Mohon tunggu...
Ahmad Sugeng Riady
Ahmad Sugeng Riady Mohon Tunggu... Penulis - Warga menengah ke bawah

Masyarakat biasa merangkap marbot masjid di pinggiran Kota Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Music Pilihan

Lagu Daerah Terancam Punah, Benarkah?

17 Juni 2020   08:44 Diperbarui: 17 Juni 2020   08:51 556
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Korea menjadi kiblat remaja Indonesia. Bukan hanya perihal musiknya saja, namun juga pakaian, gaya rambut, cara bertutur kata, sampai pada keseharian berkiblat ke Korea. Beberapa ada yang rela berdesak-desakan hanya untuk melihat artis Korea. Dalam konteks ini yang dimaksud Korea Selatan, bukan Korea Utara. Dua Korea beda penekanan dalam kabar di media, satunya ke gaya hidup dan musiknya, satunya lagi lebih kepada gaya politiknya.

Riset mengenai budaya Korea Selatan sendiri, sudah pernah dilakukan, misalnya oleh Ariel Heryanto dalam bukunya dengan tajuk Identitas dan Kenikmatan; Politik Budaya Layar Indonesia. Di bab VII ia menguraikan dengan apik soal pergulatan antara momen setelah orde baru runtuh, menguatnya identitas muslim, dan masuknya musik K-Pop. Ada beberapa remaja yang menjadi penggemar berat musik K-Pop namun tidak melepaskan identitasnya sebagai muslim. Bahkan beberapa ada yang bisa dan mau menyanyi-menari K-Pop dengan berpakaian muslim.

Penelitian dengan tema serupa juga pernah dilakukan oleh Cahya Tunshorin dengan objek penelitian komunitas dance di Kota Gudeg, Yogyakarta. Penelitian ini berangkat dari problem keingintahuan Cahya terhadap bentuk resepsi atau penerimaan dari komunitas tersebut pada budaya korea.

Cahya menemukan  bahwa tidak semua anggota di komunitas tersebut total menggemari korea secara keseluruhan. Beberapa memang ada yang dominan menggemari korea dengan segala pernak-perniknya, namun beberapanya lagi hanya gemar di poin tertentu, misal dance, gaya potongan rambut, dan pakaian. Penelitian ini bisa dibaca lengkap di tajuk 'Analisis Resepsi Budaya Populer Korea pada Eternal Jewel Dance Comunity Yogyakarta' yang dimuat di Jurnal Profetik, volume 10, nomor 01, April 2016.

K-Pop masuk ke Indonesia disokong oleh piranti dan aplikasi yang canggih. Melalui iklan di layar televisi, smartphone dengan aplikasi instagram, facebook, twitter, dan youtube. Media-media itu menjadi tempat rujukan remaja, bahkan anak-anak ketika ingin tahu lebih lanjut perihal budaya korea, termasuk K-Pop.

Ya jarang, bahkan mungkin belum pernah ada yang gandrung dengan budaya korea, K-Pop merujukanya ke buku, hasil penelitian di jurnal, atau berita lain yang berisi muatan kritik dengan bahasa agak njlimet dan perlu mengerutkan kening. Kecuali akademisi yang bergelut dengan budaya populer. Itu pun saya rasa tidak bisa dimasukkan dalam kategori penggemar berat budaya Korea atau K-Pop meski sudah khatam selusin buku.

Noura, anak perempuan di Desa Titidu, Kecamatan Kwandang, Gorontalo Utara jadi salah satu penggemar artis K-Pop. Ia tahu nama-nama seperti Black Pink, BTS, dan semacamnya. Ia juga hafal beberapa lagu mereka. Kill this love, dan playing with fire jadi lagu yang disukai dari sekian lagu.

Ketika saya tanya sejak kapan Noura tahu dan suka lagu K-Pop, ia menjawab sudah lama, tepatnya dua tahun yang lalu saat ia duduk di kelas empat Sekolah Dasar. Ia mengaku pertama kali tahu lagu K-Pop ini dari youtube. Bahkan beberapa foto, dan lagunya ia koleksi dalam gawai. "Teman-teman saya banyak yang suka Black Pink kak", tambahnya dengan senyum malu khas anak-anak.

Hal ini berbanding terbalik ketika saya tanya tentang lagu daerah Gorontalo. Ia bengong, berfikir sejenak, baru teman saya yang berasal dari Kabupaten Boalemo, Gorontalo mengatakan, "kalau lagu Dabu-Dabu, Ati olo Ati Mama, dan Binde Biluhuta tahu?" Baru ia mengangguk.

Noura agak kelabakan saat saya minta nyanyikan lagu daerah Gorontalo itu. Ia tidak begitu hafal dengan jelas liriknya, terlebih mimik mukanya ada terbesit rasa malu. Lantas  teman saya ada yang memutar lagu daerah ini lewat youtube, baru ia lambat laun menemukan lirik yang jelas.

Lagu Daerah itu Bukan Lagu Rendah dan Murah

Sekilas fenomena seperti ini 'mungkin' lazim ditemui di masyarakat, tidak hanya di Kecamatan Kwandang, Gorontalo Utara. Tapi juga di daerah-daerah lain. Tapi begini, fenomena seperti ini menjadi sinyal bahwa lagu daerah 'mungkin' mengalami kemunduran. Di sisi lain, generasi yang datang lebih awal juga belum tentu tahu, hafal, memaknai, bahkan mengejawantahkan nilai-nilai yang ada di dalam lagu daerah itu. Mungkin sekali dua kali mau menyanyikan lagu daerah ketika ada lomba 17 Agustus. Itu pun kalau ada lomba menyanyi lagu daerah.

Namun problem seperti ini perlu segera mendapat respon. Karena bagaimana pun, keberlangsungan lagu daerah terletak pada generasi yang datang belakangan, seperti Noura, kawan-kawannya, dan semua anak-anak di Indonesia. Saya khawatir (meski agak mustahil juga) lagu daerah tidak ada yang hafal sama sekali. Lagu daerah hanya didengar dan menjadi terasa hambar.

Keberadaan lagu daerah juga tidak bisa dibebankan kepada para seniman, pegiat budaya lokal, dan pihak-pihak berdasi. Lagu daerah juga tidak cukup hanya dimasukkan ke dalam materi sekolah, atau disisipkan di pelajaran Seni Budaya. 

Lagu daerah bukan lagu rendah dan murah. Ya kalau saya boleh mengatakan, lagu daerah ini bisa menjadi petunjuk identitas kolektif masyarakat tertentu. Bisa jadi nadanya sama, tapi lirik dan pemaknaannya dari satu daerah dengan daerah lain tentu berbeda. Apakah hanya karena sekarang lagi musimnya K-Pop, lantas lagu daerah harus mengalah?

Saya pikir tidak. Kalau boleh, lagu daerah dinyanyikan sebelum pelajaran dimulai setiap harinya. Itu pun "kalau boleh".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Music Selengkapnya
Lihat Music Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun