Mohon tunggu...
Ahmad Sugeng Riady
Ahmad Sugeng Riady Mohon Tunggu... Penulis - Warga menengah ke bawah

Masyarakat biasa merangkap marbot masjid di pinggiran Kota Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Dua Teman dan Ngaji Filsafat di Yogyakarta

21 Agustus 2021   17:59 Diperbarui: 21 Agustus 2021   18:05 672
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
kompasiana.com/ziaulkausar

Tidak banyak akun di youtube yang saya ikuti. Hanya beberapa. Itu saja tidak jelas untuk menunjukkan kemana kecenderungan yang saya konsumsi. Minimal untuk update perkembangan berita yang terjadi. Saya malah kerap terlambat tahu dan paham. Maka wajar, jika tulisan-tulisan yang saya produksi seringkali tidak merespon kondisi yang tengah hangat dibahas di tengah-tengah masyarakat.

Hanya saja saya terbilang agak rutin mendengarkan akun youtube MJS Channel, khususnya ngaji filsafat yang diampu oleh Dr. Fahruddin Faiz, dosen filsafat di kampus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Meskipun definisi agak rutin itu adalah kondisi saya yang mendengarkan tapi kadang-kadang hanya separuh dari durasi dua jam ngaji. Itu saja saya banyak melewatkan ilmu tanpa ada catatan di laptop atau buku kecil.

Apakah saya menyesal? Iya, tapi saya juga menyadari bahwa mungkin ilmu saya belum sampai untuk menjangkau ke level yang lebih tinggi. Maka pelan-pelan, pikir saya.

Tapi ada juga beberapa ngaji yang berhasil saya ramu dan menjadi sebuah tulisan. Bagi saya itu menjadi pencapaian dan kepuasan tersendiri. Apalagi ketika saya unggah kemudian mendapatkan pembaca seadanya, bukan sebanyak-banyaknya.

Berangkat dari ketidaksengajaan menulis catatan ala kadarnya dari hasil mendengarkan ngaji filsafat di youtube tersebut, saya kerap menjadi alamat bertanya oleh teman-teman saya yang memang awam soal filsafat. Padahal beberapa kali saya sudah merekomendasikan agar langsung menontonnya di youtube. "Lah, sepahammu ajalah. Wong kamu yang nulis, ya minimal bertanggungjawab menjelaskan kalau ada yang tanya", ujar temen saya.

Persis seperti sore ini tadi. Dua orang teman saya datang dari Kabupaten Trenggalek. Kabupaten yang terletak di pesisir selatan Provinsi Jawa Timur dengan kondisi alam yang masih asri dan alami. Saya mesti melewatinya saat pulang kampung dengan jalan berkelak-kelok, naik-turun gunung.

Dua orang teman saya itu, yang satu bernama Aji dan satunya lagi Shodiq. Dua nama bagus namun beda tafsir dengan kebudayaan berbeda. "Aji" konon berarkar dari bahasa Jawa yang kemudian berubah menjadi kata "ngaji", sedangkan "shodiq" setahu saya akarnya dari bahasa Arab yang berarti jujur.

"Aku egak paham apa itu filsafat. Aku baru tahu juga belakangan ini lho, dari potongan ngaji-ngaji filsafatnya Pak Faiz", kata Shodiq membuka obrolan. Wajar saja ia kesulitan mengartikan filsafat, karena ia bukan datang dari keluarga atau pernah mengenyam pendidikan di perguruan tinggi. "Apa menurutmu?", sambil menatap lurus wajah saya.

Belum sempat saya menemukan jawaban yang pas, Shodiq sudah keburu melempar pertanyaan yang berkaitan dengan itu. Hanya saja sifatnya lebih teknis dan historis. Dan pertanyaan itu didasarkan pada durasi hidup saya yang lebih lama ketimbang mereka. "Kenapa ya kok namanya ngaji filsafat? Kayak aneh gitu", tanyanya.

Memang dulu saya sempat bertanya dan membaca beberapa laporan penelitian yang fokus mengkaji ngaji filsafat di Yogyakarta tersebut. Saya menjawab berdasarkan itu. Bahwa penamaan ngaji filsafat itu dipilih karena pengurusnya pada masa itu memiliki orientasi untuk menggelar kajian yang berbeda dari masjid-masjid lainnya. "Dulu sewaktu saya pertama datang ke Yogya dan ikut ngaji filsafat, yang datang paling banter hanya 50-an orang. Tapi kalau sekarang mungkin lebih dari 400-an orang".

Lantas untuk pertanyaan pertama saya hanya memberi contoh bagaimana filsafat itu diterapkan. Seperti aktivitas berpikir yang tanpa disadari  sebenarnya telah masuk dalam ranah filsafat. Kedua teman saya manggut-manggut.

Tapi berkat dua pertanyaan itu saya menjadi sadar bahwa posisi saya masih terlalu awam untuk menjelaskan suatu perkara pada orang lain. Padahal apa yang saya jelaskan pernah saya lakukan, alami, dan amati. Namun tetap saja gagap dan sedikit memberi titik terang. Mungkin saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun