Mohon tunggu...
Ahmad Sugeng Riady
Ahmad Sugeng Riady Mohon Tunggu... Penulis - Warga menengah ke bawah

Masyarakat biasa merangkap marbot masjid di pinggiran Kota Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sejarah Pusaka Tombak Kiai Upas

10 Agustus 2020   21:54 Diperbarui: 10 Agustus 2020   21:47 3127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tiap kota memiliki pusaka yang dikeramatkan. Keberadaannya dijaga dan diolesi bau wewangian, bahkan diberi tempat khusus sebagai bentuk penghargaan tertinggi. Pada tanggal-tanggal tertentu, menurut hitungan baku, pusaka ini dikeluarkan untuk dijamasi (dibersihkan). Dan salah satu pusaka yang diperlakukan seperti itu adalah pusaka tombak kiai upas yang selalu dijamas tiap tanggal 10 Muharam.

Pusaka tombak kiai upas ini menjadi bagian penting bagi peradaban di Kabupaten Tulungagung. Tidak hanya dalam konteks sejarah, tapi juga politik, perjuangan melawan penjajah, dan lakon sosial.

Pusaka ini dibawa oleh Raden Mas Tumenggung Pringgodiningrat dari Mataram Yogyakarta. Ia sendiri merupakan cucu dari Hamengkubuwono II dari jalur Pangeran Notokoesoemo, menantu dari Hamengkubuwono II yang bertahta pada tahun 1792-1828. RMT Pringgodiningrat sendiri menjadi Bupati Ngrowo IV (nama sebelum Tulungagung) pada tahun 1824-1830.

Narasi Historis Pusaka Tombak Kiai Upas

Menurut keturunan Eyang Pringgo Koesoemo (keluarga yang dipasrahi menjaga pusaka tombak kiai upas) yakni Raden Mas Indronoto di dalam buku Mengunjungi Simbol-Simbol Sejarah Lokal mengatakan bahwa dulu setelah runtuhnya Kerajaan Majapahit, banyak golongan bangsawan yang lari menyelamatkan diri ke berbagai daerah, salah satunya Ki Ageng Wonoboyo bersama anaknya, Ki Ageng Mangir yang lari ke daerah dekat Rawa Pening, Ambarawa. Daerah ini dulunya masih masuk kekuasaan Mataram Yogyakarta.[1]

Suatu ketika, Ki Ageng Wonoboyo ingin mengadakan bersih desa dengan mengundang masyarakat sekitar untuk datang, berdoa, dan makan-makan. Ketika persiapan memasak di dapur, salah satu pemudi meminjam pisau milik Ki Ageng Wonoboyo dan diperbolehkan tapi dengan satu pantangan, pisau itu tidak boleh diletakkan di pangkuannya.

Namun saat istirahat, pemudi itu lalai soal pantangan tadi. Akhirnya dalam sekejap pisau itu lenyap dan ia pun dengan tiba-tiba menjadi hamil. Mengetahui itu, Ki Ageng Wonoboyo bergegas ke puncak Gunung Merapi untuk bertapa.

Saat waktunya melahirkan, pemudi itu terperanjat karena yang keluar dari rahimnya bukan seorang bayi mungil, melainkan seekor ular naga. Oleh pemudi itu, anaknya yang berwujud ular naga ini diberi nama Baru Klinting dan diasuh sampai tumbuh dewasa di daerah Rawa Pening, Ambarawa. Baru Klinting juga diberitahu soal siapa dan ke mana ayahnya pergi. Mengetahui itu, Baru Klinting pun menyusul ayahnya ke Gunung Merapi.

Sesampainya di sana, Ki Ageng Wonoboyo menemui anaknya yang tidak lain wujud dari pusakanya dulu. Ia mau mengakui Baru Klinting sebagai anaknya jika mampu melingkari puncak Gunung Merapi tanpa bantuan apa pun. Baru Klinting pun bersedia.

Ketika kepala dan ekornya hampir bertemu, Baru Klinting menjulurkan lidahnya. Seketika itu juga, Ki Ageng Wonoboyo memotong lidah Baru Klinting yang kemudian berubah menjadi sebilah tombak. Baru Klinting dikejar Ki Ageng Wonoboyo dengan tombak itu sampai ke laut selatan. Karena sudah tidak menemukan jalan keluar, Baru Klinting merubah dirinya menjadi sebatang kayu, berharap agar Ki Ageng Wonoboyo luput tidak menemukan dirinya.

Namun cerita berkata lain, Ki Ageng Wonoboyo melalui kesaktiannya mengetahui bahwa sebatang kayu itu adalah jelmaan dari Baru Klinting. Ia mengambilnya dan digunakan sebagai landean (kayu pegangan) tombak. Oleh Ki Ageng Wonoboyo, tombak itu diberi nama tombak kiai upas.

Sepeninggalan Ki Ageng Wonoboyo, tombak kiai upas diwariskan kepada anaknya, Ki Ageng Mangir. Konon Ki Ageng Mangir ini merupakan sosok yang memiliki kesaktian tinggi dan emoh tunduk pada kekuasaan Mataram Yogyakarta.

Hal ini sempat membuat geram penguasa Mataram Yogyakarta. Sebab kemenangan melawan Ki Ageng Mangir tidak berarti apa-apa selain pengakuan kedaulatan dan kekuasaan Mataram. Namun jika kalah, akan memicu munculnya pemberontakan-pemberontakan dari daerah lain.

Akhirnya penguasa Mataram Yogyakarta mengirim telik sandi yang berpura-pura mbarang jantur dan waranggono untuk menyelidiki kelemahan Ki Ageng Mangir. Ki Ageng Mangir pun masuk perangkap. Ia terpikat pada kecantikan salah seorang waranggono dan mempersuntingnya sebagai istri.

Setelah menjalani kehidupan rumah tangga bertahun-tahun, istrinya bercerita bahwa ia masih memiliki hubungan kekerabatan dengan penguasa Mataram. Maka sebagai sikap menghargai, mau tidak mau, Ki Ageng Mangir harus sungkem pada penguasa Mataram. Ki Ageng Mangir pun berangkat ke Mataram.

Sesampainya di Mataram, tombak kiai upas oleh Ki Ageng Mangir ditaruh di depan pintu gerbang. Ia masuk dengan istrinya untuk melakukan sungkem tanpa prasangka buruk apa pun. Ketika kepala Ki Ageng Mangir dipegang oleh mertuanya, Raja Mataram, kepalanya dibenturkan di tempat duduk raja yang terbuat dari batu pualam. Seketika itu juga Ki Ageng Mangir meninggal dunia.

Menurut cerita, batu pualam itu masih ada dan dikenal sebagai Watu Gateng. Adapun makam Ki Ageng Mangir sendiri berada di Kota Gede, dengan setengah badan berada di dalam cungkup makam, setengahnya lagi berada di luar. 

Tutur Lisan Kesaktian Pusaka Tombak Kiai Upas 

Ada banyak cerita yang dituturkan dari mulut ke mulut soal kesaktian pusaka tombak kiai upas. Diantaranya pada tahun 1895 Tulungagung pernah dilanda banjir besar. Air meluap sampai ke alun-alun dan pendopo. Saat itu, tombak kiai upas dibawa oleh Raden Pringgo Koesoemo yang menjabat sebagai wedono di Pare, Kediri. 

Namun setelah Raden Pringgo Koesoemo diangkat sebagai Bupati Ngrowo ke X (nama sebelum Tulungagung) oleh Belanda, ia kembali memerintah dengan membawa pusaka tombak kiai upas. Semenjak itu juga, banjir yang kerap terjadi tiap musim penghujan, menjadi jarang atau malah tidak ada sama sekali. 

Cerita lain datang saat pertempuran 10 November di Surabaya. Tombak kiai upas dibawa sebagai salah satu senjata untuk mengusir penjajah. Hanya saja, dalam membawa tombak kiai upas ini konon memiliki pantangan tidak boleh melintasi Sungai Brantas. Akhirnya pusaka ini dibawa dengan menyusuri pesisir Sungai Brantas yang dimulai dari arah Kalangbret ke utara, melewati Karangrejo, Jeli, Ngadi, Kediri, Mojokerto, dan terus ke utara sampai tiba di Surabaya. 

Kendati perlawanannya menuai keberhasilan, namun di Tulungagung sendiri justru terjadi banjir besar. Karena tombak kiai upas yang menjadi penangkal bala tidak berada di Tulungagung. 

Pusaka tombak kiai upas ini juga memiliki kelengkapan, yakni satu pragi gamelan pelok slendro yang diberi nama Kiai Djinggo Pengasih, dan satu kotak wayang purwo lengkap dengan kelirnya. Sedangkan tombak trisula menjadi pengiring yang tidak boleh dipisahkan dari pusaka tombak kiai upas. 

Pusaka tombak kiai upas yang panjang bilahnya 35 cm dengan landean (kayu pegangan) sepanjang 4 meter ini bisa didapati di Dalem Kanjengan, Jalan Oerip Sumohardjo, Kepatihan, Kabupaten Tulungagung. Pada bilah bagian bawah, terdapat huruf arab bertuliskan Allah dan Muhammad.[2] 

Nah, salah satu hal yang kerap ditunggu oleh masyarakat Tulungagung adalah berebut air bekas prosesi jamasan. Air ini dianggap memiliki berkah. Dan saya rasa laku seperti ini tidak harus dihadapkan menjadi lawan dengan agama, karena pada dasarnya, apa pun yang sudah dibalut dengan doa-doa tentu memiliki nilai berkah, begitu juga air bekas jamasan tombak kiai upas. Begitu. 

Sumber: 

Agus Ali Imron Al Akhyar, Mengunjungi Simbol-Simbol Sejarah Lokal Tulungagung (Yogyakarta:Mirra Buana Media, 2020)

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan, https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/ditwdb/jamasan-pusaka-kanjeng-kyai-upas-pusaka-berbentuk-tombak/, diakses pada 10 Agustus 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun