Mohon tunggu...
Ahmad Sugeng Riady
Ahmad Sugeng Riady Mohon Tunggu... Penulis - Warga menengah ke bawah

Masyarakat biasa merangkap marbot masjid di pinggiran Kota Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sejarah Pusaka Tombak Kiai Upas

10 Agustus 2020   21:54 Diperbarui: 10 Agustus 2020   21:47 3127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sepeninggalan Ki Ageng Wonoboyo, tombak kiai upas diwariskan kepada anaknya, Ki Ageng Mangir. Konon Ki Ageng Mangir ini merupakan sosok yang memiliki kesaktian tinggi dan emoh tunduk pada kekuasaan Mataram Yogyakarta.

Hal ini sempat membuat geram penguasa Mataram Yogyakarta. Sebab kemenangan melawan Ki Ageng Mangir tidak berarti apa-apa selain pengakuan kedaulatan dan kekuasaan Mataram. Namun jika kalah, akan memicu munculnya pemberontakan-pemberontakan dari daerah lain.

Akhirnya penguasa Mataram Yogyakarta mengirim telik sandi yang berpura-pura mbarang jantur dan waranggono untuk menyelidiki kelemahan Ki Ageng Mangir. Ki Ageng Mangir pun masuk perangkap. Ia terpikat pada kecantikan salah seorang waranggono dan mempersuntingnya sebagai istri.

Setelah menjalani kehidupan rumah tangga bertahun-tahun, istrinya bercerita bahwa ia masih memiliki hubungan kekerabatan dengan penguasa Mataram. Maka sebagai sikap menghargai, mau tidak mau, Ki Ageng Mangir harus sungkem pada penguasa Mataram. Ki Ageng Mangir pun berangkat ke Mataram.

Sesampainya di Mataram, tombak kiai upas oleh Ki Ageng Mangir ditaruh di depan pintu gerbang. Ia masuk dengan istrinya untuk melakukan sungkem tanpa prasangka buruk apa pun. Ketika kepala Ki Ageng Mangir dipegang oleh mertuanya, Raja Mataram, kepalanya dibenturkan di tempat duduk raja yang terbuat dari batu pualam. Seketika itu juga Ki Ageng Mangir meninggal dunia.

Menurut cerita, batu pualam itu masih ada dan dikenal sebagai Watu Gateng. Adapun makam Ki Ageng Mangir sendiri berada di Kota Gede, dengan setengah badan berada di dalam cungkup makam, setengahnya lagi berada di luar. 

Tutur Lisan Kesaktian Pusaka Tombak Kiai Upas 

Ada banyak cerita yang dituturkan dari mulut ke mulut soal kesaktian pusaka tombak kiai upas. Diantaranya pada tahun 1895 Tulungagung pernah dilanda banjir besar. Air meluap sampai ke alun-alun dan pendopo. Saat itu, tombak kiai upas dibawa oleh Raden Pringgo Koesoemo yang menjabat sebagai wedono di Pare, Kediri. 

Namun setelah Raden Pringgo Koesoemo diangkat sebagai Bupati Ngrowo ke X (nama sebelum Tulungagung) oleh Belanda, ia kembali memerintah dengan membawa pusaka tombak kiai upas. Semenjak itu juga, banjir yang kerap terjadi tiap musim penghujan, menjadi jarang atau malah tidak ada sama sekali. 

Cerita lain datang saat pertempuran 10 November di Surabaya. Tombak kiai upas dibawa sebagai salah satu senjata untuk mengusir penjajah. Hanya saja, dalam membawa tombak kiai upas ini konon memiliki pantangan tidak boleh melintasi Sungai Brantas. Akhirnya pusaka ini dibawa dengan menyusuri pesisir Sungai Brantas yang dimulai dari arah Kalangbret ke utara, melewati Karangrejo, Jeli, Ngadi, Kediri, Mojokerto, dan terus ke utara sampai tiba di Surabaya. 

Kendati perlawanannya menuai keberhasilan, namun di Tulungagung sendiri justru terjadi banjir besar. Karena tombak kiai upas yang menjadi penangkal bala tidak berada di Tulungagung. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun