"Pertama, kamu boleh memberi porsi malasmu itu dan membuat perjanjian. Misalnya: Oke, sehari ini aku akan bermalas-malasan. Egak ngapa-ngapain. Pokok hanya tidur, rebahan, dan mainan gawai sepuasnya. Tapi hanya untuk hari ini saja. Besok harus kembali ke rutinitas semula."
"Sebab tubuhmu juga punya hak untuk malas, dan itu manusiawi. Kalau kerja terus, jam sekian harus unggah berita, jam sekian harus begini-begitu, ya bisa jadi kamu bosan. Pun begitu kalau malas-malasan terus -makan, tidur, rebahan- ya kamu tidak produktif," tambah saya.
"Oh gitu. Itu yang toleran, kalau yang tidak toleran?", selidiknya.
"Yang tidak toleran ya kamu hajar aja rasa malasmu. Banyak kok orang-orang yang sukses dengan menekan rasa malasnya. Mereka tidak memberi porsi malas yang berlebihan. Bukan berati meniadakan malas, tapi menekan sehingga porsinya jadi lebih kecil. Dan kalau diamati, yang membuatnya seperti itu biasanya karena ada target yang belum terpenuhi. Contohnya ya kalau pas ujian semester. Kamu tidak mungkin malas sebelum ujiannya rampung dan kamu dinyatakan naik kelas", kali ini ia memotongnya.
Dari kejauhan terdengar kata-kata samar, "Oke-oke sudah paham."
Setelah menyudahi telefon dengannya, pikiran saya melesat pada beberapa problem yang berkelindan dalam hidup manusia. Dan mungkin beberapa problem yang muncul di keseharian manusia itu, antara lain disebabkan oleh nasihat baik yang kurang atau malah tidak sama sekali diaplikasikan oleh si pembicaranya. Persis seperti saya di atas. Lha aku nek malas, ya iseh bingung kepiye ngatasine. Malah disambati.