Mohon tunggu...
Sugiyanta Pancasari
Sugiyanta Pancasari Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

"Cerita dan Catatan" Yang tak boleh menua, dilumat usia

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Ada Apa Dengan Kita?

27 Februari 2021   22:03 Diperbarui: 27 Februari 2021   22:31 178
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

ingin rasanya hati ini menangis
dalam gemeretak rahang
menahan gejolak 'tuk memberontak

di tanah tumpah darah
bumi tempat kita terlahir
di sana pula saudara kita terusir
oleh sebab gelapnya hati
dan dangkalnya berpikir
lebih tersayat lagi, dada sesak tak terperi
jasad yang tak bernyawa lagi
harus tertolak pulang kembali
ke tempat asal-muasal, tanah merah, awal manusia dicipta
tragedi yang tak terbayangkan sebelumnya

ada apa dengan kita?
ada apa dengan sikap kebangsaan kita?
apa yang sesungguhnya sedang terjadi, dengan masyarakat kita?

kita hidup di sebuah negara
tapi serasa bukan hidup di sebuah negara
kita hidup dengan kebaragaman sebagai pondasinya
tapi yang berkuasa bebas memaksakan kehendaknya

kita hidup dengan moral dan adab sebagai jati diri dan kepribadian sebagai landasan pijaknya
namun harga diri bagai tak ada arti, hanya sebatas aksesori
kita hidup dengan agama sebagai ruu-nya, tapi perilaku kita sungguh sesat dan biadap

kita berteriak lantang, bahwa negara kita negara hukum
tapi di mana keadilan bertakhta?
kita mengaku ahli waris dari nenek moyang dengan tebggang rasa, tepa selira, budi luhur dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, sebagai tali "suh" yang merangkum dan merekat kebhinekaan dan keragaman,
tapi tiap hari kita tega bertindak dan berbuat semena-mena terhadap saudara kita yang tak sepuluhan dan berbeda aliran

kita seperti kehilangan rasa hormat
sebagai bangsa yang bermartabat
kita sungguh bangga mendewakan identitas primordial kita, sementara darah dan jiwa nasionalisme kita, hilang, entah kemana

bila wabah dan bencana menjadi penyebabnya, alangkah naif dan piciknya
jika wabah dan bencana kita jadikan alasan demi kepentingan diri kita sendiri, alangkah tragisnya

kita tidak sedang sekadar kehilangan empati
tapi kita sedang menggali kubur kematian hati nurani

kita telanjur takut eksistensi kita memudar, popularitas kita meredup, ambisi kita gagal, citra kita ambyar dimata publik, hal yang sepertinya selalu kita kejar, bahkan dengan menghalalkan segala cara, apapun itu demi kejayaan dan keberlanjutan kita punya kuasa

kita juga sedang menyembunyikan watak asli kita, yang lebih berkarakter durjana, di balik bencana, yang penuh cerita dan realitas pilu, cinta yang terenggut, kebahagiaan yang luput, dan hati yang hancur tak terajut, luka terdalam, sayat terperih, juga air mata yang tak lagi bermuara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun