Mohon tunggu...
Sugiyanto Hadi Prayitno
Sugiyanto Hadi Prayitno Mohon Tunggu... Penulis - Lahir di Ampel, Boyolali, Jateng. Sarjana Publisistik UGM, lulus 1982. Pensiunan Pegawai TVRi tahun 2013.

Pensiunan PNS, penulis fiksi. Menulis untuk merawat ingatan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Berkawan Banjir (3)

31 Januari 2020   17:24 Diperbarui: 31 Januari 2020   17:26 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
aliran air hujan di teritisan | milkwood.co.za

Cerita sebelumnya: Banjir memang bukan kawan yang baik. Maka kami memutuskan untuk pergi, dan mencari kawan lain yang berbeda sama sekali. Tanpa bajir lagi. Lima belas tahun kemudian, siang ini. . .

*

Tiga tahun setelah bersabar dan berkawan dengan banjir yang terus menggenangi rumah, isteriku berinisiatif minta pindah tugas. Ke mana saja di tempatkan, di pelosok negeri, diterima saja asalkan diberi rumah dinas.

Sementara itu tiga anak kami memilih tinggal di rumah lama. Mereka bertahan di sana. Hidup mandiri untuk bersekolah, lalu kuliah, dan setelah lulus mendapatkan pekerja sesuai keahlian masing-masing. Si sulung dan tengah pindah keluar kota, dan punya rumah meski kecil-kecilan. Tinggal si bungsu menjaga rumah.  Ia tabah meneruskan keterpaksaan yang tidak bisa kami lakukan.

Setiap liburan mereka datang. Mereka senang mendapati suasana baru. Tetapi mereka tidak pernahpunya keinginan untuk menetap.

*

Dan beginilah kehidupan kami sekarang. Kami ditempatkan di suatu kawasan di Timur yang berlimpah matahari, kering hampir sepanjang tahun, dengan pemandangan luas dan indah sepanjang hari. Semua serba menyenangkan, kecuali kala menunggu hujan.

"Bagaimana kalau hujan tidak jadi turun, Bang?"

"Berarti mereka ingkar janji. . . !"

"Lho, memang janji dengan siapa?"

"Dengan penduduk bumi. Mereka sudah memberi harapan, memberi angin surga. Tapi ingkar. Tidak menepati janji. Tentu mereka berdosa sekali. . . . . !"

"Oh, begitu ya?"

"Memang begitu. Aku yakin betul."

"Jadi, harus diberi peringatan. Kalau perlu diancam agar tidak jatuh ke lembah dosa?"

"Dengan berdoa. Tidak ada pilihan lain kecuali berdoa dengan khusuk, ikhlas, dan penuh pengharapan. Kita pernah salah berharap, salah menilai keadaan. Sebab ternyata di manapun alam ini berkuasa, hukum alam tidak mungkin diubah. Itu sunatullah. Bahkan apapun di dunia ini adalah mahluk yang mengikuti ketentuan Allah, tidak bisa lain. . . .!"

Isteriku terdiam, dan aku pun tak melanjutkan kata-kata yang mungkin saja bernada kesal, jengkel, dan marah. Tapi tidak, aku  menahan diri untuk tidak berprasangka buruk kepada apapun.

"Minumlah kopimu, Bang. Sudah dingin. . . .!" ucap isteriku setelah beberapa menit terdiam. "Makanlah biskuitnya. Menungglah dengan perasaan senang dan tanpa khawatir. Itu lebih baik. . . .!"

Aku mengangguk, dan menyeruput kopi dengan sangat nikmat. Aku menahan diri untuk tidak bertanya: air hujankah yang kuminum ini? Rasanya beda. Jangankan untuk minum air teh dan air jahe, untuk air kopi pun terasa beda sekali. Lidah serasa bergetar,

"Enak sekali kopimu, Bu. . . .!" kataku memuji, lalu duduk di kursi kayu di teras.

"Semanis pembuatnya ya, Bang?" jawabnya sambil tersenyum. Kerut-kerut di wajahnya makin dalam dan banyak, dank ami sadar usia telah meambat jelang senja.

Menunggu, dan menunggu. Terasa lama. Lalu gerimis turun sangat pelan, lirih seperti tak hendak diketahui datangnya. Lama kelamaan makin rapat, deras, makin lebat, dan . . . . .!

"Banjir, Bang. Banjir. Selamatkan barang-barang milik kita . . . .!" teriak isteriku lantang seraya berlari ke sana-sini..

Aku pun terjaga dari terlelap sesaat. Sampai tidak tahu isteriku mengigau, terbangun dari mimpi, atau apa. Ia tertawa-tawa dengan begitu girangnya, menirukan kebiasaannya di rumah lama dulu.

"Banjir, Bang.. . . . .hahahah!" kata isteriku dengan nada bercanda. Menunggu air hujan membuat kami gila.

Aku cepat-cepat berlari ke arah talang rumah. Wadah air di sana kudekatkan di bawah pancuran. Kalau air mengucur akan mudah menampungnya dengan wadah satu per satu. Diisi penuh, ditutup, dan disimpan sebagai cadangan air untuk kebutuhan sehari-hari. Kalau hujan cukup lama turun, kami bakal punya cadangan air dua-tiga hari, sampai satu minggu.

Kalau hari ini ada yang iseng bertanya, siapa kawan akrabku sekarang? Kujawab, talang air. Kalau ada lagi yang bertanya, rindukah kembali ke rumah lama untuk berkawan lagi dengan banjir? Sulit menjawabnya.

"Kami sering iri pada mereka yang kebanjiran. Kadang membayangkan betapa menyenangkan dilanda air yang baik dan berlimpah. Sesuatu yang tak kami dapati lagi di sini. Ada rasa rindu juga sebenarnya, tapi. . . . . !" tulisku pada sebuah buku harian aneka nasihat kepada diri sendiri.

Kembali pada pertanyaan, rindukah kembali ke rumah lama, sebaiknya kujawab: tidak. Tidak. Biarlah itu menjadi masa lalu saja. *** (Habis)

Sekemirung, 20 Maret 2019  - 31 Januari 2020

Gambar

Tulisan sebelumnya: cerpen-berkawan-banjir    -       cerpen-berkawan-banjir-2

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun