Mohon tunggu...
Ahmad Sugeng Riady
Ahmad Sugeng Riady Mohon Tunggu... Penulis - Warga menengah ke bawah

Masyarakat biasa merangkap marbot masjid di pinggiran Kota Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Curhat Malas yang Salah Alamat

7 Agustus 2021   13:39 Diperbarui: 7 Agustus 2021   14:25 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setiap manusia memiliki perangai yang kadang sulit untuk dielakkan. Meskipun perangai itu tidak selalu muncul. Hanya saja kalau sekali muncul, segala laku yang telah terjadwal bisa jadi pontang-panting tidak karuan. Dan diantara sekian perangai manusia yang diemohi ialah malas.

Beberapa waktu lalu, teman saya tiba-tiba telefon. Ia berbicara panjang kali lebar soal tumpukan kerjaan yang tidak rampung-rampung. Kalau ia dikatakan mengeluh, memang iya. Tapi katanya, "Hari ini aku males banget. Laporan bulanan belum rampung, berita tentang olahraga sama tips dan trik belum juga tak unggah. Ah ribet. Enakan jadi kamu ya. Mau nulis terserah, tidak ya terserah".

Saat ia mengadu seperti itu, saya langsung terbayang dengan wajahnya yang tiap malam harus lelap paling awal jam satu dinihari. Kecuali memang pas hari libur atau ia minta libur, tidurnya bisa lebih awal lagi.

Hal itu wajar, mengingat ia berkecimpung dalam dunia jurnalis. Dua per tiga hidupnya dalam sehari dihabiskan di depan komputer dan gawai. Ia harus pandai melihat berita yang sedang trending, memantau perkembangan, dan seabrek hal-hal yang menurut saya sendiri cukup menjemukan.

Dulunya sebelum ia melamar di media itu (saya tidak perlu sebut merk, sebab medianya sudah kerap kita temui di internet), ia saya anggap sebagai salah satu penulis yang jenius. Meskipun kalau dalam hal membaca, saya mungkin memiliki porsi waktu yang lebih banyak dan panjang. Namun ia mampu menembus media-media berkelas hanya dalam tempo sekali kirim tulisan di usianya yang masih baru dua tahun di Yogyakarta. Dan ini jarang sekali ditemui di penulis lainnya.

Kembali ke soal keluhannya di atas.         

Mendengar itu, saya sendiri agak bingung memberinya komentar. Sebab saya sendiri masih kerap kali digerogoti perasaan malas yang mungkin malah berkepanjangan. Emoh membaca buku dan menulis, pakaian kotor yang seharusnya dicuci pekan ini ya saya tabung untuk diambil dan dibersihkan pekan berikutnya, montor kotor juga belum dicuci, dan lain-lain.

Beberapa saat usai mengingat tumpukan malas itu, saya ingat beberapa obrolan dengan orang lain yang sedikit banyak menyinggung soal malas ini. Tanpa basa-basi, usai ia cerita, saya tanya apakah saya perlu memberinya komentar, saran, atau masukan? "Tapi ini bukan dari saya, dari orang lain", tanya saya memastikan barangkali ia urung mendengarnya.

"Iya, tapi jangan panjang-panjang. Nanti kalau kepanjangan, takutnya malah ceramah", jawabnya dari kontrakannya di Jakarta dengan iringan tawa yang meledak.

Saya pun memberikan dua pilihan. Keduanya sama-sama beresiko tidak berhasil. "Hanya saja, yang satu lebih toleran terhadap perangai malasmu, dan satunya lagi tidak", ucapku memancing penasarannya. Ia masih diam dan sepertinya menyimak.

"Pertama, kamu boleh memberi porsi malasmu itu dan membuat perjanjian. Misalnya: Oke, sehari ini aku akan bermalas-malasan. Egak ngapa-ngapain. Pokok hanya tidur, rebahan, dan mainan gawai sepuasnya. Tapi hanya untuk hari ini saja. Besok harus kembali ke rutinitas semula."

"Sebab tubuhmu juga punya hak untuk malas, dan itu manusiawi. Kalau kerja terus, jam sekian harus unggah berita, jam sekian harus begini-begitu, ya bisa jadi kamu bosan. Pun begitu kalau malas-malasan terus -makan, tidur, rebahan- ya kamu tidak produktif," tambah saya.

"Oh gitu. Itu yang toleran, kalau yang tidak toleran?", selidiknya.

"Yang tidak toleran ya kamu hajar aja rasa malasmu. Banyak kok orang-orang yang sukses dengan menekan rasa malasnya. Mereka tidak memberi porsi malas yang berlebihan. Bukan berati meniadakan malas, tapi menekan sehingga porsinya jadi lebih kecil. Dan kalau diamati, yang membuatnya seperti itu biasanya karena ada target yang belum terpenuhi. Contohnya ya kalau pas ujian semester. Kamu tidak mungkin malas sebelum ujiannya rampung dan kamu dinyatakan naik kelas", kali ini ia memotongnya.

Dari kejauhan terdengar kata-kata samar, "Oke-oke sudah paham."

Setelah menyudahi telefon dengannya, pikiran saya melesat pada beberapa problem yang berkelindan dalam hidup manusia. Dan mungkin beberapa problem yang muncul di keseharian manusia itu, antara lain disebabkan oleh nasihat baik yang kurang atau malah tidak sama sekali diaplikasikan oleh si pembicaranya. Persis seperti saya di atas. Lha aku nek malas, ya iseh bingung kepiye ngatasine. Malah disambati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun