Mohon tunggu...
Sugiarto Sumas
Sugiarto Sumas Mohon Tunggu... Guru - Widyaiswara Ahli Utama

Sebagai widyaiswara di Kementerian Ketenagakerjaan bertugas untuk menjadi fasilitator / pembimbingan peningkatan kompetensi pegawai negeri sipil di lingkungan Kementerian Ketenagakerjaan. Menulis artikel ilmiah dan artikel populer adalah salah satu hobby sekaligus kewajiban sebagai tenaga pendidik

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Menelisik Demonstrasi Buruh Setiap Akhir Tahun dan Keberadaan Mediator Hubungan Industrial

1 Desember 2022   13:00 Diperbarui: 2 Desember 2022   06:51 526
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Buruh melakukan aksi unjuk rasa di Depan Kantor Gubernur Banten, Kota Serang pada Selasa (30/11/2021). (KOMPAS.com/RASYID RIDHO)

JAKARTA. Mulai hari ini sampai 7 Desember 2022 diberitakan akan ada demonstrasi serikat buruh di Jakarta dan beberapa kota lainnya menolak kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) yang hanya sebesar 5,6%.

Demonstrasi serikat buruh terhadap upah minimum seperti ini, tidak hanya berlangsung tahun ini saja, tetapi berlangsung setiap tahun, dan biasanya menjelang penetapan UMP oleh Gubernur masing-masing yang akan diberlakukan mulai 1 Januari tahun depannya.

Seharusnya tidak perlu ada demonstrasi seperti ini apabila hubungan industrial sudah berlangsung harmonis. Setiap konflik kepentingan antara buruh dan pengusaha dapat diselesaikan melalui lembaga bipartit (buruh dan pengusaha) atau lembaga tripartit (buruh, pengusaha dan pemerintah).

Konflik antara buruh dengan pengusaha pada dasarnya tidak dapat dihindari, karena adanya perbedaan kepentingan yang dapat muncul tiba-tiba dan setiap waktu.

Konflik kepentingan tersebut antara lain menyangkut upah, produktivitas, kesehatan dan keselamatan kerja, serta jaminan sosial tenaga kerja.

Upah

Upah terbentuk oleh adanya pasar kerja, yakni bertemunya penawaran dan permintaan tenaga kerja.

Pengusaha adalah pihak yang memerlukan tenaga kerja, sementara buruh adalah pihak yang menawarkan tenaga kerja.

Ketika terjadi banyak permintaan dan banyak penawaran tenaga kerja, maka upah yang terbentuk adalah upah yang paling ideal, yang akan memuaskan kedua belah pihak.

Ilustrasi Demonstrasi Buruh Untuk Kenaikan Upah, sumber: Antaranews.com
Ilustrasi Demonstrasi Buruh Untuk Kenaikan Upah, sumber: Antaranews.com

Upah ideal seperti ini, hanya akan terjadi apabila industri sedang tumbuh tinggi dan perpindahan tenaga kerja dari satu sektor ke sektor lain dapat dengan mudah.

Dalam kenyataannya, kondisi ideal seperti ini hanya di atas kertas saja, terutama karena sekalipun industri tumbuh secara agregat, tetapi ada saja industri yang tidak tumbuh bahkan mati secara parsial, yang berdampak pada munculnya permasalahan hubungan industrial secara parsial juga, yang harus dicarikan solusinya.

Penyelesaian bipartit tentunya merupakan upaya terbaik, namun sering kali mengalami kendala karena buruh tidak mudah berhenti untuk mencari pekerjaan baru di sektor lain disebabkan adanya berbagai keterbatasan, terutama menyangkut keahlian dan keterampilan serta kendala usia.

Karena penyelesaian bipartit menemui jalan buntu, maka ada langkah berikutnya yaitu melalui mekanisme tripartit melibatkan buruh, pengusaha, dan pemerintah. Dalam hal ini, pemerintah diwakili Mediator Hubungan Industrial, atau melalui mekanisme lainnya sesuai peraturan per undang-undangan yang berlaku.

Termasuk di antaranya penyelesaian melalui demonstrasi dan mogok kerja sebagai upaya menarik perhatian pengusaha dan pemerintah.

Produktivitas

Produktivitas merupakan kunci utama bagi industri yang ingin bertahan hidup di tengah-tengah gelombang globalisasi yang penuh persaingan.

Rumus produktivitas adalah rasio antara nilai tambah output dengan biaya input yang dikeluarkan dalam proses produksi.

Sehingga, produktivitas tenaga kerja adalah rasio antara nilai tambah dengan upah rata-rata tenaga kerja.

Hal ini berdampak pada perilaku pengusaha yang menghendaki produktivitas tenaga kerja yang semakin meningkat dengan upah seminimum mungkin. Kondisi ini seolah-olah memandang tenaga kerja hanya sebagai faktor produksi semata.

Sebaliknya, buruh tentu tidak ingin hanya didudukkan sebagai faktor produksi saja, sehingga sering kali lalai untuk meningkatkan produktivitasnya dan tidak mau tahu tentang struktur biaya perusahaan, yang penting upah yang diterimanya adalah upah hidup layak, bukan upah minimum.

Ketika perusahaan perlu melakukan efisiensi biaya produksi secara keseluruhan, buruh selalu menuduh adanya biaya yang tinggi di luar upah yang perlu dilakukan efisiensi terlebih dahulu daripada melakukan efisiensi upah, seperti mendahulukan efisiensi ongkos angkutan, mencegah pungutan liar, dan lain-lain.

Pada titik ini, potensi konflik terjadi, yakni: ketika pengusaha mengelola usahanya dengan mengedepankan prinsip efisiensi, efektivitas, dan produktivitas. Sementara buruh tidak mau menjadi korban dari adanya 3 prinsip di atas melalui upah yang tidak layak. 

Efisiensi dan Efektivitas

Efisiensi cocok diterapkan bagi perusahaan embiro/baru. Efisiensi didapatkan ketika biaya input semakin rendah untuk menghasilkan output tertentu yang sudah ditentukan.

Demi efisiensi ini, maka biaya tenaga kerja merupakan variabel yang paling mudah diutak-atik oleh pengusaha, sehingga rawan dijadikan sumber efisiensi perusahaan.

Dengan dalih sebagai perusahaan embrio itu pula, yang dijadikan alasan agar buruhnya bersabar dan menerima besaran upah sesuai atau bahkan di bawah Upah Minimum Provinsi.

Efektivitas cocok diterapkan bagi perusahaan yang sudah berkembang. Efektivitas didapatkan ketika output tercapai dalam waktu lebih singkat, namun dengan biaya input yang sama, sehingga upah yang diterima buruh juga relatif sama.

Efektivitas inilah tentunya yang menjadi jembatan buruh dan pengusaha untuk mencapai produktivitas perusahaan.

Produktivitas didapatkan apabila perusahaan mampu menghasilkan produk yang lebih banyak, dalam waktu yang lebih singkat, dan dengan biaya yang lebih rendah, namun dengan upah tenaga kerja yang tetap layak. 

Keselamatan dan Kesehatan Kerja, dan Jamsostek

Keselamatan dan Kesehatan kerja (K3) merupakan salah satu kondisi yang diperlukan perusahaan agar mampu berproduksi dengan produktivitas yang tinggi.

Keperluan ini merupakan kebutuhan jangka pendek, yakni kebutuhan ketika proses produksi sedang berlangsung.

Sementara kebutuhan buruh dalam jangka panjang adalah jaminan sosial tenaga kerja (Jamsostek), seperti jaminan kecelakaan kerja (JKK), jaminan pemeliharaan kesehatan (JPK), jaminan kematian (JKM), jaminan hari tua (JHT), Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP), dan jaminan pensiun (JP).

Timbul pertanyaan siapa yang bertanggung jawab dalam menciptakan kesehatan dan keselamatan kerja (K3) serta terselenggaranya jaminan sosial tenaga kerja tersebut?

Walaupun pemerintah telah membuat peraturan per undang-undangan menyangkut hubungan industrial, tetapi sering kali terjadi kelalaian atau moral hazard kedua belah pihak dalam tataran pelaksanaannya.

Mengantisipasi hal itu, menjadi sangat penting keberadaan Mediator Hubungan Industrial sebagai ujung tombak pemerintah untuk mencegah kelalaian dan moral hazard demi terciptanya hubungan industrial yang harmonis..

Pelaksanaan tugas di atas bersifat preemtif hingga preventif, untuk mencegah terjadinya pengabaian terhadap ketentuan-ketentuan hubungan industrial sesuai dengan peraturan per undang-undangan yang berlaku.

Secara faktual tugas ini belum sepenuhnya dapat dilaksanakan oleh Mediator Hubungan Industrial, karena tersita oleh tugasnya yang bersifat kuratif, yakni untuk menyelesaikan konflik hubungan industrial, yang sudah terlanjur ada seperti adanya demonstrasi buruh atau ancaman pengusaha untuk locked out karena tidak tahan terhadap gelombang tuntutan buruh.

Penyebab utama dari kasus di atas, yakni Mediator Hubungan Industrial kurang menjamah tugas preemtif dan preventif di satu sisi, dan lebih fokus pada tugas kuratif di sisi lain, tentunya ada hubungannya dengan terbatasnya jumlah Mediator Hubungan Industrial.

Menurut Kementerian Ketenagakerjaan diperlukan Mediator Hubungan Industrial sebanyak 3.145 orang untuk melayani perusahaan terdaftar sebanyak 301.883 perusahaan.

Sementara Mediator Hubungan Industrial yang ada sebanyak 635 orang, sehingga masih perlu tambahan sebanyak 2.597 orang (Sumber: Buku Saku Data Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Tahun 2022).

Terlalu jauhnya perbedaannya antara kebutuhan dengan ketersediaan Mediator Hubungan Industrial, baik kuantitas maupun kualitasnya, tentunya menjadi penyebab mengapa konflik hubungan industrial sering terjadi, dan demonstrasi buruh tentang upah minimum selalu terjadi setiap akhir tahun. (S.Sumas / sugiarto@sumas.biz).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun