Mohon tunggu...
Ahmad Sugeng Riady
Ahmad Sugeng Riady Mohon Tunggu... Penulis - Warga menengah ke bawah

Masyarakat biasa merangkap marbot masjid di pinggiran Kota Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Riwayat Saya dan Sepak Bola

20 Agustus 2021   10:29 Diperbarui: 20 Agustus 2021   10:36 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://bola.okezone.com/read/2021/01/06/51/2340012/5-strategi-sepakbola-dan-penjelasan-lengkapnya

Adapun kami hanya latihan usai jam sekolah rampung dengan bola plastik hasil iuran. Itu saja kami bermain tidak ditemani guru olahraga, tidak ada fasilitas untuk minum, apalagi bersepatu bola. Kami bermain dengan kaki telanjang. Kami hanya tahu bagaimana cara melewati lawan, mengoper, menendang keras, mencetak gol, dan selebrasi gol dari hasil menonton bola di layar televisi.

Tapi mungkin karena latihan seperti itu, kami jadi terlatih untuk tidak berpangku tangan pada keputusan guru olahraga kami. Kami segera bisa mengambil tindakan agar gawang kami tidak kebobolan, saat menyerang, dan kapan momen mencetak goal. Itu kami lakukan tanpa ada teriakan dari guru olahraga kami yang memang suaranya sudah tidak nyaring, karena sudah sepuh.

Tiga pertandingan sulit akhirnya kami lewati dengan kemenangan tipis. Masing-masing menang satu kosong. Kemenangan itu kami peroleh tidak hanya dengan bertahan semata, sebab setelah pertandingan, statistiknya dipajang di papan, dan tim kami selalu unggul dalam membuat peluang. Meskipun penguasaan bola selalu terpaut enam sampai sepuluh persen.

Setelah sampai di sekolah, teman-teman yang tidak turut menyaksikan pertandingan kami ternyata turut bangga dengan capaian kami yang berhasil menembus babak final. Beberapa teman laki-laki ada yang rela memijat kaki kami, termasuk kaki saya. Saya sehari itu berubah menjadi manja dan kayak raja, baik di rumah dan di sekolah.

Tiba pertandingan final, kami merasa gugup. Sebab semua sekolah dasar yang kalah lebih dulu diundang untuk menyaksikan. Tidak hanya itu, beberapa kepala sekolah, termasuk kepala sekolah yang sekolahnya masuk final, semua guru olahraga, dan tentu saja semua siswa di sekolah yang masuk final turut diundang untuk menyaksikan. Ditambah lagi dengan piala yang telah dijejer rapi di bangku berbalut taplak sederhana berwarna merah.

Tapi naas, tim kami kalah dengan skor ketat 4-3. Tapi anehnya, kebanyakan yang hadir justru memberi selamat pada kami. Mengalamatkan  kata selamat yang salah tempat, pikir saya.

Dua hari usai kompetisi itu, sekolah kami kedatangan guru olahraga baru yang masih muda. Konon saya mendengar ia didatangkan untuk melatih sepak bola di sekolah dasar kami agar ke depan dapat bersaing merebutkan gelar juara. Ia guru sukuan atau guru honorer.

Dan begitu riwayat saya menyukai sepak bola. Sekarang saya masih suka dan gemar bermain bola, tapi futsal, tidak lagi lapangan luas. Nafasnya sudah tidak terlalu mendukung karena jarang latihan berlari jarak jauh. Pun begitu, sepak bola dalam cita-cita sudah lama saya tinggalkan. Saya sekarang memainkan sepak bola hanya dalam waktu luang.

Sebab? Saya rasa teman-teman tahu sendiri sebab mendasarnya apa jika berbicara persepakbolaan di negeri ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun