Kemudian ada, Jawa Timur dengan puncaknya tahun 2020 sebesar 0,436 dan Jawa Tengah dengan puncaknya tahun 2020 sebesar 0,477, Sulawesi Utara dengan puncaknya tahun 2020 sebesar 0,464, dan Gorontalo dengan puncaknya tahun 2020 sebesar 0,475, serta Bali dengan puncaknya tahun 2025 sebesar 0,422.
Provinsi yang mengalami puncak bonus demografi bersamaan waktunya dengan nasional pada tahun 2030 adalah Papua sebesar 0,416, Kalimantan Timur sebesar 0,431, Bengkulu sebesar 0,443, Kalimantan Selatan sebesar 0,447, Jawa Barat sebesar 0,462, Sulawesi Tengah sebesar 0,486, dan Sulawesi Selatan sebesar 0,495.
Sementara provinsi yang mengalami puncak bonus demografi belakangan masa waktunya dari nasional yakni pada tahun 2035 adalah Kepulauan Riau sebesar 0,379, Kalimantan Tengah sebesar 0,399, Banten sebesar 0,410, Jambi sebesar 0,427, Bangka-Belitung sebesar 0,431, Papua Barat sebesar 0,437, Sumatera Selatan sebesar 0,453, Lampung sebesar 0,453, Aceh sebesar 0,458, Riau sebesar 0,466, Kalimantan Barat sebesar 0,466, dan Nusa Tenggara Barat sebesar 0,481.
Menariknya, terdapat 7 provinsi yang tidak pernah mengalami masa bonus demografi hingga tahun 2035, yaitu Sumatera Utara, Sumatera Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, Maluku dan Maluku Utara.
Sebaliknya, terdapat 10 provinsi yang selalu mengalami masa bonus demografi sejak tahun 2010 hingga tahun 2035, yaitu: Riau, DKI Jakarta, Jawa Barat, D.I. Yogyakarta, Jawa Timur, Banten, Bali, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Utara.
Keadaan-keadaan ini, belum diketahui penyebab utamanya. Namun, diperkirakan kelompok 7 provinsi yang belum pernah mengalami masa bonus demografi disebabkan oleh budaya merantau, sedangkan untuk kelompok 10 provinsi yang selalu mengalami masa bonus demografi karena banyaknya pendatang dari provinsi lain untuk bekerja maupun mencari pekerjaan.
Sebenarnya tidak terlalu persoalan adanya perbedaan masa bonus demografi antar provinsi sebagaimana tersebut di atas, sebab bonus demografi hanya stimulus yang bersifat netral. Tetapi menjadi persoalan besar apabila adanya perbedaan produktivitas tenaga kerja, sebab produktivitas tenaga kerja tidak hanya bersifat netral bila tidak ada perubahan, tetapi dapat bersifat positif apabila berubah naik atau bahkan dapat negatif apabila berubah turun.
Mengantisipasi persoalan besar sebagaimana disebutkan di atas, maka setiap provinsi harus menyadari betul, bahwa ketika mengalami masa bonus demografi mutlak disertai dengan peningkatan produktivitas tenaga kerja. Jika tidak, maka sudah dapat dipastikan bukannya madu (the window of opportunity) yang didapatkan, malahan racun (the door of disaster) yang datang menghampiri.
Menyadari betapa pentingnya peningkatan produktivitas tenaga kerja untuk mengisi masa waktu bonus demografi setiap provinsi, maka demi efektivitasnya harus dilakukan melalui Gerakan Nasional Peningkatan Produktivitas Tenaga Kerja Indonesia, yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan pusat dan daerah, serta seluruh sektor perekonomian, di bawah koordinasi Kementerian Ketenagakerjaan RI. Hanya upaya ini yang menjamin Ibu Pertiwi mendapatkan madu bonus demografi.
Semoga.
(S.Sumas / sugiarto@sumas.biz. 25072016)