"Ya aku tahu, Kek. Ayah dan ibu sering bercerita soal itu. Lalu kakek mengajakku bercanda, mengejek. Sambil tertawa-tawa sendiri. Padahal waktu itu aku belum bisa bicara, dan belum tahu bahasa. . . . .!" ucap Tio sambil berjalan menaiki undakan dan menahan beban di punggungnya.
"Ya ya, benar itu. Tapi jangan kau balas dengan mentertawakan kakek sekarang, ya?. Itu sangat tidak sopan. . . . .!" ucap Kakek Rus wanti-wanti.
"Oke. Tidak ada pembalasan, yangpersis sama. . . . !"
Dan. . . . entah kebetulan atau memang sengaja, setelah melewati undakan terakhir sebelum memasuki ruang wisuda tiba-tiba kaki kanan Tio tersandung.
Karuan saja Tio terhuyung-huyung, berjalan limbung. Sementara Kakek Rus meronta-ronta minta turun. Tapi terlambat, Tio tersungkur. Cucu ditindih kakek. Tidak sakit memang, tapi wajah si kakek pucat, memperlihatkan ekspresi malu.
Undangan dan calon wisudawan lain spontan tertawa riuh. Tio juga tertawa lepas.
Bersamaan dengan itu beberapa kamera ponsel dengan lampu blitz menyilaukan mengabadikan peristiwa itu. Sebuah kejadian lucu yang kelak dicetak menjdi foto dalam ukuran besar oleh Tio, kemudian dipajang berjejer dengan foto-foto wisudanya.
Meski coba bertahan tidak ikut tertawa, Marlita dan Grego Jalidin pun tergelak-gelak geli. Mereka tahu, itu hanya ulah Tio saja untuk mencandai kakeknya.
Kakek Rus merasa dikerjain. Namun, ia tidak berkeberatan. Ia pun ikut tertawa meski pipi peot, tatapan suram, dan ekspresi tertawa memprihatinkan.
Maka itulah salah satu bentuk pembalasan sang cucu pada kakeknya. Semua candaan Kakek Rus sudah didengarnya lengkap dari kedua orangtuanya. Dan pembalasan itu menjadi hal yang sah-sah saja.
Tio masih punya beberapa rencana lain untuk membuat kakeknya tertawa lepas. Selain itu juga harus ikhlas mengaku kalah lucu dibandingkan si cucu. Tapi lain kali saja eksekusinya.Â