Nah, hal ini yang mengharuskan tiap orang makin waspada.

Dengan kata lain, daripada tertular memang lebih baik menghindar sejauh-jauhnya. Hindari kerumunan, hindari bersentuhan, hindari berdekatan dengan orang lain, yang kemungkinan telah tertular, atau menjadi carrier virus tersebut.

Seorang ahli epidemiologi di University of Texas Lauren Ancel Meyers mengatakan, pasien mungkin terinfeksi tanpa menunjukkan gejala selama 5 hari atau lebih.

Tegasnya begini, daripada menyesal setelah tertular maka tindakan kehati-hatian tingkat tinggi harus dilakukan. Hindari kerumunan, termasuk salat berjamaah di masjid.

*

Kalaupun hati merasa kurang afdol meninggalkan salat wajib dan salat Jumat berjamaah di masjid, maka lakukan dengan sangat lebih hati-hati dan waspada. Persingkat waktu di dalam kerumunan. Itu berarti salat (sunnah) rawatib lebih baik di rumah. Salat wajibnya saja di masjid.

Tindakan prefentif lainnya yaitu wudhu dan cuci tangan pakai sabun, kenakan masker dari rumah, membawa sajadah atau mukena sendiri, tidak bersalaman dengan siapapun, persingkat doa dan zikir, serta waspadai orang di sekeliling, yang batuk, flu, atau tampak sakit.

Jika ada jamaah yang terindikasi demikian, usahakan hindari dan pilih tempat lain, karena tidak mungkin berprasangka buruk, dan apalagi mengusir orang lain.

Dari pihak masjid sendiri, mesti mempersingkat khotbah maupun bacaan salat. Tak perlu berlama-lama, asalkan syarat dan rukunnya sudah terpenuhi tanpa meninggalkan kekhusyukan. Doa bersama bisa dilakukan juga agar negeri ini segera dijauhkan dari segala marabahaya, termasuk wabah penyakit akibat virus Corona.

*

Khusus mengenai isi khotbah, kiranya para khotib perlu menambahkan materi khotbah dengan penjelasan dan sosialisasi mengenai bahaya dan penularan virus corona supaya masyarakat juga paham.

Mencermati imbauan pemerintah dalam menangani kasus penyebaran virus corona, selain para pejabat publik kiranya para khotib pun perlu mengikuti protokol komunikasi publik.

Di sana disebutkan, kepercayaan publik perlu dibangun dan dijaga agar tidak terjadi kepanikan sehingga penanganan berlangsung lancar.

Tujuannya, menciptakan masyarakat yang tenang dan paham apa yang mereka harus lakukan bagi lingkungan terdekatnya. Selain itu, pejabat publik harus membangun persepsi masyarakat bahwa negara hadir dan tanggap dalam mengendalikan situasi.

*

Selain menyediakan sabun cair untuk cuci tangan, kiranya masjid pun perlu memiliki alat pendeteksi suhu tubuh (thermal scanner), agar setiap jamaah terlacak kondisi kesehatan mereka.

Kembali pada persoalan salat Jumat berjamaah di masjid, semua tergantung pada penilaian dan kesadaran tiap individu. Tergantung keputusan kita masing-masing. Intinya sebisa mungkin harus berupaya menekan kemungkinan terburuk.

Khusus untuk para pengurus dan pengelola masjid (termasuk imam dan khotib) yang melayani jamaah, selalu terbuka kemungkinan untuk tertular. Mereka harus tegas dalam bersikap (meski dengan pendekatan lemah lembut) terhadap orang-orang yang kemungkinan sudah tertular.

Masjid pun tidak mungkin ditutup semata karena pengurus takut tertular. Jadi, pengurus dan pengelola masjid pun merupakan pejuang yang perannya tak kalah penting dibandingkan dengan berbagai profesi lain.

Warga masyarakat yang patuh mengikuti imbauan pemerintah, MUI, pengurus masjid, dan berbagai pihak terkait dengan upaya menanggulangi penyebaran virus Corona dan tidak malah menyebarkannya, juga merupakan pejuang. Semua perlu mendapatkan apresiasi.

*

Terakhir, mengenai salat Jumat berjamaah di masjid tidak perlu dipolitisasi, dibesar-besarkan, dan dijadikan agenda tersembunyi. Negara dan bangsa sedang dalam kesulitan. Jangan memancing di air keruh.

Terima kasih telah menyimak hingga akhir. Mohon maaf kurang-kurangnya. Wassalam. *** Sekemirung, 19 Maret 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun